13 - SARA

560 81 0
                                    

"Dulu, dokter bilang Ibu ndak bisa punya keturunan."

Kami sudah berpindah tempat dari rumah Budhe ke teras rumah Ibu. Duduk di kursi rotan ditemani es teh---untukku, sementara Ibu minum air putih---dan camilan kuno berbentuk seperti roda entah-apa- namanya yang renyah, disertai semilir angin dari pepohonan di pelataran adalah sesuatu yang mewah bagiku. Di mana aku bisa menemukan suasana damai begini di Jakarta?

"Tapi, bapaknya Damar kekeh, Nduk. Biar gimanapun caranya Ibu harus bisa punya anak. Kalau ndak, dia ngancam bakal kawin lagi." Ibu terkekeh.

Entah dari mana awalnya, tiba-tiba kami mengobrolkan hal ini. Jujur saja, sebenarnya obrolan soal anak membuatku tidak nyaman, selain tidak tertarik sama sekali. Tapi, kalau tentang sejarah Damar mungkin aku punya sedikit gairah untuk mendengarnya.

Ibu menghela napas panjang. "Bapaknya Damar ndak pengin kebun cokelat ini ndak punya ahli waris. Akhirnya kami usaha terus. Berobat ke dukun, minta air dari Pak Kyai, sampai ke mana-mana. Ibu juga berdoa terus siang malam.

Kadang Ibu merasa nelangsa. Melihat tetangga-tetangga yang hidupnya ndak seberuntung Ibu dari segi ekonomi, tapi Gusti Allah ngasih rejeki berupa anak-anak yang banyak. Sementara Ibu, satu saja susah sekali. Ibu suka bertanya-tanya, apa salah Ibu sama Gusti Allah sampai harus diberi ujian begini. Sepuluh tahun nikah, Nduk, Ibu belum bisa jadi wanita yang sempurna buat bapaknya Damar."

Aku hampir saja memutar bola mata mendengar diksi yang dipakai Ibu. Wanita yang sempurna, tinggi sekali selera bapaknya Damar yang terhormat ini. Entah siapa yang memulai, tapi stereotip bahwa wanita sempurna adalah mereka yang bisa masak, macak, manak, adalah tuntutan yang kupikir berlebihan.

"Sampai kemudian, pas Ibu sudah benar-benar pasrah, menyerahkan urusan ini sama Gusti Allah, bahkan Ibu sudah ikhlas jika Bapak mau kawin lagi. Eh, Ibu telat haid. Awalnya Ibu ndak mau periksa, takut kecewa. Tapi bapaknya Damar maksa, sampai Ibu tahu kalau Ibu benar hamil. Rasanya hari itu adalah hari paling membahagiakan sepanjang hidup Ibu."

"Kamu tahu apa arti nama damar, Nduk?"

Aku menggeleng.

"Damar dalam bahasa Jawa artinya lampu. Penerang. Seperti Damar yang merupakan penerang hati dan hidup Ibu yang tadinya gelap, suram. Kehadirannya membuat suasana rumah semarak, ceria. Semua orang bersuka cita karena Ibu dikaruniai anak yang bagus, ganteng. Bapak sampai nanggap wayang tujuh hari tujuh malam untuk syukuran kelahirannya."

Kedua mata Ibu berkaca-kaca. Wanita itu lalu menyeruput air putih hangat yang dibawakan Mbok Nah. Sembari menatapku, senyumnya mengembang. Dia lalu melanjutkan ceritanya.

"Rupanya jadi ibu itu ndak mudah. Biar seperti apa pun Ibu menginginkan seorang anak, tapi dalam perjalanannya berat, Nduk. Bukan cuma soal begadang setiap malam, payudara bengkak sampai meriangi, lebih dari itu. Ibu, di minggu-minggu pertama setelah melahirkan seperti mengalami guncangan. Pikiran Ibu ke mana-mana. Ibu takut sekali kalau sampai kehilangan Damar. Padahal ya, anaknya ada di pangkuan Ibu. Tapi, Ibu takut sekali. Ibu sering mimpi buruk karena itu."

Baby blues, aku membatin. Oh, aku pernah riset soal itu untuk keperluan menulis novelku. Itu semacam kondisi psikologis seorang wanita yang dialami pasca melahirkan, yang mana dia belum bisa beradaptasi dengan baik dengan peran baru yang diembannya. Gejalanya bisa tiba-tiba sedih tanpa sebab, menangis sendiri, tidak mau menyentuh bayinya, dan sebagainya.

Di tingkatan lebih parah, baby blues bisa berubah menjadi depresi post partum dan skizofrenia. Kalau sudah di tingkat itu, seorang ibu bisa mendapat semacam bisik-bisik--- halusinasinya sendiri---yang mungkin menyuruhnya untuk menyakiti si bayi. Setelah membaca berbagai teori itu aku sempat bertanya-tanya, kenapa ya, Tuhan menciptakan perempuan dengan segala permasalahan kompleksnya? Anehnya lagi, permasalahan itu berakar dari dirinya sendiri.

Childfree Marriage (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang