“Hm … ya seperti yang lu tahu … gua emang ngelakuin itu.” setelah berapa detik mereka diam, hanya itu saja yang bisa dikatakan oleh si Clairine. Anggukan kepala pelan menjadi jawaban Erland untuk Clairine. Raut wajahnya menggambarkan bahwa dia sama sekali tidak puas dengan jawaban yang Clairine berikan.
“Gua udah tahu. Yang mau gua tahu … kenapa lu ngelakuin itu?” tanya Erland lagi, tanpa menyisakan waktu untuk Clairine berpikir alasan apa yang bisa ia rancang. Gadis gembul itu bahkan tak bisa berakting di depan Erland. Karena cowo di depannya ini saja sudah tahu alasan sebenarnya kenapa ia bisa berakting. Itu semua karena ia tidak mau ada seorang pun yang tahu.
“Isn’t it obvious?” pertanyaan itu Clairine katakan dengan nada bicara yang sangat menyindir, matanya terarah ke cermin yang sialnya berada di belakang kursi Erland, membuat Clairine mau tak mau harus melihat bayangan tubuhnya sendiri saat ia melihat Erland. Cowo dingin itu tidak mungkin tidak ngeh dengan apa yang barusan dikatakan Clairine. Erland sebetulnya sudah tahu apa alasan Clairine melakukan itu, “Bahkan alasan lu sama dia ngelakuin itu pun sama. Apakah dia adalah sosok yang lu kirim untuk nemenin gua. Apakah ini berarti lu nepatin janji lu, walaupun lu sekarang udah gak ada lagi di sisi gua?” pikir Erland dengan hati yang amat rindu kepada dia.
(Bukankah itu sudah jelas?)
“Gua mau lu yang kasih tahu ke gua.”
“Kenapa gua harus kasih tahu ke lu, Erland? Kita baru ketemu hari ini. Apa yang ngebuat lu tiba-tiba tertarik sama gua, hah? Sebelumnya aja lu gak tahu gua hidup.” ketus Clairine dengan nada bicaranya yang sengaja ia buat tidak bersahabat. Karena dia takut akan semakin jatuh ke dalam pesona yang dimilki seorang Erland Gian.
“Gua hanya gak mau semua orang di dekat gua hilang, tanpa gua melakukan apapun yang bisa gua usahakan.” saat cowo dingin itu mengatakan isi hatinya, kedua mata Erland tak bisa menatap mata gadis gembul yang tengah kebingungan dengan apa yang barusan Erland katakan. Suasananya sangat tegang di antara mereka, yang pasti Clairine sebetulnya ada niat untuk mengalihkan perhatian Erland dari hal apa pun yang sedang mengganggunya sekarang.
Hal yang Clairine lihat di depannya sekarang bahkan tak pernah ia bayangkan dalam seumur hidupnya, bahkan dalam mimpinya sekalipun. Clairine bingung harus melakukan apa untuk menenangkan orang yang baru saja dikenalnya sehari, menangis tepat di depannya. “Apa dia nangis karena inget tentang orang di dekatnya yang hilang itu ya?”
Clairine pun mengambil selembar tisu yang terletak di tengah-tengah meja ruang tamu, dan berjalan pelan ke arah Erland yang masih menundukkan kepalanya sembari kedua tangan kekar miliknya membentuk kepalan yang membuat sepasang tangannya itu bergetar sangking kerasnya dia mengepalkannya. Tak kuasa untuk melihat itu, Clairine dengan sangat lembut menaruh kedua tangannya di atas tangan Erland dan melepaskan kepalan itu dengan kedua tangannya yang jauh lebih kecil dari pada milik Erland. Walaupun jari-jarinya kecil, dia tetap dengan mudah melepaskan kepalannya tadi karena Erland sendiri terkejut dengan tindakan gadis gembul yang tengah mengelap pipinya yang basah karena air mata.
“Why can you take care for others when you can’t even take care for yourself?” tanya Erland yang masih mempertahankan sepasang matanya yang mengarah tepat ke sepasang mata milik Clairine. Gadis gembul itu tak tahu mau menjawab pertanyaan itu dengan apa, karena dia juga tidak tahu kenapa.
(Kenapa kamu bisa mengkawatirkan orang lain ketika kamu bahkan tidak bisa mengkhawatirkan dirimu sendiri?)
“Cause I don’t love myself. I thought you already know the answer, Erland.” kata Clairine dengan senyuman palsu yang terpampang jelas di mata Erland. Satu sisi, memang benar itu kenyataannya, Erland memang tahu apa alasan Clairine melakukan itu.
(Karena gua gak cinta sama diri gua sendiri. Gua kira lu udah tahu jawabannya, Erland)
“I know the answer, actually. But you know exactly what I want to hear, right?” cowo tampan ini memang tahu bagaimana caranya untuk membalas Clairine dengan jawaban cerdasnya yang berhasil membuat Clairine kikuk, tak tahu mau membalas apa pun lagi yang bukan jawaban yang dipinta oleh Erland.
(Gua tahu jawabannya, sebetulnya. Tapi lu tahu pasti apa yang mau gua denger, kan?)
Hening.
Hanya keheningan yang menyelimuti mereka selama beberapa detik karena Clairine tak kunjung menjawab pertanyaan Erland. Mereka berdua hanya saling beradu pandang, tak lebih dan tak kurang. Rasanya, mereka bisa berkomunikasi hanya dengan mata mereka. Namun, itu sebelum tangan Erland mengusap pelan wajah Clairine dan memandangnya dengan penuh kasih sayang, seraya bibir merahnya membentuk senyum yang sangat lebar sampai sepasang matanya tertutup dengan sempurna.
Oh tentunya Clairine langsung membeku di tempat. Ukuran matanya berubah dua kali lipat lebih besar, dan jantungnya berdegup dengan sangat cepat. Bahkan lebih cepat dibandingkan pada saat Erland mengetuk pintunya. Rasanya, otak miliknya sudah tak bisa berfungsi lagi dan dengan bodohnya, Clairine tak bergerak sedikit pun dari tempatnya, ia hanya membiarkan Erland mengusap wajahnya dengan sangat lembut.
“Kenapa kamu pergi ninggalin aku, hmm?” satu tetes air mata keluar dari mata kanan Erland, dilanjuti dengan mata kirinya yang membuat pipinya basah karena buncahan emosi yang sudah dua tahun ia pendam. Sekarang, giliran Clairine yang mengusapkan selembar tisu yang dia ambil tadi ke wajah mulus Erland yang entah punya skin care merek apa. Yang pasti, Clairine sejujurnya agak cemburu dengan kulit mulus milik Erland.
“Eng– enggak kok. Aku tetep di sini. Gak kemana-mana. Kamu aja sekarang megangin pipi aku. Jadi, kamu gak bakal kehilangan aku. Oke?” nada ceria Clairine pakai di depan Erland agar cowo tampan itu percaya kepada gadis gembul yang tengah tersenyum tulus ke arahnya. Benar saja ternyata, Erland setelah itu langsung menganggukkan kepalanya pelan dan menyunggingkan sebuah senyumannya yang sangat lebar, sebelum dia tepar dan tertidur di sofa empuk milik Clairine.
Desahan nafas pelan yang menandakan kelegaan Clairine pun sudah ia keluarkan dari mulutnya. Gadis gembul itu hari ini juga melihat sisi lain Erland, seperti ia melihat sisi Clairine yang juga sudah ia simpan selama tiga tahun. Entah kenapa mereka hari ini sama-sama menemukan sisi terpendam di dalam diri mereka masing-masing.
Setelah itu, Clairine melihat posisi kepala Erland yang sangat tidak mengenakkan. Posisi kepala Erland memiring karena ia tertidur di bagian tangan sofa. Jadi, Clairine langsung membenarkan kepala Erland dan jarak mereka juga cukup dekat. Ya setidaknya, cukup untuk membuat orang yang melihatnya salah paham. Seperti Ginny yang tengah membuka mulutnya lebar-lebar saat ia melihat Clairine yang tengah memegang kepala Erland dan memposisikannya agar Erland duduk dengan sempurna.
“Lu ngapain Clair?” suara pelan Ginny di telinga Clairine bukan hanya suara biasa, tapi seperti petir dan api yang menyambar pada waktu yang bersamaan.
“Mampus. Alasan apa yang harus gua pake sekarang, hah?!” monolog Clairine yang tengah membeku sekarang. Good luck Clairine.
uWu banget gak sihhh? Wkwkwkwkwk
Oh ya dan ternyata gw ganti cover lagi wkwkwk..setelah dipikir-pikir..memang cover ini yang paling menggambarkan cerita gw so yea...See you in the next chapter!
╮(^▽^)╭
KAMU SEDANG MEMBACA
✓house with no mirrors✓
Teen Fiction"Lo pasti ngelakuin itu kan?" "Ngelakuin a - apa mak- maksud lu?" "Self harm." _______________ Semua ini berawal dari Erland yang mengetahui bahwa Clairine melakukan self harm. _______________ "Mungkin gua bakal lebih percaya diri kalau gak ada cerm...