XXVII. Run

109 35 5
                                    

Jangan lupa vomentnya! Biasakan hargai karya penulis, ya! Thank u

Hari masih sangat pagi. Matahari bahkan belum menampakkan dirinya. Masih terlalu awal untuk memulai hari. Para member masih berada di kasurnya, kecuali satu orang yang sudah bangun dan sedang menyeduh teh hangat.

"Hahh hangatnya." Hera membuang napas panjang. Ia kembali mengisap teh di gelasnya. Hera dapat tidur dengan mudah semalam, karena matanya yang lelah sehabis menangis.

"Aku benar-benar meluapkan semuanya." Hera mengingat kejadian semalam. Tiba-tiba pipinya merona. Ia teringat akan momen dimana ia menangis dalam pelukan Jay.

"Ah, jika diingat kembali, kenapa aku membiarkan diriku menangis didalam pelukan Jay? Sungguh memalukan!" Hera menutupi kedua wajahnya.

Nada dering dari handphone Hera tiba-tiba berbunyi. Satu nama tertera pada layar handphone itu. Sebuah nama yang enggan ia lihat sedang memanggilnya. Entah apa yang merasuki orang itu hingga menelpon Hera di pagi buta ini. Tidak ada minat untuk menjawabnya, Hera spontan menonaktifkan handphone miliknya.

"Aku sedang tidak ingin diganggu olehmu, eomma." Hera menatap layar smartphone. Perempuan itu melangkahkan kaki menuju jendela. Dilihatnya pemandangan pagi dari balik kaca. "Sebaiknya aku menyegarkan pikiranku dulu," gumam Hera sembari melihat beberapa orang yang sedang lari pagi.

Dulu setiap ada masalah di rumah, Appa selalu mengajak Hera untuk berlari. Appa mengerti akan hubungan Hera dan Eomma yang tidak begitu baik. Wanita berambut pendek itu selalu disalahkan, bahkan terhadap sesuatu yang tidak ia lakukan. Jika hal itu terjadi, Appa selalu mengajak Hera keluar. Appa memberitahu Hera untuk berlari apabila sedang mengalami kesulitan. Hera masih mengingat pesan dari Ayahnya.

"Hera jika kau merasa tidak nyaman karena suatu masalah, berlarilah!"

"Berlari?"

"Iya. Suara detak jantung yang berdebaran, keringat bercucuran, pemandangan sekitar, semua itu akan membantumu melupakan apa yang terjadi. Semakin besar masalahmu, berlarilah semakin jauh. Tapi jangan lupa dengan jalan pulang."

"Eoh? Jadi, sejauh apapun aku pergi aku harus tetap pulang ya, Appa?"

"Iya. Kau bisa berlari sejauh mungkin sesuai kemampuanmu, hanya saja hal itu tetap tidak bisa membuatmu lari dari kenyataan. Seberapa keras kau berlari kau tetap harus pulang, karena masalah tidak akan hilang begitu saja."

"Kalau begitu, apa gunanya aku berlari?"

Appa Hera tersenyum menatap putrinya yang saat itu masih berumur 9 tahun. Pria itu mengusap ujung rambut Hera dengan pelan. "Sebentar saja. Kau hanya butuh waktu sebentar untuk melupakan semua masalah itu. Biarkan pikiranmu jernih. Setelah kau lelah berlari, kau akan merasa lega dan lebih menghargai kehidupanmu."

~

Setelah beberapa menit berlari, Hera akhirnya memutuskan untuk beristirahat sejenak. Dia meminum air dari botol yang sudah dibawa. Setelah itu netranya menyisiri pemandangan sekitar. Sudut bibir Hera membentuk sebuah senyuman.

"Sudah lama aku tidak merasakan perasaan setenang ini. Metode Appa memang yang terbaik!" Hera menengadahkan kepalanya keatas, menghadap langit.

Setelah merasa lega, Hera memutuskan untuk kembali ke dorm. Dia kembali mengaktifkan handphonenya, hendak mendengarkan musik sembari berlari. Seketika mata Hera membulat setelah melihat ada 5 panggilan tak terjawab dari Eomma. Itu adalah jumlah panggilan terbanyak dari Eomma selama hidup Hera. Wanita itu semakin terkejut ketika tahu bahwa ada beberapa pesan suara yang masuk. Spontan Hera mendengarkannya.

Season 1 Who Are You? [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang