Bismillah..
Ada revisi guys, biar lebih nyaman bacanya hehe. Happy reading!
~~~Fania Adriana Billard masuk ke rumah dengan tergesa-gesa. Dia melihat seluruh isi ruangan mencari sosok lelaki yang ia panggil sebagai papa. Matanya menangkap lelaki yang dicari sedang menyeruput kopi sambil membaca dokumen yang tidak Fania tahu apa isinya.
Gadis itu mengetuk pintu masuk ruang kerja, "Assalamu'alaikum, Pa."
Sosok paruh baya menoleh dan menjawab salam sambil tersenyum. "Kamu baru pulang?"
Fania mengangguk pelan, "Mama mana Pa?"
"Mama masih di pengajian, bentar lagi mau Papa jemput. Udah makan?" sekali lagi gadis itu mengangguk pelan.
Sejak dulu interaksi Fania dan papanya selalu demikian, terasa dingin dan tak banyak kata-kata. Di mata Fania, Haziq Meridian Billard adalah sosok lelaki bijaksana dengan kharisma mampu menundukkan lawan bicara yang berhadapan dengannya.
"Emm, Pa. Aku mau melanjutkan studiku ke Turki. Alhamdulillah aku dapat beasiswa magister di Istanbul," ucap Fania hati-hati.
Haziq menurunkan dokumen yang sedang dibaca dan menaruhnya di atas meja. "Kamu baru wisuda seminggu yang lalu. Apa nggak mau istirahat dulu? Menikahlah, papa nggak mau kamu cuma mengejar karir aja."
Sunyi. Lelaki itu menghela napas pelan. "Papa nggak melarang kalau kamu mau bekerja, setelah menikah kamu bisa mengurus salah satu anak perusahaan kita." Haziq kembali melanjutkan pekerjaannya. Sikap lelaki itu seolah berkata bahwa pembahasan ini tidak perlu dilanjutkan lagi.
"Pa, jodohku udah Allah pilihkan, cuma sampai sekarang dia belum datang aja. Apa salahnya aku nunggu sambil kuliah? Bukankah menuntut ilmu itu penting bagi wanita yang nantinya berperan sebagai Madrasatul Ula?"
Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah Fania ucapkan kepada papanya selama 23 tahun menjadi anak dari keluarga Billard, bahkan selama itu pula ia tidak pernah memaksakan keinginannya. Ia selalu mematuhi jalan hidup yang dirancang oleh papanya. Tapi sekarang dia sudah dewasa. Dia berhak memutuskan sesuatu untuk hidupnya sendiri. Dan saat ini dia sangat ingin bebas!
"Jodohmu nggak akan datang kalau kamu terus menghindarinya," ucap Haziq tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang dibacanya.
"Aku nggak menghindarinya, Pa. Aku cuma belum ketemu seseorang yang tepat. Apa Papa mau aku nikah dengan lelaki nggak jelas?"
"Fania, sebagai orang tua kami pasti mau yang terbaik untuk anak gadis kami satu-satunya," ujar Haziq meletakkan dokumen di atas meja, lalu beranjak menuju ke arah Fania, "Kamu percaya dengan Papa dan mama kan, Nak?" lanjutnya sambil mengusap kepala Fania.
Gadis itu menunduk lesu. Dia tidak akan bisa membujuk papanya, malah sebaliknya, papa yang berhasil membujuk dia untuk menguapkan keinginannya melanjutkan kuliah.
Fania memutar-mutar pikiran mencari kalimat tepat yang bisa mematahkan pendirian papanya. "Tapi Pa..." belum selesai dia berkata, terdengar suara berat papanya, "Baiklah kalau kamu memang sangat ingin kuliah ke luar negeri, Papa akan beri izin."
Fania terperangah dengan mata berbinar dia hendak memeluk papanya, "Tapi dengan satu syarat, kamu harus menikah."
Suasana mendadak hening.
***
"Maaa..." Fania memeluk pundak ibunya dari belakang. merengek manja seperti anak kecil yang minta mainan. Di sebelahnya, Haziq tengah duduk dan bersikap tidak peduli. Matanya tertuju pada layar TV seukuran 65 inci yang sedang menayangkan berita terkini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reasons Why We Should Get Married
RomanceHilman Abdullah, mahasiswa magister biasa yang baru saja patah hati karena ditolak oleh wanita yang dia cintai. Di tengah tekad untuk fokus kepada karir, orang tuanya menjodohkan Hilman dengan anak sahabat mereka. Apakah gadis ini hadir sebagai pena...