"Hari ini Hilman menikah," ucap Rezan, pria berdarah Turki-Canada yang menjadi sahabat baik Hilman. Di hadapannya gadis berkerudung itu tiba-tiba mematung. "Menikah? Dengan siapa?" tanya Rifa tak mampu menyembunyikan rasa kagetnya.
"Dia dijodohkan sama orang Indonesia. Kamu kan baru balik dari sana, nggak dapat kabar atau undangan?" Kali ini Ghania, istri Rezan, yang bersuara.
Rifa menggeleng pelan. Sejak dia tolak, Hilman kentara sekali menjauhinya. Pria itu cuma menghubungi Rifa kalau ada keperluan seperti menanyakan tugas.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Rezan lagi.
Gadis itu berpaling dari layar laptop dan menatap Rezan dengan tatapan heran, "Memang aku harus gimana? Tentu sebagai teman aku senang dia udah menemukan pendamping hidup. Jadi aku nggak perlu lagi merasa bersalah karena menolak lamarannya."
"Aku tahu kamu sedang bohong dan coba terlihat baik-baik aja. Kamu juga punya perasaan yang sama dengan Hilman, kan? Hal itu terllihat jelas di mata kami, Rifa," cecar Ghania.
"Dan kalian sama-sama tau kalau aku dan Hilman nggak akan mungkin bisa bersama. Keluarga kami berbeda," jelasnya lagi.
Rezan dan Ghania saling pandang lalu mengendikkan bahu, "Bukannya Hilman udah minta izin untuk meyakinkan keluargamu, kamunya aja yang nggak mau," tebak Ghania.
"Aku yakin alasan besar lain adalah karena di matamu Hilman bukan lelaki kaya yang bisa menghidupimu, kan?" lanjut Rezan.
"Nah! Itu kamu tahu. Aku bukan matre, ya. Aku cuma berpikir logis. Kita nggak hidup hanya dengan cinta. Dan kurasa Hilman belum mampu memberi nafkah sesuai dengan kebutuhan yang aku inginkan."
"Astaghfirullah perempuan satu ini. Aku nggak akan berkomentar banyak soal keputusanmu. Sebagai teman kami juga senang karena ternyata kamu masih bisa berteman baik dengan Hilman setelah kejadian itu. Tapi satu yang kami harap, selalu ingat kalau sekarang Hilman nggak bisa lagi kamu anggap seperti kalian yang dulu. Sekarang di sisi Hilman, ada hati yang harus dia jaga. Dan sebagai sesama wanita bersuami aku ingin mendukung dia untuk menjaga perasaan istrinya."
"Benar, pesanku jangan sampai kamu datang kembali pada Hilman dengan dalih menyesal menolak dia dan menyakiti perasaan istrinya, Fa. Kalau itu terjadi, kami benar-benar kecewa sama kamu." Rezan dan Ghania menutup nasihat mereka lalu meninggalkan Rifa sendirian.
Gadis itu masih mengamati layar laptopnya, namun pikirannya berseliweran entah kemana-mana. Memorinya saat bersama Hilman kembali berputar membuat hatinya sedikit sesak. Sebenarnya perkataan pasangan di depannya tadi benar, dia merasa sangat sedih dan terluka dengan kabar pernikahan Hilman, namun dia sadar bahwa dia tidak memiliki hak apapun atas lelaki itu, lelaki yang sudah dia tolak dua kali.
***
"Aduh, Nak Hilman. Kamu nggak perlu angkat itu, minta tolong Pak Burhan aja untuk bawa ke dapur," ucap ibu mertuanya saat melihat Hilman kesusahaan membawa barang belanja.
"Nggak apa, Ma. Hilman bisa bawa sendiri. Pak Burhan juga kayaknya lagi sibuk bersihin gudang."
Sejak menikah dengan Fania, secara adat Hilman diharuskan untuk tinggal di rumah mertuanya selama seminggu. Kemudian diganti dengan Fania yang tinggal di rumah orang tuanya selama seminggu pula. Hal ini dipercaya untuk melatih adaptasi pengantin baru dengan keluarga pasangannya.
Kini Hilman sedang beradaptasi menjadi menantu keluarga kaya raya dengan jumlah pembantu lebih banyak dari anggota keluarga. Dia diminta untuk tidak perlu melakukan hal-hal berat dan selalu dilayani layaknya putra mahkota. Di satu sisi dia merasa tersanjung, namun di sisi lain ada rasa tidak nyaman karena itu benar-benar bukan gayanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reasons Why We Should Get Married
RomanceHilman Abdullah, mahasiswa magister biasa yang baru saja patah hati karena ditolak oleh wanita yang dia cintai. Di tengah tekad untuk fokus kepada karir, orang tuanya menjodohkan Hilman dengan anak sahabat mereka. Apakah gadis ini hadir sebagai pena...