Epilog

2K 144 21
                                    

Brankar itu diseret cepat menuju ruang operasi. Dokter kandungan yang selama sembilan bulan ini menjadi orang yang paling dekat dengan Sara, cekatan menyiapkan peralatan tempurnya.

Dia sesekali melirik rekam medis pasien istimewanya itu. Sara Danastri, G1P0A0, dengan preeklampsia dan gemeli. Sang dokter mengembuskan napas berat.

"Pantau terus diazepamnya, Suster. Pantau kondisi klinis pasien. Jangan sampai dia kejang lagi. Kita harus usaha keras dan berdoa untuk keselamatan mereka bertiga. Ayo kita mulai."

Dokter itu memberi aba-aba, dan timnya langsung bergegas mengikuti perintah. Injeksi anastesi sudah disuntikkan. Pisau operasi telah diangkat. Perut besar Sara siap dibedah sebagai jalan keluar kedua bayi kembarnya.

*

Mata Sara memicing. Sinar entah apa ini begitu menusuk penglihatannya. Silau. Tadi, hal terakhir yang diingatnya adalah rasa sakit luar biasa di area perut dan pinggang. Setelah itu, dia kejang. Suster bergegas menelepon dokter kandungannya karena tensinya tinggi lagi, 170/100 mmHg. Kemudian, dia dibawa ke ruang operasi. Terburu-buru sampai-sampai Sara tidak bisa berpamitan dengan Damar.

Sekarang, kenapa dia ada di tempat yang menyilaukan ini? Sara bertanya-tanya dalam hati, sambil terus berjalan. Semakin lama, pemandangan di sekelilingnya semakin familiar. Pohon-pohon, rumah joglo, teras, bukankah ini rumahnya? Maksudnya, rumah Ibu di Yogya yang sekarang dia tempati bersama Damar. Ah, benar. Ini memang rumah mereka. Buktinya, Ibu ada di sana. Duduk santai di teras sambil merajut kaus kaki bayi.

Ibu?

Kaus kaki bayi?

Sara semakin tidak mengerti. Apakah dirinya sudah pulang? Kapan?

"Ibu ..." Sara menyapa ibu mertuanya, yang dibalas dengan senyuman meneduhkan.

Tiba-tiba Sara menangis. Dia berlutut di pangkuan sang mertua, tergugu di sana.

"Maafkan aku, Bu," ucapnya setelah tangisnya mereda.

Ibu Damar membelai rambut menantunya itu dengan lembut. "Ndak ada yang perlu dimaafkan, Nduk. Semua sudah takdir," katanya.

"Ibu baik sekali, padahal aku tidak pernah jadi menantu yang baik buat Ibu. Aku bahkan menolak permintaan terakhir Ibu. Kenapa? Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak menolak waktu dulu Damar ingin menikahiku? Padahal Ibu tahu latar belakang keluargaku bermasalah. Ibu berhak menolak, kenapa Ibu malah menyambutku dengan baik sekali? Kenapa, Bu?"

Beban di hati yang belum bisa Sara lepas hingga saat ini adalah perlakuan ibu mertuanya yang begitu baik, dan kecurangannya karena tidak bisa memenuhi keinginan sang mertua. Dalam pertemuan itu, Sara menumpahkan semua perasaan bersalah yang selama ini menggelayuti hatinya.

"Sstt ..." Ibu kembali membelai Sara. "Ibu selalu pesan sama Damar, buat melakukan dan memilih yang terbaik dalam hidupnya. Kalau sampai Damar milih kamu, Nduk, artinya dia sudah tahu kalau kamu adalah wanita terbaik untuk mendampinginya. Kalau dia saja sudah yakin, bagaimana Ibu bisa menolak itu? Kamu, ketika jadi Ibu, akan selalu berdoa agar anak-anakmu bahagia. Nduk, kamu adalah anak perempuan yang ndak pernah Ibu miliki. Kamu persis seperti anak perempuan yang selalu Ibu dambakan. Kamu sempurna. Bagaimana Ibu bisa menolaknya?"

Air mata kembali menghujani pipi Sara. Dia semakin tergugu di pangkuan mertuanya.

"Lho, lho!" Raut wajah Ibu menunjukkan ekspresi terkejut, seperti baru menyadari bahwa ada yang keliru dari semua ini.

"Nduk, kenapa kamu ada di sini? Belum waktunya kamu ke sini. Kamu akan jadi semesta buat anak-anakmu, buat Damar. Kenapa kamu sudah sampai sini dulu? Ndak bisa, Nduk, sana pulang."

Sara kebingungan. Pulang? Bukankah dia sudah di rumah?

"Nduk, kamu harus pulang. Kembalilah."

Bersamaan dengan ucapan Ibu, Sara mendengar denting-denting peralatan medis yang beradu. Suara-suara panik tertahan.

"Bu, Bu Sara, sadar, Bu. Jangan tidur, ya!"

Bukannya itu suara dokternya?

"Sus, tambah oksigennya. Buat pasien ini sadar. Kita sudah selesai. Bayinya selamat."

Kemudian, Sara merasa tubuhnya seperti berpilin. Dia mengerjap-ngerjapkan mata. Terpaan cahaya kembali menusuk-nusuk netranya, tapi kali ini adalah cahaya terang lampu operasi. Dia berusaha bernapas. Dorongan untuk menggerakkan kakinya yang kesemutan terasa sangat kuat.

"Dok, Ibu Sara sudah kembali, Dok. Pasien sudah bersama kita lagi." Suara suster menggema, terdengar sangat lega.

Sementara, Sara merasa tubuhnya tak bisa digerakkan. Berat. Kaku. Namun, keajaiban seolah menenteramkan hatinya begitu dia mendengar suara tangis lemah bayi. Satu. Sara menghitung dalam hati. Kemudian, dia melihat seorang lagi diangkat dari perutnya. Dua. Bayi itu menangis.

"Allahu akbar!" Sang dokter berseru. Matanya basah dan kabur oleh air mata. Selama pantauan kehamilan Sara, dia diam-diam menyimpan rasa was-wasnya sendiri mengingat rekam jejak kejiwaan Sara yang tidak biasa.

Kamar operasi penuh dengan buncahan rasa syukur. Sara tersenyum saat dia melihat Damar, lengkap dengan baju sterilnya, melangkah memasuki ruangan. Dengan suara tercekat menahan tangis, lelaki yang dicintainya sepenuh hati itu mengumandangkan azan di telinga anak-anak mereka.

TAMAT

Huhuuu terharuuuu nulis epilog iniiii 😭😭😭
Akhirnya tamat juga ya, cerita Damar-Sara. Makasih banyak buat yang udah setia baca 🤗
Sampai jumpa di cerita-ceritaku selanjutnya ❤️

Xoxo,

Ayu

Childfree Marriage (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang