“Jadi begini rasanya. Kalau di film-film, adegan menegangkan yang menampilkan tokohnya sedang tertangkap basah ini pasti akan ditemani dengan adanya backsound.” monolog gadis gembul itu yang sudah tertangkap basah oleh guru yang sangat ia sayangi. Tapi, kebalikannya. Alias… guru yang berada di depannya ini bukanlah guru kesayangannya, malah dia agak malas berurusan dengan wanita paruh baya ini. Hah… sangat membagongkan.
Hari ini pasti masuk dalam salah satu hari tersial Clairine dalam hidupnya.
“Jelasin.” perintah Ibu guru pelajaran matematika itu. “Ayo dong Clair … coba pikir … alasan apa yang bisa masuk di akal tanpa dicurigain sama nih guru dan orang-orang yang sudah mandangin gua dengan tatapan menyelidiknya itu.”
Gadis gembul itu terus menerus mengerutkan keningnya, berusaha untuk memikirkan alasan bagus yang bisa ia gunakan untuk menjadi jalan keluar dari permasalahannya sekarang. Tak terasa, waktu yang ia gunakan untuk berpikir sudah membuat orang-orang di kelasnya jenuh karena menunggu jawaban dari Clairine yang tengah berdiri di depan kelas sambil memainkan ujung-ujung jarinya.
“Oh … gua tahu.”
“Sebetulnya Bu, begini ceritanya ... kemarin kan ada pelajaran seni budaya. Di pelajaran kemarin, kami disuruh membuat paper cutting. Jadinya, kami disuruh membawa cutter dari rumah. Sebetulnya begitu, Bu. Saya juga mau kembaliin cutter itu ke tempatnya yang ada di rumah saya. Cuman, tadi pagi saya bangunnya agak telat dan saya gak sadar kalau misalnya cutter itu kebawa sama saya. Maaf Bu.” jelas Clairine panjang lebar dengan harapan guru dari pelajaran yang paling ia benci dan orang-orang yang memandangnya dengan penuh selidik tadi, percaya akan kebohongan yang dirancangnya dengan sangat baik.
“Apakah yang dikatakan Clairine benar perihal pelajaran seni budaya kemarin, anak-anak?” tanya guru itu kepada murid-muridnya yang sedang duduk. Mereka pun menjawabnya dengan sebuah anggukan pelan yang membuktikan bahwa pernyataan Clairine benar. Wanita paruh baya itu pun menghela nafasnya pelan, sembari ia jalan ke arah Clairine dan mengatakan, “Ya sudah sana. Duduk di kursimu. Saya bisa terima alasannya. Tapi, masih ada satu persoalan lagi.”
“Cobaan apa lagi yang harus gua hadepin anjir ….” keluh Clairine dalam pikirannya. Di wajah tembamnya sudah terpampang jelas raut keputusasaannya. Siapa pun bisa melihat itu dengan jelas, begitu juga dengan guru matematika yang ada di depannya sekarang, hal ini berhasil membuat wanita paruh baya itu memiringkan bibirnya.
“Dasar nenek lampir.” umpat Clairine. Coba bayangkan saja bagaimana kesalnya Clairine sampai-sampai dia mengumpat seperti itu. Untungnya saja itu hanya ia ungkapkan di dalam hatinya, kalau enggak, gadis gembul itu sudah menerima hukuman, entah hukuman sedang atau hukuman yang berat. Karena jujur saja, gadis gembul itu baru saja mengumpati seorang guru. Mantap kan.
“Ada apa lagi ya, Bu?” tanya Clairine selembut mungkin, walaupun dalam lubuk hatinya, ia ingin berteriak dan menghilangkan senyuman miring menyebalkan yang sempat ia lihat tadi dari seorang guru kepada muridnya. Mungkin benar kata orang, bahwa semakin tua seseorang, sifatnya akan kembali seperti anak-anak lagi. “Astaga nak … kamu ini kok berdosa bangat.” maki Clairine ke dirinya sendiri.
“Kamu tadi kenapa telat masuk ke kelas saya?” tanya guru itu dengan sangat lembut. Murid gembul yang sedang berdiri di depan kelas itu sangat yakin bahwa guru itu sengaja menanyakannya dengan sangat lembut. “Ketahuan banget nih guru nyindir anjir.” umpat Clairine lagi. Sangking kesalnya, dia sudah mau mendecih pelan, tapi sebelum itu terjadi, dia tersadar dan mengganti rencana dia untuk mendecih itu dengan sebuah senyuman palsu yang merekah di bibir kering milik Clairine.
“Ehm … saya malu, Bu.”
“Kenapa malu? Maksud kamu apa?” tanya guru itu sambil mengernyit dalam, apalagi ketika wajah Clairine dihiasi dengan semburat merah di kedua sisi pipi tembamnya.
Sebelum Clairine memberi tahu alasannya, dia memajukan kakinya ke arah dimana guru itu sedang bersandar di papan tulis yang sudah agak kotor. Setelah sampai di depannya, Clairine membisikkan, “Tadi saya lagi ganti pembalut Bu. Saya kira saya cuman bakal ganti doang di toilet. Tapi, tiba-tiba saya mau buang air besar. Sebetulnya saya sadar kalau misalnya sudah bel sekolah. Cuman gak mungkin saya masuk ke kelas dengan kondisi menahan apa yang harus saya keluarkan kan, Bu? Nanti malah saya gak nangkep pelajaran Ibu.”
Waw… pintar banget Clairine membuat alasannya. Padahal itu semua hanya kebohongan yang ia rancang kurang dari 1 menit. Sangat impresif.
“Oh ….” guru itu melototkan matanya dan mengerucutkan bibirnya sedikit kala guru itu meng-oh-kan pernyataan Clairine yang tak bisa ia bantah lagi. Hal ini tentunya membawa sebuah senyuman miring di bibir Clairine. “No one can beat me.” sombong Clairine di dalam pikirannya sendiri.
(Gak bakal ada yang bisa ngalahin gua)
Guru matematika itu sudah tak mau lagi berdebat dengan Clairine, karena ia tahu bahwa dia sendiri yang akan capek plus buang-buang waktu. Jadi, wanita paruh baya itu langsung menatap mata Clairine dan memberikan gadis gembul itu izin untuk duduk kembali ke kursinya dengan sebuah anggukan kepala.
Gadis gembul itu langsung tersenyum dan berlari kecil ke arah kursinya. Rasanya, ia sangat bangga terhadap dirinya sendiri. Karena ia merasa bahwa ia baru saja menang lomba debat, apalagi lawan debatnya dengan gurunya sendiri. Clairine mah mentalnya gak kentang yeh.
“Nyali lo gede juga ya. Masa iya mau ke kantin tanpa rasa berdosa padahal lo udah bolos setengah jam pelajaran, hah?” cibir Ginny ke telinga sahabatnya dengan suara yang agak pelan. Untungnya, murid-murid di kelas lagi pada sibuk untuk menemukan jawaban dari latihan soal yang diberikan oleh wanita paruh baya yang sedang memainkan gawainya di depan kelas.
“Gua lupa anjir … kalau misalnya mau ke kantin kan pasti ngelewatin kelas tuh. Jadinya tanpa sadar gua cuman lari-lari kecil ke kantin … eh tau-taunya gua ketangkep basah. Jadi ya udah deh. Gua nyari alasan yang masuk akal aja dan yang tak bisa dibantah. Hehehe.” jawaban Clairine tadi berhasil membuat Ginny menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin… gadis cantik itu berpikir tentang bagaimana ia bisa bersahabat dengan mahluk aneh yang bernama Clairine.
“Hah … otak mu ketinggalan di WC kali.” tak sampai sedetik setelah Ginny ngomong itu, Clairine sudah tertawa sampai cekikikan. Beruntung, si Clairine tertawanya gak terbahak-bahak. Kalau sempat itu terjadi… entah dimana lagi Ginny harus menempatkan wajahnya nanti.
“Astaganaga … anda kok receh bangat sih.” balas Clairine atas jawaban receh yang keluar dari bibir sahabatnya tadi.
“Sudahlah anda banyak bacot. Sama kayak si Josef.”
Gak bakal pernah tuh gua seberani si Clairine kalau ngomong sama guru wkkwkwkwkwk
Hope you like it!
See you in the next chapter!
ლ(◕ω◕ლ)
KAMU SEDANG MEMBACA
✓house with no mirrors✓
Teen Fiction"Lo pasti ngelakuin itu kan?" "Ngelakuin a - apa mak- maksud lu?" "Self harm." _______________ Semua ini berawal dari Erland yang mengetahui bahwa Clairine melakukan self harm. _______________ "Mungkin gua bakal lebih percaya diri kalau gak ada cerm...