010

733 157 6
                                    

“Cie dianterin siapa tuh tadi?”

Rosé memutar bola matanya malas. Dia sudah hafal betul siapa pemilik suara menyebalkan ini. Iya, kalian benar. Sang kakak, Chanyeol.

“Orang, Bang”

Kini Chanyeol yang menatap adeknya itu jengah. Laki laki bertubuh jangkung itu langsung saja ambruk ke kasur empuk milik Rosé hingga menyebabkan Rosé yang tengah asik main hp langsung terbang melayang begitu saja.g

“ABANGGGGGGG.” Rosé langsung teriak sesaat setelah tubuhnya mendarat di kasur lagi.

“Maaf sengaja”

“Pergi kaga!” Rosé terus menerus menendang punggung sang kakak tercintanya itu untuk pergi dari sana. Ya gimana ya, Rosé sudah terlanjur kesal.

“Kaga”

“ABANG”

“Duh, Dek. Abang mau ngomong serius ini”

“Abang mana pernah serius,” todong Rosé nyolot. Matanya mendelik menatap sang abang yang tak bergerak satu inchi pun, padahal ia sudah mendorong punggung Chanyeol. “Abang pergiiiii!”

“Udah Abang bilang Abang mau ngomong serius!”

“Bodo amat! Pergi ga!”

“Dek.” Chanyeol menarik nafasnya pelan, “Lo inget ga apa yang lo janjiin sama ayah saat lo udah mutusin buat ikut ayah?”

Rosé terdiam. Kakinya ia tarik lagi agar ia berhenti menendang punggung sang kakak. Ingatannya melayang pada saat dimana hari bersejarah dalam keluarganya itu mencapai pada konfliknya.

Saat itu hujan turun deras, petir menggelegar dimana mana bahkan kilat pun saling bersahutan tak mau kalah.

Rosé yang saat itu masih berusia 7 tahun, terbangun karena suara pecahan barang yang bersahutan.

Rosé melangkahkan kakinya melewati lorong kamar yang sepi itu. Tentu saja sepi, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 01.00.

Rosé memang bukan tipe gadis yang penakut, ia tetap melangkahkan kakinya menuju asal suara walau kilat menyambar langit.

Mata Rosé membulat saat ia menemukan sang ayah tergeletak di lantai dengan darah di sekujur kepalanya. Mata Rosé semakin membulat saat melihat sang ibu yang gemetar dengan pecahan vas di tangannya.

“Ma-mama”

Wanita itu menoleh dan langsung membeku begitu melihat Rosé yang menatapnya dengan tanda tanya.

Wanita itu segera bangkit dan mengambil seorang gadis yang tengah tertidur di sofa dengan tenang. Gadis kecil itu terlihat seumuran dengan Rosé.

Sebelum pergi, wanita itu menyempatkan diri untuk melempar Rosé dengan pecahan vas yang ia pegang. Wanita itu berharap Rosé amnesia dan melupakan kejadian hari ini agar tidak membencinya.

“MAMA.” Rosé berteriak saat sang ibu berlari pergi dari sana setelah melukainya dengan menggendong gadis kecil bersurai coklat itu.

Mata Rosé berembun. Kepalanya pening apalagi saat ia melihat darah yang merembes keluar melewati matanya.

MAMAAA

“Dek, kenap--- AYAH, ROSÉ

Rosé menoleh dengan gemetar saat suara sang kakak yang memekik di belakangnya.

Chanyeol yang saat itu terbangun karena teriakan Rosé langsung terbelalak saat melihat sang ayah yang tergeletak tak berdaya dan kepala Rosé yang berdarah.

“AYAH, YAH BANGUN,” pinta Chanyeol yang terus menerus menggoyangkan badan sang ayah.

ABANG TELFON AMBULAN, BANG!” pinta Rosé yang masih panik. Ia memilih untuk mempedulikan ayahnya sendiri terlebih dahulu daripada rasa perih yang menjalar di kepalanya.

Dengan sigap, Chanyeol langsung menelfon ambulan. Ia masih terlalu kecil untuk mengendarai mobil sendiri.

Tak lama kemudian, ambulan datang dan membawa sang ayah pergi ke rumah sakit. Chanyeol dan Rosé masih setia mengekor di belakang perawat.

“Ayah”

ROSÉ.” Chanyeol berteriak saat sang adik jatuh limbung ke tanah dengan mudahnya. Ia semakin panik saat sang adik tak merespon panggilannya.



**



Pria itu manggut manggut, ia tau kenapa wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu melempar Rosé dengan vas bunga.

“Dia ingin adek kamu amnesia. Bukan, lebih tepatnya gegar otak agar adek kamu ngga inget kejadian malam itu,” ucap pria itu.

Chanyeol mengepalkan tangannya erat, matanya nyalang mendengarkan tebakan sang ayah. “Wanita sialan. Beraninya nyakitin ayah, nglukai Rosé dan ngbawa pergi adek gua. Liat aja, suatu saat nanti bakal gua hancurin lo,” batin Chanyeol penuh dendam.

“Mama ga mungkin setega itu, Yah. Hiks hiks mamaaa.” Tangis Rosé pecah saat sang ayah menceritakan tebakannya sesaat setelah Rosé selesai bercerita.

“Dek, untuk menghindari hal yang tak ayah inginkan lagi, kalo kamu ketemu adek atau mama, jangan manggil! Diam saja! Pura pura ga kenal, kamu paham kan, Dek?” pinta sang Ayah.

“Tapi kenapa hiks hiks”

“Adek, ayah mohon. Ini demi keselamatan kamu,” pinta sang ayah lagi.

Dengan berat hati, Rosé mengangguk. Saat itu ia masih kecil untuk memahami maksud dari sang ayah.

“Dek, kamu pindah ke Australia ya”

Rosé tersentak, “Kenapa? Ayah mau ngusir Rosé?”

Pria itu menggelengkan kepalanya, “Kita semua bakal pindah ke Australia. Ke rumah nenek. Ini demi kebaikan kita semua, lagipun Ayah ada pekerjaan di Australia”

“Tapi . . . Temen temen Rosé gimana? Jungkook sama Mingyu gimana? Rosé gamau, Ayah,” tolak Rosé yang masih menangis.

“Tapi, Rosé”

“Ayah, Ayah kembali saja ke Australia. Ayah selesaikan pekerjaan Ayah. Biar Chanyeol yang disini jaga Rosé, Chanyeol sama Rosé bakal nyusul saat Rosé udah siap. Mungkin saat Rosé SMA,” pinta Chanyeol.

“Tapi itu masih lama, Bang”

“Ayah, kami bisa saling menjaga. Lagipun Ayah masih butuh penyembuhan untuk kepala dan tubuh Ayah di luar negeri. Kami tidak apa apa. Ayah bisa sesekali berkunjung kesini. Kami akan selalu menunggu kedatangan Ayah,” ucap Chanyeol yang membuat sang ayah menangis haru.

Sebenarnya Rosé hanyalah alibi bagi Chanyeol. Chanyeol hanya ingin membalas dendam dengan wanita yang sudah melukai adik kesayangannya. Bahkan sang ayah. Ia ingin menemukan dan meraup bahkan mencabik cabik sang ibu. Oh tidak, mulai detik itu Chanyeol tak sudi memanggilnya dengan sebutan ibu lagi.

Rosé menghela nafasnya. Janji adalah sebuah janji bukan? Lagipun ia sudah dewasa, ia sudah bisa melepaskan dan berpamitan dengan hati yang lapang pada sahabat sahabatnya.

“Kapan? Kapan kita berangkat?”













Wednesday, 16 June 2021

[✓] Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang