28 - SARA

1.4K 92 0
                                    

Tiga bulan kemudian ...

Aku meletakkan bingkisan kado merah muda di samping cangkir kopi Damar yang masih mengepulkan uap tipis. Kado ini sudah kusiapkan sejak tiga hari yang lalu. Bukan dalam rangka apa-apa, cuma ingin memberi surprise kecil pada suamiku itu. Ini kebiasaan lama yang mulai kami bangun lagi sejak kami baikan. Dan berhubung hari ini hari Sabtu, kurasa pas momennya untuk memberikannya pada Damar.

Lima belas menit berlalu, tapi Damar belum juga bangun. Memang dasar ya, cowok kalau tidur kaya kebo. Mungkin harus ada gempa 7,8 skala richer dulu baru bisa membangunkannya. Tidak sabaran, aku menggelitik hidung Damar dengan cutton bud. Dia menggeliat sedikit, memicingkan mata, lalu menutup wajahnya dengan bantal. Tidur lagi.

"Damaaar, banguuun! Bangun, bangun, bangun!" Aku memukul-mukul dadanya setelah menyibakkan korden jendela agar sinar matahari yang sudah tinggi masuk ke dalam ruangan.

Damar menangkap tanganku. Memegangnya erat. Menarikku dalam pelukannya.

"Ini weekend, kan? Ngapain bangun, Yang? Enakan di kasur," bisiknya tepat di telingaku.

Aku terkikik geli. "Bangun dulu, kopimu keburu dingin, tuh! Gak menghargai banget sih, udah dibikinin kopi sama sarapan dari pagi juga." Wajahku manyun, sementara Damar langsung beringsut bangun.

Kata 'gak menghargai' sekarang jadi jurus ampuh untuk menaklukkan Damar. Tak apalah ya, sedikit memanfaatkan rasa bersalahnya untuk hal-hal semacam ini?

"Oke, mana kopi mana kopi? Mana sarapannya? Sini, aku habisin semua! Aku menghargai banget lho, jerih payah istriku. Siapa bilang gak menghargai, huu!" cibirnya, sambil cekatan mengangkat cangkir kopi dan menyeruputnya.

Setelah makan sandwich buatanku satu gigitan, Damar baru sadar ada sebuah bingkisan pink di atas nakas. Aku menepuk jidat. Cowok tuh ya, memang lambat kalau disuruh menyadari sesuatu yang beda.

"Apaan nih, Yang?" seloroh Damar dengan mulut penuh sandwich.

"Buka aja," jawabku. Senyuman tidak bisa lagi kutahan-tahan.

Damar, bukannya mulai membuka kado tersebut, malah mengernyit. "Harus pink banget gini? Mencurigakan. Ogah lah, kalau isinya aneh-aneh."

"Ih, buka gak, buka gak? Bukaaaa sekarang juga!"

Aku memaksa, membuat Damar bergegas membuka bingkisannya. Di dalam kotak pertama masih ada kotak kedua yang lebih kecil. Di dalamnya masih ada kotak ketiga dan keempat. Damar mendengus. Baru di kotak kelima, dia bisa menemukan isi dari kado tersebut.

"Yang, ini a-pa?" Suara Damar tercekat. Dia mengangkat tiga benda panjang dan pipih itu, lantas mengamatinya.

"Itu hasil tesku pagi tadi, minggu lalu, dan minggu lalunya lagi." Aku nyengir lebar.

"Ma-maksudnya, ini ... ini kamu? Kamu ... positif?"

Aku mengangguk antusias. "Iya, Damaar!"

"Artinya ... ini berarti, kamu hamil?"

Duh! Memang dasar ya, cowok susah banget nyambungnya.

"Iya, Damar! Iya, iya, iya!"

Aku memeluknya, tapi Damar tidak bereaksi. "Damar? Kamu gak suka?" gerutuku.

Damar malah melongo seperti orang bego.

"Damar!" Kucubit perutnya yang mulai berlemak itu. Damar mengaduh kesakitan.

"Sayang, kamu hamil? Beneran? Kok bisa? Kenapa tiba-tiba kamu berubah pikiran? Aku gak bisa nyerna semua ini, Yang!" Mata Damar berbinar-binar. Dari raut wajahnya, entah sudah berapa lama aku tidak melihat Damar sebahagia ini. Dia memelukku sangat erat.

Childfree Marriage (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang