27 - DAMAR

946 89 0
                                    

"Hai." Gue nyengir di depan pintu. "I'm home."

Gue kira Sara bakal nutup pintu apartemen di depan hidung gue tapi, nyatanya gak. Dia melenggang masuk tanpa berkata sepatah pun, yang kurang lebih artinya gue boleh ikut masuk juga. Dada gue berdesir pas ngelihat Sara dengan full dress hitam begini. Model lengannya yang off shoulder nonjolin tulang selangka Sara yang seksi. Ah, apa ini cuma pengaruh dari beberapa hari gue gak ketemu dia?

Tapi, dia juga lain dari biasanya. Apa Sara dandan? Apa dia mau pergi kondangan? Kok rapi banget. Rambutnya itu lho, pakai disanggul segala. Kacamatanya juga dilepas, diganti dengan soft lens cokelat tua. Jangan-jangan, bini gue ada janji sama cowok. Gue mulai berprasangka ke mana-mana. Baru setelah gue masuk, gue tahu jawabannya. Dia lagi sibuk Zoom-an bareng aktor-aktor ibu kota beserta jajarannya. Oh, pantes aja. Masa mau selayar sama artis-artis hits gak dandan rapi?

"Premiernya gak jadi diadain langsung, ya?"

Pertanyaan bodoh gue keluar gitu aja. Terang aja, Man, PPKM aja diperpanjang entah sampai kapan, gimana lo mau bikin acara yang nimbulin kerumunan? Bisa-bisa diciduk satpol PP ntar. Sebenernya ini karena saking kikuknya gue ketemu Sara lagi. Gue gak tahu harus mulai dari mana. Gak apalah sedikit basa-basi meski jadi kelihatan goblok.

Sara cuma melengos. Dia kembali sibuk di depan laptopnya. Yah, seperti biasa, gue dianggap makhluk ghaib. Namun, karena itikad gue kembali ini baik, jadi gue sabar-sabarin nunggu sampai acara Sara kelar. Kira-kira dua jam setelahnya, Sara baru beranjak ke kamar. Gue, yang lagi sibuk ngehafalin teks buat minta maaf ke dia, jadi deg-degan lagi. Bukan, masalahnya, gelagat Sara kaya mau ganti baju. Maksudnya, gue masih boleh di sini kan? Gue masih suaminya, kan? Kenapa jadi aneh gini gue, elaaaah!

Kaya nangkep apa yang gue pikirin, Sara bukannya nyuruh gue keluar kamar. Justru dia yang pergi ke kamar mandi sambil bawa baju ganti. Gak tahu harus berbuat apa, ya udah, mending gue diem aja. Sepuluh menit kemudian, Sara keluar dengan piyama tidurnya. Make up udah dihapus, rambut udah disisir, siap banget mau tidur. Dia kaya gak ngelihat daritadi gue ngejogrok di kasur nungguin dia.

Kalau gini caranya, mending gue langsung mulai aja, deh.

"Sara, aku mau ngomong." Sara yang udah siap mau rebahan, urung. Dia cuma sandaran di kepala tempat tidur sambil megang novel Agatha Christie.

Ya, Damar. Lanjut.

"Aku datang ke sini buat minta maaf sama kamu." Gue terus natap Sara meski pandangannya jelas-jelas tertuju ke buku. Bodo amat.

"Aku ... aku minta maaf karena udah berlaku kasar banget kemarin-kemarin. Aku emang bodoh, Sar, gak pakai mikir dulu kalau ngomong. Aku tahu omonganku pasti nyakitin kamu banget. Aku mau lakuin apa aja yang kamu minta biar luka hati kamu itu sembuh. Apa pun asal kamu maafin aku."

Sara tetap bergeming. Gue tetap geber terus.

"Sar, aku gak bisa hidup tanpa kamu. Kamu lihat kan, kaya apa berantakannya aku padahal kita baru pisah beberapa hari aja? Aku baru sadar kalau kamu berarti banget buatku. Gak ada yang bakal bisa gantiin kamu, peran kamu, dalam hidupku, Sar. Karena itu, aku ke sini sekaligus mau minta agar pernikahan kita, kita lanjutin. Aku gak mau kita pisah seperti yang kamu mau. Aku gak bisa, Sar. Demi Tuhan!"

Man, gue gak lagi ngegombal. Semua yang gue ucapin tulus dari hati. Emang itu yang gue rasain selama hari-hari gak ada Sara dalam hidup gue. Rasanya lebih dari sekadar kosong. Rasanya kaya lo bangun tiap pagi, tapi gak ada yang bikin lo semangat buat ngejalanin hari. Lo gak bakal bisa hidup kaya gitu terus, Man. Lo gak bisa hidup tanpa gairah.

Sara ngebalik halaman novelnya. Ekspresinya sama sekali gak berubah, seolah gak terpengaruh sama omongan gue yang super melow itu. Tapi, bodo amat. Gue kudu jalan terus.

Childfree Marriage (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang