9 - SARA

612 67 0
                                    

Kejadian memalukan Sabtu malam itu rupanya jadi pembuka hubungan kami. Entah, ini sudah film keberapa yang kami tonton bersama. Sekarang hari-hariku disibukkan dengan chatting dengan Damar, selain menulis tentunya.

Bahkan, dia yang dengan pedenya membantuku mencarikan apartemen saat aku bilang akan pindah dari kost dan menyewa apartemen. Akhirnya, tabungan dari hasil hidup 'prihatin' di Jakarta terkumpul lumayan.

Berkat film adaptasi novelku yang sukses menuai ulasan positif dari para kritikus film, followers medsosku meningkat pesat. Aku mulai sering dilirik untuk mengisi acara-acara seminar kepenulisan, baik secara offline mau pun online. Editorku juga mengusulkan agar aku membuka kelas menulis, mengingat belum banyak penulis yang berfokus pada genre thriller di negeri ini.

Penerbit-penerbit besar mulai menghubungiku, bertanya apakah aku punya naskah 'nganggur' untuk mereka terbitkan. Bisa dibilang, di antara nasib hidupku yang buruk, nasibku di dunia literasi adalah kemujuran. Lotere. Pekerjaan sebagai pegawai kasir di rumah makan Padang yang kugeluti selama tiga tahun terakhir, kulepaskan.

Aku mendapatkan apartemen kelas menengah dengan harga sewa yang masih bisa kubayar, pilihan Damar. Anehnya, sebagaimana aku langsung suka Damar pada perjumpaan pertama, aku juga menyukai seleranya. Apartemen bernuansa coral ini memang tidak terbilang luas, dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, dan ruang tengah serbaguna. Pojok favoritku yang merangkap sebagai ruang kerja adalah balkon. Karena terletak di lantai 13---biar terkesan horor kata Damar---setiap malam aku memiliki pemandangan yang menakjubkan: kelap-kelip lampu gedung dan kendaraan yang melintas di jalanan ibu kota di bawah sana. Belum lagi langit malam bertabur bintang jika cuaca sedang cerah.

Aku sedang berbunga-bunga malam ini. Menanti Damar. Karena di bioskop sedang tidak ada film bagus dan kami sedang malas makan di tempat biasa, aku memberi ide menghabiskan malam Minggu yang hebat: makan malam di apartemenku, kemudian nonton film favorit kami. Damar, tentu saja langsung mengiyakan tawaranku. Ini pertama kalinya kami akan menghabiskan waktu di dalam rumah---errr, maksudku apartemen.

Damar jomlo, dia sudah bersumpah. Tidak punya pacar, apalagi istri. Di pertemuan pertama yang traumatis itu, dia banyak berceloteh tentang dirinya sendiri, termasuk status KTP-nya. Baguslah, aku jadi tidak terlalu was-was meski tidak sepenuhnya percaya juga. Mungkin semua lelaki yang sudah beristri juga akan mengatakan hal yang sama jika janjian nonton dengan wanita lain. Ya, ciri khas buaya. Namun, mengingat hubungan pertemanan kami berjalan lancar sampai sekarang, aku sepertinya rela mempercayai Damar.

Bel berbunyi.

"Hai!" Damar nyengir di tengah pintu, memakai kemeja hitam dengan lengan digulung---ciri khasnya--- kamera menggantung di leher, tas tersampir di pundak, rambut acak-acakan. Lelaki itu membawa bunga. Setangkai mawar putih.

"Buat kamu," katanya.

"Dalam rangka?" tanyaku kebingungan.

"Minggu lalu kamu bilang suka mawar putih. Dalam rangka itu. Oh, ada maksud lain juga, deng."

"Apa?" Aku menyipitkan mata, curiga. Jangan-jangan, sifat aslinya---psikopat---mulai muncul.

"Di dalem aja ya, Sar. Masa kamu tega sih, aku jelasin sambil berdiri di tengah pintu kaya gini," jawabnya santai sambil nyelonong masuk.

Kami segera menyantap spageti lava cheese, menu yang kubuat sendiri dan kunamai sendiri. Aku cukup piawai memasak, harus kuakui. Hidup di tengah Jakarta yang kejam membuatku mau tidak mau menjadi orang kreatif---termasuk dalam mengolah bahan makanan---jika ingin dapat menabung.

"Hmm, ini enak banget!" Piring Damar sudah ludes.

"Mau nambah?" tawarku, disambut anggukan antusias Damar. Cowok ini memang tidak pernah jaim sedikit pun.

Childfree Marriage (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang