ATJ 20 - Cenayang

70 16 0
                                    

"Loh, Zee ... belum pulang?" sahut suara dari belakangku berjalan menghampiri. Kulihat ternyata Kak Nailun yang datang.

"Belum, Kak. Lagi nunggu angkot," kataku menengok jalur angkutan umum, tak ada satu pun angkot yang datang.

"Ayah kamu nggak jemput?" tanyanya.

"Enggak. Aku mau ke kafe soalnya, jadi ketemu di sana aja nanti,"

"Oh. Mau diantar?" tawarnya kemudian.

Aku hanya menggeleng pelan tidak bermaksud menolak kebaikannya.

Kalau aku ikut kan, artinya di dalam mobil aku dan Kak Nailun jadi ber-khalwat (berduaan), hal itu bisa mengundang pikiran liar orang lain, sekaligus mengundang kemarahan Pupa.

"Nggak berdua kok, Milan ikut juga," kata Kak Nailun seperti membaca pikiranku.

Aku sampai terperangah hebat. Apakah dia cenayang?

Sepertinya iya.

"Kamu tunggu sebentar ya. Milan lagi keluarin mobil dulu, bentar lagi dateng," katanya, dominan sendiri. Selalu dia yang berbicara.

Padahal yang kutahu, Kak Nail termasuk siswa yang berkepribadian dingin dan selalu menghindar dari skandal-skandalan yang menyeret namanya.

Tidak begitu lama, Kak Milan benar-benar datang dengan mini cooper milik Kak Nailun. Aku masih terdiam menatap mereka penuh tanda tanya.

Mereka tidak akan kerepotan, kan?

"Kita mau ke kafe ayah kamu kok, jadi sekalian aja, daripada kamu nunggu angkot. Lama, Zee," tebak Kak Nailun dengan isi hatiku lagi.

Benar deh, dia cenayang!

Dengan langkah ragu-ragu pintu jok tengah Kak Nailun segera kubuka, setelah jalur angkutan umum benar-benar tidak menunjukkan tanda kemunculannya.

Kami berangkat menuju kafe dengan hatiku bermohon semoga Pupa tak melihatku diantar oleh orang asing begini.

Salah siapa yang mendadak tidak bisa datang?!

Begitu aku sampai di kafe, aku, Kak Nail, dan Kak Milan segera berpisah. Meja kasir kususul menanyakan ke mana Pupa sampai motornya tidak nampak di parkiran.

"Kurang tahu, Mbak Zee. Tadi ada tiga orang misterius gitu ngobrol sama Pak Gerald depan pintu. Nggak lama mereka pergi," lapor Kak Ulfi, pegawai penjaga kasir di sini.

Pasti deh, orang yang datang tadi tidak lain teman-teman Pupa lagi.

Apalagi coba yang mereka urus setelah perkara Barking sudah diketahui penembaknya?! Bingung aku dengan urusan Pupa dan teman-temannya yang menyeramkan itu.

"Ya udah deh, Kak. Tolong minta kunci ruangan Pupa dong, aku mau ngambil gitar di sana,"

"Oh, gitarnya di sini kok. Tadi bapak udah pesan gitarnya dikeluarkan aja soalnya Mbak Zee mau perfome katanya," Mbak Ulfi mengangkat gitarku dari bawah meja kasir.

Aku berpasrah lagi.

Pupa nih kadang-kadang mencurigakan juga. Masa anak sendiri masuk ruangannya saja tidak boleh kalau tidak dengan dia?!

Tapi ya sudahlah, toh ayahku tidak menyimpan kejahatan.

Hanya kelihatannya saja begitu.

Segera kususul panggung, menyetel beberapa hal di sana seperti mikrofon untukku dan gitarku, beserta rangkaian chord dalam ingatanku.

Sebuah lagu untuk Pupa ...

Hari kian bergulir
Semakin dekat dirimu di hatiku
Meskipun tak terucapkan
Ku merasakan dalamnya cintamu

Jangan berhenti mencintaiku
Meski mentari berhenti bersinar
Jangan berubah sedikit pun
Di dalam cintamu kutemukan bahagia

Jalan mungkin berliku
Takkan lelah bila di sampingmu
Semakin 'ku mengenalmu
Jelas terlihat pintu masa depan

Jangan berhenti mencintaiku
Meski mentari berhenti bersinar
Jangan berubah sedikit pun
Di dalam cintamu kutemukan bahagia

Semoga tiada berhenti
Bersemi selamanya

Jangan berhenti mencintaiku
Meski mentari berhenti bersinar
Jangan berubah sedikit pun
Di dalam cintamu ...

Jangan berhenti mencintaiku
Meski mentari berhenti bersinar
Jangan berubah sedikit pun
Di dalam cintamu kutemukan bahagia.

Jika ada yang harus kubalas cintanya, maka itu hanyalah Pupa.

"Pupa, for everything that you gave me, I wanna thankful because you're my dad." lirihku diikuti instrumen gitar dan tepukan tangan dari pengunjung kafe.

Bukan karena suaraku yang biasa saja, melainkan karena yang kutampilkan adalah cinta.

Aku tersenyum pada setiap pengunjung, mengakhiri lagu milik Titi DJ yang pernah dibawakan Tulus dengan baik pula.

Kutemukan Kak Nail dan Kak Milan masih di tempat. Mereka tersenyum kepadaku pula ketika aku menyorotnya, sebelum beralih lagi meninggalkan aku dengan pembahasan serius mereka di mejanya.

Ngomong-ngomong, ini Pupa ke mana sih? Kita kan janjian ketemu di kafe.

Sebaiknya aku meneleponnya, siapa tahu di sana Pupaku diapa-apakan oleh teman-temannya yang menyeramkan itu.

"Assalamualaikum, halo sayang?" sahut Pupa ketika teleponku diangkat.

"Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh. Pupa ke mana sih? Zee udah di kafe nih. Mau pulang, tapi Pupa belum dateng,"

"Pupa ada urusan mendadak sebentar. Kamu langsung pulang sendiri aja nggak apa-apa kan?"

"Ya udah deh. Mumpung ada Kak Nailun di sini. Nanti aku nebeng dia aja nggak apa-apa kan, Pa?"

"Apa? Nailun di sana? Enggak ya, Zee, Pupa nggak izinin kamu berduaan sama dia!"

"Ya kalau gitu Pupa anter Zee. Kalau nggak ada Pupa nanti dia kasian lagi kalau liat Zee harus naik angkot,"

"Ya-yaudah. Kamu tunggu di sana, Pupa ke kafe sekarang. Assalamualaikum,"

"Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh."

Begitu dong.

***

Read Quran first and make it priority 🧡

AYAHKU (TIDAK) JAHATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang