🖇*ೃ˚[16]༘ 🖇

179 16 42
                                    

“Dadah Pa!” seru Clairine kepada ayahnya yang sudah mengantar dia pagi ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Dadah Pa!” seru Clairine kepada ayahnya yang sudah mengantar dia pagi ini. Untung aja sekarang dia gak cepet-cepet karena bokapnya tidak ada presentasi. Jadi, bisa agak santai. Ya, satu sisi baguslah karena kemarin malam dia baru saja melewati emosional roller coaster.

Untungnya, tadi pagi dia bisa menceritakan sebuah skenario yang sempurna di depan orang tuanya, terkait dengan tangannya yang terluka. Si Clairine hanya bilang, “Ini tuh gara-gara pas aku mau jatuh karena kamar baru di pel, aku jadinya berusaha nahan diri dan aku malah tanpa sadar, megang jamnya dan malah jatuh bareng-bareng sama si jamnya. Gitu Ma … Pa.”

Sungguh jawaban yang pintar bukan? Tapi karena mungkin orang tuanya kurang peka, jadinya tidak dipertanyakan lebih lanjut. Padahal kan bisa ditanya tentang kenapa hanya buku jarinya saja yang terluka, sedangkan lengannya tidak ada bekas luka sama sekali dan juga untuk apa dia pel kamarnya malam-malam? Namun, hal ini sangat menguntungkan Clairine. Jadi, dia tidak akan komplain, pastinya.

Pagi ini sekolahnya terasa sangat ramai, banyak orang lalu lalang di sepanjang lobi sekolah. Ini semua karena adanya bazar yang diselenggarakan satu kali setiap tahun. Momen ini tentunya Clairine pakai untuk mengobservasi orang-orang yang berada di sekitarnya. Ia melihat banyak cewe-cewe cantik yang berdiri, gadis-gadis itu tentunya berasal dari sekolah lain yang datang ke sini untuk bertanding. Karena, pada saat ada event bazar kek gini, pastinya ada pertandingan bola basket yang diselenggarakan di lapangan sekolah Clairine.

Hah… baru pagi-pagi saja moodnya sudah turun karena melihat mereka. Ia pun membandingkan dirinya dengan mereka, ia melihat ke bawah untuk melihat perut buncitnya dan dalam hitungan 1 detik, dia sudah menyesal melakukan itu. Karena hanya tersisa kekecewaan yang amat besar, bersarang di relung hatinya.

“Hah … lu masih di sekolah. Inget itu Clairine.” gumamnya pelan sembari ia membuang dan menarik nafasnya perlahan agar tidak terjadi lagi serangan panic attacknya. Cukup sudah satu kali saja ia merasakan itu di sekolah, pas kemarin di kantin.

Langkah kakinya pun ia arahkan ke kelasnya, sambil berusaha untuk melupakan apa yang baru saja membuat moodnya menurun. Setelah ia baru mau masuk ke kelasnya, sebuah tangan putih nan  bersih menahan dia untuk masuk. “Gu—gua boleh ngomong sama lu gak? Soal kejadian kemarin.” ucap Ginny dengan memelas. Gadis cantik itu tak sanggup untuk menahan kepalanya dan matanya agar ia bisa menatap Clairine, ia takut kalau-kalau Clairine mau langsung memutus hubungan persahabatan dengannya.

Seketika, Clairine sadar bahwa apa yang baru saja ia lakukan kemarin itu tidak benar. Tak seharusnya ia luapkan emosinya ke Ginny. Dia tak seharusnya membuat gadis cantik itu merasa bersalah karena rasa insecure ini berasal dari dalam diri gadis gembul itu sendiri.

Karena mereka sekarang sebetulnya tengah menghadang jalan masuk ke kelas, Clairine pun langsung membawa Ginny ke taman belakang sekolah yang untungnya masih sepi. Tanpa buang-buang waktu, Clairine langsung meminta maaf kepada Ginny, sebelum gadis cantik itu meminta maaf duluan.

✓house with no mirrors✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang