ATJ 11 - Zee

81 13 0
                                    

Nailun's POV

KASIHAN sekali nasib yang menimpa Zee. Anak itu harus termangu di antara teman-temannya yang justru lahap menyantap makan siang pada jam istirahatnya.

Gara-gara ulah keji Reyner!

Aku juga pernah kehilangan kucing peliharaanku yang sudah bersamaku hampir tujuh tahun lamanya, dan memang sakit sekali ketika harus melihatnya terluka di depan mata sendiri.

Glossy terjebak di dalam lubang kamar mandi saat itu, aku tak tahu bagaimana bisa. Sampai-sampai aku menangis kejar ketika Glossy tidak tahan lagi dan meninggal di sana.

"Bu, mie cup saya udah jadi belum?" tanyaku ke ibu kantin langganan. Zee juga ternyata sering makan di sini, aku hanya sesekali melihat dia pasalnya.

"Sudah," kata si ibu sembari menyerahkan cup mie instanku.

"Ini sekalian air mineral sama susu zeenya dua, jadi berapa semua?" tanyaku menotal jajanku.

"Pas, dua puluh ribu," kata si ibu lagi dan segera kutukarkan dengan lembaran hijau dari saku.

Aku berlalu menuruni tangga dari kasir kantin tersebut menuju meja yang ditempati Zee. Kebetulan meja di sampingnya kosong, satu kursinya jadi kutarik bergabung dengan Zee dan dua orang temannya juga.

"Saya duduk di sini ya," kataku sudah mendarat tanpa persetujuan mereka.

Uap dari dalam cup mi instanku kubiarkan mengepul di udara, susu coklat yang kubeli tadi kuserahkan untuk Zee semua, dan satu lagi ... aku tersenyum ramah kepada mereka yang masih terlihat bingung dengan kedatanganku.

"Dilanjut aja makannya, saya nggak akan ngapa-ngapain kalian kok," kataku memastikan kepada mereka.

"I-iya, Kak," jawab mereka gagu meneruskan suapan nasi uduknya, hanya Zee yang masih bengong menyelidik kedatanganku yang tiba-tiba.

"Udah, nggak apa-apa ... anjingnya insya Allah pasti masih sehat kok," ucapku setelah menangkap basah tatapannya. Tidak lupa kutuangkan sebagian dari kuah mie instanku, membasahi bekalnya yang kering dengan nasi dan ayamnya saja.

Dua temannya sampai menahan kembali suapannya menonton perlakuanku pada Zee yang sedikit berbeda.

Aku berani mengatakan bahwa niatku tidak lain hanya prihatin pada kejadian yang menimpanya, terlebih aku kembali mengetahui penyebab dari kesedihan temannya itu.

Tidak lebih.

"Kenapa masih ngeliatin? Nggak nyaman ya saya duduk di sini? Ya sudah, saya pindah-"

"Enggak, Kak. Nggak apa-apa kok di sini aja," katanya buru-buru mencekal kursiku yang sebentar lagi kutinggalkan.

Baik.

"Minum gih susunya, biar nggak sedih-sedih lagi!" ujarku mulai acuh dengan menyantap makananku juga.

Harus kukatakan bahwa berurusan dengan perempuan bukanlah satu kebiasaanku, tapi dengan Zee, aku seperti lupa dengan hal tersebut. Aku terlalu prihatin untuk berhadapan dengan perempuan yang ditinggal mati oleh satu dari orangtuanya, lalu hidup penuh cobaan dengan ayahnya yang belum dia ketahui kepribadian aslinya.

Aku pasti akan melindunginya jika ayahnya berniat buruk kepada putrinya juga. Menjual anaknya sendiri misal. Aku yang tidak akan membiarkannya!

"Makasih ya, Kak," ucapnya menunjuk kemasan susu tersebut dan aku hanya menggerakkan alis tak keberatan.

Itu sudah miliknya dan aku sedang menyeruput mie instanku.

"Kak, ki-kita ke kelas dulu ya. Ngobrol-ngobrol aja dulu bareng Zee. T-tugas kita belum selesai soalnya," kata salah seorang dari mereka hendak meninggalkan meja tersebut.

"Tiana, Raisa, kok jadi pada pengen pergi, udah nggak apa-apa duduk aja sini. Kak Nail numpang duduk doang kok,"

"Nggak, Zee, aku baru inget aku belum lengkapin catatan soalnya. Kamu ngobrol aja dulu, aku pinjem buku kamu ya,"

"Aku juga, Zee,"

"Ya, ya udah deh. Tapi kalian nggak apa-apa kan balik duluan?"

"Yang nggak apa-apa lah, nggak usah sedih gitu. Kita masih ketemu di kelas kali!"

"Hm, ya udah,"

Backsound mereka sedang mengobrol satu sama lain benar-benar membersamaiku melahap makanan yang kunikmati. Pemandangan dari pertemanan bangsa Hawa ternyata berbanding terbalik dengan kami bangsa Adam.

Mereka lebih dominan menggunakan perasaan, di mana perasaan untuk kami justru bukan hal yang perlu untuk diperhitungkan. Yang terpenting logis.

Mereka berpisah, meninggalkan meja ini hanya dihuni olehku dan Zee yang sedang menyeruput susu coklatnya.

Canggungku harus kubuang dulu, dia tetanggaku. Makhluk yang kehidupannya paling dekat dari kehidupanku. Kita berada pada circle yang sama.

"Gimana anjingnya, kayanya tadi pagi udah nggak kedengaran lagi," sahutku memulai obrolan ini.

"Untuk sementara waktu Barking masih ditangani. Lukanya lumayan parah, Kak,"

"Belum dibawa pulang?" tanyaku.

"Belum. Pupa fokus nyari penembaknya dulu, katanya."

Deg.

Suapanku saat itu mendadak tertahan di udara. Aku membeo menatap Zee yang saat itu tertunduk menyeruput susu coklatnya yang nyaris tandas.

Srettt ... srettt ...

Dia bahkan tidak sempat menemukan tarikan cemas di wajahku memikirkan nasib Reyner, sebelum jemariku beralih menyiapkan susu coklatnya satu lagi.

Dan aku mungkin perlu menghabiskan banyak waktu luang bersama Reyner saat ini.

Takut aku menyesalinya di kemudian hari.

***

Read Quran first and make it priority.

Berapa abad kita gak pernah ketemu ya, hehe. Jadi kangen <3


AYAHKU (TIDAK) JAHATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang