ATJ 27: Anak Seluruh Wanita

91 12 1
                                    

Sebuah peperangan besar untuk Gerald bila harus menemukan sang putri semata wayangnya terluka karena seseorang. Dia bisa melakukan apa pun yang tak pernah dianggap wajar untuk dilakukan jika benar hal tersebut harus terjadi.

Yang menjadi masalahnya, dialah yang kini melukai hati sang putri, hingga dia harus berbaring lemah di dalam kamar.

Sudah sedari pagi Gerald duduk melantai menyapu puncak kepala Zee yang sesekali menangis setiap berpapasan dengan mata kelam sang ayah.

Dia tak bisa membencinya, meski terbukti kali ini dia telah disakiti.

“Zee belum makan dari semalam. Pupa suap ya, Nak,” bujuk Pupanya tetap tidak lengah memberikan kasih sayang.

“Nggak, Zee nggak laper,” bergetar suara Zee menjawab Pupanya.

“Makan sedikit aja ya, Sayang. Nanti Zee tambah sakit gimana? Ayo bangun dulu,”

Zee yang kian lemah menjadi sangat ringan digerakkan oleh Gerald agar duduk dengan benar pada senderan kasurnya. Gerald membawa segera mangkuk bubur untuk disuapkan kepada Zee.

“Ayo, Sayang. Zee sayang kan sama Pupa? Nggak mau liat Pupa khawatir sampai Zee kenapa-kenapa. Ayo, makan ya, Nak,”

Tanpa jawaban dari Zee, beban di seluruh tubuhnya beranjak mendekati sang ayah dan tiba-tiba saja memeluknya penuh kesedihan.

Gerald terpaku mendengarkan isak demi isak terdengar begitu menyayat hati Zee. Gerald paham betul bahwa yang Zee inginkan untuk menyuapnya bukanlah seorang ayah, melainkan ibu. Namun tak kunjung nyata buah keegoisan Gerald.

“Zee mau peluk Pupa aja, Zee nggak mau makan ...” racau Zee seperti balita di pelukan sana.

“Nggak bisa gitu, Nak, Zee harus makan. Nanti makin sakit gimana?” bantah Gerald.

“Ya udah Zee makan, tapi—” tahan Zee meleraikan tangis dan pelukan Pupanya. Hati dan perasaannya berusaha dimampukan menatap Gerald saat itu.

“Tapi apa?” desak Gerald tidak ingin berlama-lama menyaksikan penderitaan putrinya.

“Izinin Zee ke rumah Ummi. Zee mau makan makanannya Ummi ...” pinta Zee, penuh permohonan. Sedang ayahnya seperti tertembak lehernya. Kelu sekali hendak mengatakan apa.

Please, Pupa! Seenggaknya kalau Ummi nggak bisa jadi umminya Zee, Zee masih bisa ketemu Ummi. Zee nggak mau putus silaturahmi sama Ummi, Pupa ...”

Gerald menyaksikan amat berharap bibir sang putri melirih, hingga terlihat jelas bagaimana Zee menggigit kuat bibir bawahnya guna menyamarkan getarannya.

“Ya udah, Pupa anter,” putus Gerald terkesiap menolong Zee yang seperti ingin melompat begitu mendengar perizinannya.

Dibalut dengan long shirt berwarna salmon lembut dengan bawahan training olahraga bersama kerudung gelap senadanya berangkat ke depan rumah Rum.

“Udah, sampai sini aja nganternya Pupa, nanti Ummi nggak mau bukain Zee pintu kalau liat Pupa,” pinta Zee mengusir halus pengawasan Pupanya.

“Tapi—”

It’s okey, Pupa. Pupa berangkat ke kafe aja ya. Biar Zee diurus sama Ummi dulu,” sergah Zee tidak ingin dibantah.

Tak punya pilihan lain, Gerald memasrah turut akan permintaan tersebut. Wajar si anaknya tidak ingin menemuinya dulu setelah merasa diberi harapan palsu oleh Gerald.

“Ya udah, kalau ada apa-apa, langsung telepon Pupa. Sampai kamu kenapa-napa, Pupa nggak akan maafin kalian berdua!” ucap Gerald, diangguki Zee sanggup.

Gerald menghilang dari hadapannya, lalu di saat yang bersamaan pintu rumah Rum terbuka sebelum Zee mengetuknya.

“Loh, Zee ternyata? Kirain siapa di luar kaya ada yang ngobrol tadi,” sambut Rum begitu melihat Zee dan sekitarnya, dengan siapa anak ini berbicara.

“Ummi Rum masih marah ke Zee dan Pupa ya?” Zee melantunkan suara bergetarnya. Bergegas Rum memeluk setelah wajah ayu gadis cantik itu ditelisik amat sedih dan takut.

“Enggak, Sayang, Ummi nggak marah. Ummi tetap sayang sama Zee sekalipun nggak jadi umminya Zee,” ucap Rum menenangkan bahu sang gadis yang terisak dalam peluknya.

“Ayo masuk, Sayang, Zee kelihatan pucat banget. Zee udah makan, Nak?” Geleng kecil mengisi pelukan Rum yang tergerak membawa gadis tersebut segera masuk ke ruang tamu.

“Zee istirahat di sini dulu ya, Nak. Ummi siapain makan buat Z—”

Assalamualaikum,”

Suara salam di luar pintu mengalihkan keduanya. Batal Rum ke dalam dapur untuk membuka pintu terlebih dahulu.

Muncul Inggit bertamu bersama Eri yang langsung menemukan Zee menepiskan kesedihannya tidak ingin disaksikan mereka.

“Loh, Zee nggak ke sekolah?” tanya Inggit.

“Zee, lagi nggak enak badan Tante, jadi Zee ke sini. Pupa harus ke kafe soalnya,” jawabnya, bersamaan dengan Eri yang terenyuh mendengar alasan Zee.

Cepat Eri mendatangi Zee untuk dipeluknya.

“Zee, Sayang. It’s okey, Mama di sini, Sayang. Zee jangan sedih lagi ya,” ucap Eri sembari menyapu lembut surai Zee.

Zee?

Ia makin terpuruk mendengar panggilan yang dilayangkan perempuan tadi.

“Mama?” sebut Zee gemetaran menjatuh air matanya memeluk Eri.

“Maksudnya Tante Eri ... Zee sudah seperti anaknya sendiri, Sayang, jadi Zee boleh panggil Tante Eri ... Mama,” terang Inggit tidak berniat melukai harapan Zee.

Inggit begitu tahu, Zee begitu memimpikan seorang ibu.

***

To be continued

AYAHKU (TIDAK) JAHATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang