6 - DAMAR

743 89 0
                                    

"Ibumu akhir-akhir ini sering ngeluh dadanya nyeri." Pak Lik ngebuka obrolan pas kami lagi jalan ke rumah sakit.

Dia sekalian mau jemput Noni, dan gue gantiin Noni jagain nyokap. Sara di rumah, berdua sama Mbok Nah, emban yang setia bantu-bantu plus nemenin nyokap.

"Lah, kemarin, pas Pak Lik nelepon kamu malam-malam itu, Mbok Nah bilang ibumu sesak napas. Langsung Pak Lik bawa ke rumah sakit, takut kena covid. Ternyata malah lebih buruk dari itu. Kata dokter, ibumu kena jantung koroner," lanjutnya.

Gue nyimak dengan saksama.

"Ibumu ndak boleh kecapekan, Nang. Memang akhir-akhir ini dia sibuk bantu-bantu di rumah budhemu. Yanti, mantunya budhemu, punya bayi. Ibumu seneng sekali di sana. Ndak mau pulang. Dia bilang kepengin banget punya cucu sendiri."

Aqua yang lagi gue tenggak langsung nyembur otomatis karena gue keselek. Pak Lik berdecak heran.

"Kamu itu, udah berapa tahun nikah? Kok bojomu belum isi-isi. Ora tokcer koe, Nang ," sambungnya sambil tergelak tanpa rasa sungkan.

Kayanya wajah gue merah padam, sedikit tersinggung dengan ucapan Pak Lik sekaligus malu. Maksudnya, Pak Lik bukan orang yang akan gue ajak ngobrol tentang seks. Biar gimanapun, dia udah kaya bokap gue sendiri. Malu, Man!

"Lagipula, kamu kok betah banget di Jakarta. Ibumu sudah tua, Damar. Sekarang malah sudah sakit-sakitan begini. Wis wayahe koe serius karo uripmu. Eling karo pesene almarhum bapakmu. Kamu harus meneruskan bisnis kebun cokelat ini. Wis, ndak usah ke Jakarta lagi!" Pak Lik masih nyerocos.

Gue cuma diem, sekali-kali ngangguk. Gue kenal Pak Lik, biar dia ngomong semuanya dulu, baru dijawab. Kalau belum rampung sudah disela, percuma, dia gak bakal dengerin. Karena jeda diamnya panjang, kayanya Pak Lik udah selesai ngomong.

"Gini, Pak Lik. Bukan aku tega sama ibu dan gak mau tinggal di sini. Tapi, kerjaan istriku lagi bagus-bagusnya, dia masih punya banyak kepentingan di Jakarta. Kalau kami pindah, malah jadi repot.

Lagipula, aku juga masih berat buat ngelola kebun e. Dudu bakatku, Pak Lik. Bayanganku, baru setelah tua nanti ngabisin masa pensiun di sini. Untuk urusan Ibu, nanti aku sama istri bakal sering-sering jenguk. Atau, kalau Ibu mau, Ibu tak bawa saja ke Jakarta."

Pak Lik geleng-geleng kepala.

"Damar, Damar. Ojo gelem kalah karo wong wadon!" selorohnya.

Jangan mau kalah sama perempuan, gitu intinya, Man.

"Kamu itu laki-laki. Kepala keluarga. Harusnya istrimu yang ikut apa keputusanmu, bukan kamu yang jadi tawanan dia. Memangnya, kalau istrimu itu berhenti kerja dan ikut kamu ke sini, gak bakal kecukupan? Apa ndarani, awake dewe iki wong melarat?"

Hadeh! Gue mendengus kesal. Mulai deh, jiwa patriarki Pak Lik meronta-ronta. Daripada makin ke mana-mana dan Pak Lik bacain daftar kekayaan keluarga gue yang gak bakal bikin Sara mati karena kere, gue iyain aja dan bilang kami bakal secepatnya tinggal di sini.

Sebelum dia ceramah lebih panjang dan makin ngecap gue sebagai cowok lemah, untungnya kami udah sampai lebih dulu di rumah sakit. Gue terkesima ngelihat apa yang gue lihat. IGD rumah sakit membeludak. Pasiennya bahkan harus rela tidur di pelataran dengan brankar ala kadarnya.

"Ngeri, tho? Pasien covid naik lagi. Rumah sakit jadi penuh semua." Pak Lik menggerutu.

Bener. Di Jakarta apalagi. Gak cuma nyerang orang dewasa, bahkan ratusan anak gak berdosa kena covid. Tapi, gue heran karena masih ada aja yang gak taat prokes. Ke mana-mana gak maskeran, gerombol sana sini. Sorry to say this but, itu tindakan goblok, Man!

Childfree Marriage (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang