🖇*ೃ˚[31]༘ 🖇

195 16 57
                                    

HAPPY NEW YEAR GUYS AAAAA!!! FIRST CHAPTER IN 2022!

Sebagai hadiah dari gua, chapter kali ini panjangnya bakal kira-kira 3.000-an ehehehehe...

Cuman ini aja yang bisa gua kasih ke kalian... nikmatilah chapter dari cerita abal-abal ini. Mudah-mudahan kalian merasa terhibur! (づ ̄ ³ ̄)づ

"Udah cukup kan ya kira-kira buktinya?" gumam Erland sembari melihat-lihat hasil jepretan yang akan menjadi senjatanya nanti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Udah cukup kan ya kira-kira buktinya?" gumam Erland sembari melihat-lihat hasil jepretan yang akan menjadi senjatanya nanti. Jujur, dia itu merasa sangat tidak enak hati karena harus melakukan ini kepada orang yang pernah membuat dia bahagia, dulu. Namun, ia tak bisa membiarkan lagi ada orang yang merasakan perasaan yang sama dengan adiknya. Apalagi ini Clairine, orang yang mendengarkan cerita kelamnya dengan sepenuh hati dan membuat remaja tampan itu leluasa untuk melakukan dan menceritakan apa pun kepada Clairine.

"Cukup banget lah gila. Udah bisa langsung masuk penjara remaja tuh si Alena kalau lu bawa itu. Yang menjadi masalah adalah ... bokapnya itu termasuk orang yang berpengaruh. Kira-kira gimana rencana lu untuk ngejatuhin dia, hah?" ucap Fernando sambil memain-mainkan rambutnya yang sudah mulai panjang. Dia ini memang cocok banget deh kalau untuk diajak serius dan opininya gak kaleng-kaleng.

"Bener juga ... kenapa gua gak mikir sampai sana ya."

"Makanya lu bersyukur punya sahabat kek sodara gua. Jarang banget kan lu ketemu orang yang pinternya kek dia?" celetuk Felix sembari mulutnya mengunyah cemilan yang ia curi dari kulkas Erland. Ketiga sahabat lainnya lagi serius untuk bisa melancarkan rencana Erland, sedangkan cecunguk satu ini malah dengan santuynya makan.

"Iyain dah. Udah lu sini diskusi sama kita-kita. Susah banget deh untuk bicara serius sama lu." ungkap Josef yang kemudian direspons dengan anggukan dari Erland dan Fernando.

"Iye ... iye." pasrah cowo santuy masih dengan snack di tangannya. Setelah semuanya duduk, Erland menanyakan pendapat Felix tentang apa yang harus dia lakukan.

"Jadi ... gimana menurut lu, Lix?" tanya Erland pelan. Sambil berharap dalam hati bahwa kali ini Felix bisa memberikan pendapat yang masuk akal dan gak main-main.

"Gampang aja sih menurut gua." semua mata pun seketika tertuju pada Felix, walaupun dalam hati mereka ada perasaan tidak enak karena cowo itu biasanya hanya ingin mencairkan suasana.

"Kasih tahu aja ke bokapnya." jawabnya dengan pelan. Fernando, sebagai orang paling cerdas di sana ternyata oh ternyata menganggukkan kepalanya.

"Kenapa lo anggukin kepala lo, hah?" tanya Josef kebingungan. Sebenarnya, hanya dia-lah yang belum mengerti benang merah dari keputusan itu. Ketiga orang lainnya di sana pun menghelakan nafas dan Felix pun akhirnya memaksakan diri untuk menjelaskan idenya kepada Josef.

"Jadi gini loh ... kita semua kan tahu kalau Alena itu punya bokap yang perfeksionis banget. Kita kan dulu sering hang out sama dia. Pas si cewe itu masih pacaran sama Erland. Nah, dia kan pernah cerita kalau bokapnya mengharuskan dia untuk dapat nilai minimal 95 di setiap latihan, PR, atau ulanganya. Kalau nih bokapnya tahu dia ngelakuin narkoba dan nge-bully orang, citra bokapnya pasti bakal hancur dan Alena pasti gak bakal masuk sekolah biasa lagi karena dia harus masuk rehabilitasi gitu. Ngerti kan lo maksud gua, Joseffff?" barulah pria yang nge-bucinin Ginny itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum lebar karena dia merasa bahwa dia agak lama memang loading-nya.

✓house with no mirrors✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang