21 - SARA

667 82 3
                                    

"Tentang Ibu? Soal apa, tuh?"

Damar langsung meneguk kopi yang kubuat untuknya dan duduk tegak, tandanya siap sedia mendengar omonganku. Huft! Ini memang kedengaran seperti aku mengidap penyakit gila nomor 31 atau kebodohan yang haq jika aku membuka mulut sekarang.

Namun, kapan lagi saatnya? Mumpung suasana hubungan kami saat ini masih ada di titik tenang. Aku sudah yakin apa yang akan kuutarakan pada Damar akan membuat riak yang sangat besar dalam ketenangan ini. Tapi, menahan segala rasa bersalah yang bersemayam di hatiku lebih lama lagi bisa membuatku benar-benar gila.

Aku akan melakukan pengakuan. Bahkan, bila Damar membalas ini dengan perselingkuhannya, aku akan menganggapnya impas. Kesalahanku bahkan mungkin lebih besar dibanding perbuatan affair-nya. Setidaknya, Damar hanya membuat sakit hati, bukan menghilangkan nyawa orang.

"Sara?"

Oke. Aku terlalu lama berimajinasi. Sekarang, siap tidak siap aku harus mengatakannya.

"A-aku..." Tenggorokanku tercekat. "Aku, aku bilang pada Ibu soal ... kesepakatan kita."

Tidak. Aku tidak menundukkan wajah. Aku siap menghadapi risiko apa pun. Kemarahan Damar, makiannya, bahkan lebih dari itu. Aku lebih memilih ini daripada harus dihantui mimpi buruk seumur hidup.

Semula, Damar hanya diam. Mungkin otaknya sedang mencerna apa yang baru saja kusampaikan. Namun, beberapa detik berikutnya, matanya menatapku nyalang. Perlahan demi perlahan, bisa kulihat kemarahan berangsur-angsur memenuhi netranya. Tangan Damar mengepal, rahangnya mengeras. Dia mengertakkan gigi.

"Sudah kuduga." Sekarang lelaki itu bangkit dari duduknya, berjalan mondar-mandir seperti orang linglung.

"Pergi dari sini!"

Aku tersentak. Bukan karena nada suara Damar yang begitu terkendali, berbanding dengan gestur tubuhnya yang dikuasai amarah, tapi karena apa yang dia ucapkan. Bukan ini reaksi yang kuharapkan.

"A-aku bisa jelasin alasannya, Damar. Aku tidak bermaksud membuat Ib--"

"Gue bilang pergi, Sara! Keluar!" Damar berteriak, menudingkan jari telunjuknya ke pintu.

Aku tetap bergeming. Aku tidak mau pergi sebelum dia tahu alasanku apa.

"Aku gak mau ibumu terus menerus berharap padaku, Damar. Aku tidak mau terus menerus membohonginya dengan memberi harapan palsu seperti itu."

"Tapi perbuatan kamu bikin dia meninggal! Kamu sadar itu?"

Aku menunduk kali ini. Mendengar Damar yang mengatakannya ternyata lebih menyakitkan daripada ketika hatiku yang berkata sendiri.

"Apa kamu gak pernah diajari kalau kamu boleh berbohong demi kebaikan? Kamu gak pernah diajari itu sama orangtua kamu, Sara?" Meja rias bergetar cukup hebat karena gebrakan tangan Damar yang kuat.

"Oh, aku lupa." Damar meringis terluka, matanya memerah. "Orangtuamu gak berguna. Yang satu pemabuk, satunya gila. As same as you!"

Jemari Damar yang menunjuk wajahku tidaklah menyakitkan. Yang membuat semua ini terasa salah adalah ucapan Damar. Seumur hidup mengenalnya, aku tidak pernah tahu dia bisa berkata buruk tentang masa laluku.

Air mata mulai mengambang di kedua indera penglihatanku. Rasa panas menjalar dari hati ke kedua telingaku, bersama amarah yang datang tak terkendali. Aku mungkin gila, orangtuaku juga, tapi bukan berarti itu membuat siapa pun berhak mengatakannya seperti ini.

"Aku minta cerai!" Kata itu terlontar begitu saja, membuat Damar seketika menoleh mendengar ucapanku.

"Kamu, Damar, kamu datang padaku, memohon-mohon agar aku mau menikah denganmu bahkan saat aku bilang aku tidak mau. Kamu juga berjanji akan menyembuhkan luka masa laluku dengan menjadi suami yaaaang baik!

Childfree Marriage (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang