Bab 19

2.7K 177 3
                                    

Warning 18+!

Nana tidak pernah mengira kalau Jeno bisa seromantis ini padanya. Kedua matanya berbinar saat ia menatap sekelilingnya. Sekarang mereka sedang menatap balkon kamar Nana yang tampak berbeda malam ini.

Dekorasi candle light dinner, lilin aroma yang menenangkan suasana dan pemandangan malam menghiasi balkon yang mulanya sepi itu jadi lebih cantik.

Nana mengatupkan mulutnya yang semula ternganga, kemudian matanya menatap Jeno yang kini tersenyum semringah.
Mungkin kejutan seperti ini lebih cocok untuk acara lamaran.

Sejenak Nana berpikir, apakah Jeno benar-benar akan melamarnya? Tapi saat ia kembali disadarkan dengan kenyataan status mereka, angan-angan seperti itu pun langsung lenyap.
Lagipula untuk sampai ke tahap itu rasanya masih sangat jauh untuk mereka.

Tapi daripada memikirkan hal itu, Nana lebih suka menikmati kejutan yang Jeno siapkan untuknya ini.

"Jadi dari tadi pas aku mandi kakak nyiapin ini?"

Jeno mengangguk.
"Sebenernya sih dari siang, cuma kakak sengaja nutup jendela kamar kamu biar ga ketahuan."

Tidak tunggu lama, Jeno segera membimbing tangan Nana untuk ikut bersamanya duduk di kursi.

"Makanan ini---"

"Makanan ini kakak pesen direstoran, ga keburu kalo masak sendiri, malah tar keburu ketahuan sama kamu, hehe."

Senyuman Nana mengembang.
"Iya gapapa kok, ini juga udah makasih banget kak, so sweet amat sih pacar aku tuh."
Pujian itu langsung mendapat senyuman dari Jeno.

"Yaudah yuk makan, kamu pasti udah laper kan?"

"Yoi, dari siang aku belom makan sih, sibuk mulu belajar sendirian, tapi kagak ada yang nyangkut di otak. Heran, apa otaknya Nana tuh disimpenin antipinter kali ya kak, jadi tiap belajar ilmunya mental terus."

Jeno tertawa.
"Antipinter? apaan sih? Itu sih karena ga ada tutornya aja makanya kamu jadi bingung. Besok kamu libur kan? Kita belajar deh seharian,"

Kedua bahu Nana langsung menciut lesu.
Arti kata belajar seharian itu yang membuatnya lemas. Dia ingat terakhir kali saat Jeno menemaninya belajar dan malah berakhir dengan pertengkaran.
Jeno itu sebenarnya guru yang sabar, hanya Nana saja yang tidak sabaran karena ingin pintar dengan cara cepat alias diberi soal berikut jawabannya.

"Kok lesu?"

"Yah elah, kayak ga inget aja, terakhir kita belajar bareng, kita kan malah gelut kak, mana saling jambak lagi, ga classie banget tubirnya."

Ya Jeno juga ingat soal itu, tapi itu kan waktu mereka masih saling benci.

"Ya ga lah kalo sekarang mah, kak Jeno bakalan lebih sabar lagi deh ngadepin kamu."

"Dih, kok berasa aku amat yang bocil ya?"

"Lah emang kamu masih bocil."

"Bocil sih lo gebet juga, dasar kanebo."
Mereka pun tertawa. Jeno sudah biasa dengan mulut Nana yang seperti ini, selama tidak mengatakan kata-kata yang di luar batas, Jeno sih sudah tak masalah. Lagipula memang itu keunikan Nana, pikirnya.

Mereka menikmati hidangan daging steik dengan lahap, sambil mengobrol tentang hal-hal yang ringan. Hanya seputar masalah persiapan ujian Nana, dan sedikit tentang orang tua mereka saja.

Tapi di suatu detik, Jeno mengeluarkan sebuah kotak berukuran kecil warna merah. Nana langsung menatap Jeno lekat saat Jeno memperlihatkan isinya yang ternyata adalah sebuah kalung.

Abang Angkat (Nomin gs) LOKAL✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang