18 - SARA

564 76 0
                                    

Rasanya sungguh melegakan. Seperti beban berat yang ada di pundakmu terangkat seketika. Memberitahu Ibu soal kesepakatan kami ternyata tidak seberat bayangannya. Lihat, Ibu bahkan tidak marah sama sekali. Wajahnya juga tidak mencerminkan keterkejutan yang teramat sangat.

Tadi, wanita itu cuma tersenyum samar sambil berkata, "Wah, kadang Ibu ndak ngerti sama jalan pikiran anak zaman sekarang. Tapi ya sudah, kalau itu memang keputusan kalian. Ibu cuma bisa berdoa semoga keputusan itu benar-benar membuat kalian bahagia."

Dan Damar datang. Aku sudah siap menerima apa pun yang akan dia lakukan padaku kalau saja Ibu bercerita padanya soal apa yang baru kubicarakan. Namun, Ibu tidak melakukan itu, setidaknya tidak di hadapanku. Entah apa yang kemudian mereka obrolkan, aku tidak mau tahu. Aku cuma ingin bergegas kembali ke kamar, menghindari Damar.

Di sinilah aku sekarang. Termenung duduk di pinggiran ranjang besi yang spreinya baru diganti Mbok Nah. Warna lavender dengan aroma lavender. Kamar ini teduh, sebenarnya bisa jadi tempat yang sempurna untuk bercinta, kalau saja keadaannya lebih baik.

Koperku teronggok di pojokan, siap dibawa kembali ke Jakarta. Namun, aku baru ingat kalau saat ini pemerintah masih menerapkan PPKM di seluruh kota. DIY tidak jadi pengecualian meski kudengar selentingan bahwa Sultan Hamengkubuwono menolak PPKM darurat tersebut. Pandemi ini memang membuat setiap langkah terasa serba salah. Dengan adanya pembatasan seperti ini, rakyat kecil terancam kelaparan. Namun, jika tidak diterapkan kebijakan, bisa-bisa fasilitas kesehatan kolaps karena tidak bisa menampung pasien covid yang semakin banyak.

Aku mendesah. Kalau begini, mau tidak mau aku terpaksa harus bertahan di rumah mertuaku, dengan Damar yang masih uring-uringan. Acaraku seminggu lagi juga terancam batal jika keadaan masih belum membaik. Mungkin akan dialihwahanakan jadi gala premier virtual, aku belum dapat kabar lagi. Covid, virus laknat ini memang merugikan semua sektor.

Mataku masih sedikit bengkak karena menangis semalaman. Tadi Ibu sempat bertanya, yang kujawab dengan alasan habis begadang mengetik. Aku tahu Ibu sudah menangkap ada sesuatu yang tidak beres dalam hubungan pernikahanku dengan anaknya. Apalagi, sikapku barusan yang bukannya melayani Damar sarapan, justru undur diri ke kamar. Mertua jahat pasti akan langsung nyinyir dengan sikapku tadi, tapi syukurlah karena ibu mertuaku masih bisa menahan kenyinyirannya.

Masa bodohlah! Aku tidak mau ambil pusing. Toh, semuanya sudah terlanjur, tidak bisa diperbaiki. Lagi pula, aku bukan tipe menantu penjilat yang mendadak bersikap super baik pada suami jika ada ibunya. Biar saja mertuaku tahu bagaimana sikap asliku pada anaknya, daripada lelah berpura-pura.

*

Baru saja kembali membuka laptop untuk menyicil naskah, aku dikejutkan dengan suara barang pecah belah yang jatuh dari dapur. Ada apa ini? Bukannya Damar sedang sarapan? Pikiranku mulai berprasangka aneh-aneh. Jangan-jangan dia sedang ngobrol dengan Ibu, dan Ibu betul-betul bercerita pada Damar. Kemudian Damar ngamuk? Membanting piring dan gelas? Itu kedengaran bukan seperti Damar, tapi bukannya sejak semalam Damar memang tidak lagi seperti Damar?

Penasaran, aku membuka pintu kamar. Jantungku berdentam-dentam makin lama makin kencang saat melangkahkan kaki ke dapur. Mengingat semalam Damar hampir menamparku saat aku bilang hendak memberitahu ibunya, sekarang begitu dia tahu aku benar-benar sudah memberitahu sang ibu, apa yang akan dilakukannya padaku? Memikirkan itu membuatku menggigil. Sudah pasti, Damar marah besar. Mungkin, dia bisa saja membunuhku karena ini.

Namun, sebelum imajiku berkhayal lebih jauh, keadaan yang tersaji di pelupuk mataku sekarang membuatku terpaku. Bukan Damar yang membanting piring-piring itu. Dari penampakan taplak meja yang tergeletak di lantai, aku mengira ada yang menyeretnya. Itu membuat semua barang pecah belah yang ada di atas meja ikut terseret jatuh dan pecah.

Beranjak mendekat setelah sadar dari keterpakuan, aku langsung bisa menyusun kronologi kejadiannya dalam otakku. Damar sedang tergopoh-gopoh mencoba membopong Ibu, sementara Mbok Nah menyingsingkan kain jarik-nya, lari ke rumah Pak Lik.

Wanita bijak itu tak sadarkan diri.

*

"Damn it!" Damar mengumpat, entah untuk ke berapa kalinya sejak kami ada di dalam mobil.

Jalan-jalan menuju rumah sakit ditutup semua, membuat Pak Lik terpaksa memutar otak untuk mencari jalan tikus. Pak Lik langsung tancap gas begitu Mbok Nah memberitahu kalau ibu Damar pingsan. Dia sempat berinisiatif untuk memanggil ambulans saja, tapi Damar tidak sabaran. Ibunya tidak bisa menunggu.

Wanita itu masih tak sadarkan diri dalam pangkuan Damar. Rona wajahnya yang tadi masih kemerah-merahan saat ngobrol denganku, hilang. Wajah itu putih pucat seperti tidak ada lagi darah yang mengalir. Wajah yang sontak mengingatkanku pada wajah ibuku sendiri, yang menggantung bergaung-gaung dengan leher terjerat tali.

Bulu kudukku seketika berdiri. Perasaan bersalah datang bergulung-gulung menerpa nuraniku. Kenapa Ibu tiba-tiba tak sadarkan diri? Apakah dia syok karena pengakuanku tadi soal kesepakatan aneh kami?

Apalagi, saat kulihat wajah Damar yang juga ikut pucat. Ketakutan yang teramat besar tersirat dari matanya. Damar terus menerus menggenggam tangan Ibu. Kata 'bertahanlah, Bu' tidak terhenti terucap dari bibirnya. Berbanding terbalik dengan rasa lega yang baru saja kurasakan, kini berton-ton batu terasa menghimpit dadaku. Berat. Sesak.

Jika sampai terjadi apa-apa pada Ibu, aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri.

*

Setelah menempuh perjalanan yang berputar-putar, kami akhirnya tiba di rumah sakit. Damar kalap menurunkan Ibu dari mobil, sampai-sampai menarik sembarang brankar yang ada di pelataran IGD, meletakkan tubuh Ibu di sana, dan memaksa masuk.

"Mas, Mas, ada apa ini? Sampean kudu daftar dulu! IGD sedang penuh." Satpam berwajah sangar yang menjaga pintu IGD menegur perbuatan Damar.

Pantas saja tidak ada petugas medis yang menyongsong menyambut kami. Semuanya sedang sibuk sendiri-sendiri. IGD RSUD ini penuh oleh pasien.

"Ibu saya darurat, Pak! Tolong segera ditangani. Dia gak bisa nunggu lagi!" Damar menjawab galak.

"Semua yang ada di sini darurat, Mas! Tapi semua ada prosedurnya, bukan main dorong brankar ke dalam ruangan saja. Mas ndak lihat pasien-pasien yang di luar ini? Ini semuanya juga lagi nunggu tindakan. Sekarang Mas daftar dulu, biar pasien di sini dulu."

"Heh, Goblok! Nyokap gue kena serangan jantung. Dia pingsan! Gak bisa nunggu lagi! Goblok!"

Perutku mengejang melihat reaksi Damar. Dia mencengkeram kerah baju si satpam, dan dengan beringas mengayunkan tinjunya. Untung, sebelum bogem mentah itu benar mendarat di wajah satpam tadi, Pak Lik dan orang-orang yang ada di sana sudah melerainya.

Keributan ini memancing perhatian petugas medis yang sedang sibuk. Akhirnya, karena termasuk dalam kategori gawat darurat tingkat pertama yang harus segera ditolong, ditambah Damar yang kalap berteriak 'gue bayar berapa pun biayanya! Gue bukan orang miskin, Njing!' petugas medis itu segera membawa Ibu ke dalam ruangan. Mungkin mereka gentar juga karena Damar marah-marah seperti orang kesurupan.

Kami bertiga menunggu di luar dengan perasaan campur aduk. Damar masih sibuk mengumpat, menendang-nendang tembok, sesekali menjambak rambutnya kuat-kuat. Aku yang bersandar sambil terus meremas tangan, hanya bisa melihatnya melampiaskan emosi tanpa tahu harus berbuat apa. Jika dia masih Damar yang kukenal, aku akan mendekatinya, mengelus pundaknya, memeluk dan membisikkan kata-kata menenangkan.

Namun, Damar yang kuhadapi sekarang sama sekali berbeda. Dia seperti sosok Bruce Banner dalam film Marvel favoritnya yang berubah menjadi Hulk saat marah.

Dan sejujurnya ... itu membuatku takut.

==&==

Makasih yang masih setia baca. 🤗

Xoxo,

Ayu

Childfree Marriage (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang