🖇*ೃ˚[15]༘ 🖇

173 15 22
                                    

Sebuah bunyi keluar dari gawai milik Clairine, membuat sang empunya membuka notifikasi yang ternyata berasal dari aplikasi yang berwarna hijau itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebuah bunyi keluar dari gawai milik Clairine, membuat sang empunya membuka notifikasi yang ternyata berasal dari aplikasi yang berwarna hijau itu. Dari grup keluarga kecilnya, kedua orang tua Clairine memberi tahu gadis gembul itu bahwa mereka akan pulang tengah malam karena lembur. 

Bukankah ini akan menjadi momen yang pas sekali untuk overthinking? Setidaknya jawabannya adalah iya untuk Clairine yang tengah berdiri di depan cerminnya. Karena tiba-tiba saja ia mau membuktikan perkataan Ginny, yang katanya siapa pun akan merasa lebih cakep pas bercermin di sini. Tapi kenapa Clairine malah merasa kebalikannya? Dia tidak merasa cantik sama sekali. Dia malah merasa tersadar, tertampar dengan kenyataan bahwa dia tidak cantik.

Dia benci cermin. Sangat benci.

Karena itu selalu menunjukkan aspek dalam dirinya yang paling dia tidak suka. Yang tak lain dan tak bukan adalah tubuhnya sendiri. Apalagi cermin yang selalu terpajang di dalam rumahnya, karena cermin itu selalu terpampang di depan matanya dan selalu ia lihat siang dan malam.

“Mungkin gua bakal lebih percaya diri lagi kalau gak ada cermin di rumah gua yang selalu ada untuk mengingatkan bagaimana jeleknya dan besarnya badan gua, mungkin gua gak bakal ngebandingin ukuran pinggang cewe-cewe lain kalau gak ada cermin di rumah gua yang selalu menampar gua dengan kenyataan bahwa gua gak sama dengan mereka yang langsing dan cantik itu, mungkin gua bakal mau difoto kalau gak ada cermin di rumah gua yang memperlihatkan bagaimana jeleknya muka dan badan gua.”

Ia sedang dalam posisi berdiri dan memandangi tubuhnya sendiri saat kalimat-kalimat itu keluar begitu saja dari kepalanya, tanpa harus ia rangkai. Membuat Clairine sadar betapa menyedihkannya dia sekarang. Dia sadar bahwa dia sudah sangat tak percaya diri, bahkan sampai titik dimana dia sudah melakukan self harm dan memandang jijik tubuhnya sendiri di cermin, persis seperti apa yang dia lakukan sekarang. Namun, gadis gembul itu percaya bahwa ia pantas menerimanya karena ia terkadang tidak bisa menahan kecintaannya kepada makanan dan rasanya sudah terlalu berat baginya untuk berolahraga, tubuhnya pun tidak bisa diajak berkompromi saat ia melakukan gerakan-gerakan yang sebetulnya ia bisa lakukan jika dia tak segendut ini. Itulah yang selama ini menjadi dasar dari toxic mindset yang dia punya sampai sekarang.

(toxic mindset= pola pikir beracun, yang artinya pola pikir yang tidak baik. Kira-kira begitulah terjemahannya ya)

Sangat salah sebetulnya untuk dia mempunyai mindset seperti itu, tapi otaknya masih menolak untuk bisa mencintai dirinya sendiri. Rasanya, masih sebuah ketidakmungkinan untuk dirinya sekarang mencintai dan menerima tubuhnya ini. Ralat, bahkan Clairine sendiri tidak percaya bahwa pada satu waktu, dia akan bisa mencintai semua aspek dalam dirinya, termasuk tubuhnya yang gembul itu.

PRANGG PRANGG

Pecahan-pecahan kaca dari cermin aesthetic itu berserakan di lantai, diiringi dengan cairan kental berwarna merah yang terus menerus menetes di cermin rusak itu. Pastinya, itu berasal dari kepalan tangan Clairine. Air matanya meluncur deras dan semakin deras seiring dengan rasa sakitnya yang sekarang juga sudah menjalar ke seluruh telapak tangan kirinya, tangan yang terluka itu menjadi bukti kebencian Clairine terhadap apa yang dia lihat di cermin.

“Clairine … oh Clairine … lu itu menyedihkan banget ya.” gumamnya kepada dirinya sendiri sambil tersenyum miris, diiringi dengan cairan kental dan bening yang terus berdesir keluar dari kedua matanya dan telapak tangan kiri milik gadis gembul itu. 

Dia hanya duduk… dan duduk, entah sudah berapa puluh menit. Sambil memandang kosong cermin rusaknya yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Gilanya, dia malah tersenyum saat ia melihat cermin itu dan tertawa sendiri, atau lebih tepatnya menertawai betapa mirisnya dia kelihatan sekarang. Jika ada seseorang yang melihat keadaannya sekarang, mereka pasti akan merasa iba terhadap Clairine karena memang dia terlihat semenyedihkan itu, setidaknya untuk sekarang.

“Hah … udah dah ayo beres-beres. Nanti kalau ketahuan, mateng lu Clairine.” ucapnya kepada dirinya sendiri setelah ia bisa menenangkan dirinya. Bukan hal yang mudah pastinya, tapi ia takut jika dia tak segera beberes, apa yang telah disembunyikan dalam dirinya terbongkar dengan cara yang sangat mengenaskan. Oleh karena itulah, ia langsung beranjak dan berjalan ke belakang rumah untuk mengambil sapu dan pel.

Lalu, ia kembali ke kamarnya dan mulai menyapu, membersihkan pecahan-pecahan kaca yang berserakan di ujung kamar gadis gembul itu. Yang tersisa sekarang adalah jejak darah Clairine, yang pastiya akan ia hilangi dengan cara mengepel bagian lantai yang berada dibawah cermin yang sudah rusak itu agar tidak ada yang curiga atas apa yang baru saja terjadi.

Saat ini, dia sudah mulai mengepel dan beberapa menit kemudian, semua sudah tertata kembali seperti sedia kala. Kecuali dengan cermin milik Clairine yang sudah dalam kondisi retak parah dan dilumuri oleh darah miliknya. Entah apa yang akan Clairine lakukan terhadap cermin yang dikagumi oleh Ginny itu.

“Gua buang aja deh. Supaya sekalian gak ada cermin– barang yang paling gua benci– tergantung di kamar gua.” gumamnya puas kepada dirinya sendiri. Clairine pun mengambil cermin itu dan sebelum ia buang, tak lupa ia lap jejak darahnya yang masih terlihat agar ia bisa menunjukkan bukti bahwa cermin ini itu hanya retak karena tak sengaja jatuh, tak lebih.

“Hah … akhirnya semua beres. Tinggal ngebersihin luka dari nih tangan satu aja nih keknya.” Clairine pun langsung mengambil Betadine dan kapas untuk membersihkan lukanya. Namun sebelum itu, ia pastinya sudah membilas tangan kirinya. Saat cairan berwarna coklat itu berkontak dengan lukanya yang masih menganga, dia langsung berdesis kesakitan pastinya. Ini sebetulnya satu-satunya alasan ia benci melakukan self harm.

“Njir bener-bener. Sakit juga ya gila. Pas gua retakin tuh kaca mana sakit tangan gua nih. Kalau pas giliran dibersihin langsung tiba-tiba kerasa sakitnya anjir. Rasanya pada saat gua ngelakuin self harm tuh diri gua mati rasa.” racaunya dengan bibirnya yang komat-kamit. Padahal dirinya sendiri yang ngelakuin itu kepada tubuhnya. Karena anehnya, dia malah gak bisa lepas dari self harm, ia rasanya merasakan kepuasan sendiri pada saat melakukan itu. Rasa sakit di kepalanya saat ia menangis sudah tak ia rasakan karena rasa sakit itu sudah menjalar ke bagian tubuhnya yang dia lukai sendiri. Mungkin karena inilah dia tak bisa lepas dari self harm. Itu karena dia lebih memilih sakit secara fisik ketimbang sakit secara mental saat ia memikirkan tubuhnya yang sangat ia benci ini.

Setelah semuanya sudah beres, gadis gembul itu langsung membuang kacanya yang retak dan membalut seluruh bagian telapak tangannya yang baru saja terluka. Setelah dia mematikan lampunya, dia langsung membanting tubuhnya di atas tempt tidur yang sangat empuk itu.

“Dah selesai … sekarang saatnya tidur.” ucapnya sebelum sepasang kelopak matanya tertutup sempurna.

Bawang banget ya guys

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bawang banget ya guys...wkwkwkw... mudah-mudahan bisa ke-transfer ya perasaannya (gitu gak sih bilangnya? astagah gua bingung wkwkwkkw)

Terusss... kalau kalian sukak sama cerita ini, jangan lupa divote dan kasih komen kalian yaww (terserah dah mau komen apa wkwkkw)

See you in the next chapter!
ヾ(・ω・*)

✓house with no mirrors✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang