OO

116K 10.6K 680
                                    

Happy reading! ❤️

***

Suasana pagi yang dulu dimulai dengan kicau burung yang merdu kini telah tergantikan dengan bising kendaraan tanpa henti. Suara teriakan yang lantang bukan lagi hal yang memalukan terjadi di khalayak ramai. Perdebatan sengit yang seharusnya di lerai justru di abadikan dalam kamera ponsel masing-masing. Attitude agar menghormati yang lebih tua mulai memudar sebab kurang dilestarikan. Seperti yang terjadi di jalan pagi itu.

Sena yang semula berniat pergi menuju sekolahnya kini tengah berjuang menahan ketakutannya karena dimaki-maki beberapa pengendara mobil yang jalurnya terhambat sebab membantu seorang nenek yang tak kunjung selesai menyeberang.

"Hei, nak! Cepat bawa nenekmu itu pergi! Kalian menghambat kepergian kami!"

"Yak! Cepatlah! Aku sudah terlambat!"

"Jika aku di pecat, aku akan mencari kalian berdua!"

"Hei, kenapa kau biarkan dia berkelana jika tidak bisa berjalan dengan benar?"

Sena menahan tangisnya dan tetap semangat menuntun nenek yang dia duga sudah kehilangan seluruh inderanya kecuali indera perabanya. Nenek itu tidak menampilkan mimik apapun ketika dihina. Dia juga tidak terlihat terganggu dengan suara klakson yang bising dan juga teriakan orang. Ia masih tetap tenang berjalan dengan mata tertutup sambil menyeret tongkat kayunya yang reyot.

Setelah berjuang hampir lima belas menit, Sena dan sang nenek berhasil melewati jalanan itu dengan selamat.

"Jangan biarkan dia keluar lagi!" teriak salah satu pengemudi sambil masuk ke dalam mobilnya dan melaju dengan kecepatan tinggi.

Sena menggelengkan kepalanya karena tak menyangka ada orang dewasa seperti itu. Apa dia tidak sadar jika beberapa tahun lagi dia juga akan membungkuk seperti nenek ini?

"Wah, dia benar-benar menyebalkan," gumam Sena dongkol. Sena meneliti sang nenek guna melihat apakah ada luka atau tidak. Dia menghembuskan napas lega ketika nenek itu tidak memilikinya. "Nenek, nenek mau pergi ke mana?" tanya gadis itu dengan lembut.

Sang nenek tertawa dan menepuk-nepuk tangan Sena. "Nenek mau pulang tapi tadi nyasar," sahutnya dengan jenaka seolah apa yang dikatakannya lucu.

Sena terkesiap karena ternyata dugaannya salah. Dia mengusap lehernya malu dan kemudian kembali menunduk. "Nenek mau Sena anterin pulang?" tawarnya tanpa ragu.

"Ah tidak perlu. Nenek sudah menemukan jalan untuk pulang," tolak nenek itu sambil tersenyum.

"Tidak apa, Nek. Aku sedang tidak sibuk, jadi aku bisa mengantar nenek pulang ke rumah."

"Jangan berbohong, nak. Nenek tahu kau mau pergi ke sekolah dan ini sudah hampir terlambat bukan?" tebak sang nenek yang membuat Sena tersenyum malu. "Tidak apa. Nenek bisa pulang sendiri. Pergilah, kau harus ke sekolah!" usir si nenek kemudian.

Sena menatap nenek asing itu dengan ragu. Apa benar bisa pulang sendiri? Pikirnya cemas. Menyeberangi jalan saja membutuhkan waktu yang cukup lama, dia takut terjadi sesuatu di jalan. Sang nenek yang merasakan keresahan Sena tersenyum hangat.

"Nenek serius, nak. Nenek bisa pulang sendiri!"

Sena terdiam beberapa saat. "Eum... Baiklah! Aku akan pergi sekarang. Jaga diri nenek baik-baik!" ujarnya sambil menggenggam tangan nenek itu.

"Kamu punya dua pilihan nak. Bertahan atau melepaskan."

Sena berhenti melangkah dan mengerutkan keningnya bingung. Apa itu maksudnya dia tidak boleh pergi dan nenek ini sebenarnya membutuhkan pertolongannya? Sena menoleh ke belakang dan mengedipkan matanya beberapa kali karena heran. "Loh, nenek tadi ke mana?" gumamnya bingung. Seketika punggungnya mendingin. Sena merasa bulu kuduknya berdiri dan gadis itu dengan cepat berlari terbirit-birit tanpa berpikir panjang. Dia itu paling anti dengan hal-hal yang berbau mistis dan kejadian ini membuatnya tidak ingin berangkat sekolah sendirian lagi. Ini terlalu menyeramkan!

Beware of The VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang