"Kamu dari mana?" tanya Hilman usai menjawab salam Fania.
"Kampus. Kan aku udah chat kakak dari tadi tapi kayaknya nggak ada balasan tuh." Fania menyampirkan jaket lalu masuk ke ruang tamu dan meletakkan tasnya di atas sofa.
Hilman masih mengikutinya dengan tangan terlipat di dada. "Aku kira kamu wanita yang paham aturan agama, tapi hal sesederhana tidak keluar tanpa izin suami pun kamu nggak tau?" Ada nada sinis dalam pertanyaannya.
Gadis itu menghela napas. Sejak tadi dia sudah menduga bahwa ini akan jadi masalah. Terlebih ponsel yang mati karena kehabisan baterai menambah konsentrat amarah suaminya ini. "Aku..."
"Dan kamu keluar bersama laki-laki yang bukan mahram tanpa izin suami sampai malam. Woah! Apa aku tertipu penampilan?"
Tidak ada nada tinggi dalam suara Hilman tapi entah kenapa rasanya Fania habis ditampar oleh kata-katanya.
"A..aku..minta maaf.. kak.." suaranya mulai bergetar, "A..aku tau aku salah. T-tapi aku udah coba hubungi kamu nggak ada respon. Ini hari pertamaku, aku harus hadir dan aku nggak ngerti pakai taksi atau apalah itu. Makanya..makanya.."
"Makanya kamu minta diantar si Mas-mu itu?" Fania kaget mendengar tuturan pedas suaminya.
Sebenarnya Hilman pun kaget dia bisa bicara sekasar ini pada wanita. Tapi sejak melihat Fania pulang diantar Bayu emosinya mendidih hingga tanpa sadar meluap dalam bentuk kata-kata tajam.
"Mas Bayu udah kayak abangku sendiri Kak. Kami nggak ada hubungan apapun, kalau memang itu yang buat kamu khawatir." Mata Fania mulai berair. Dia selalu begini kalau dalam situasi bertengkar dengan seseorang.
"Apapun status kalian, tetap aja kalian bukan mahram. Dan aku marah begini karena sedang menjalankan kewajibanku sebagai suami untuk mendidik kamu! Kalau terjadi apa-apa di antara kalian gimana?"
"Kak, stop! Aku tau salah, tapi kamu tega sekali berpikir kotor terhadap aku dan Mas Bayu. Sebelum menikah, kami udah sering bersama. Aku lebih dulu kenal dia dibanding kamu Kak."
"TAPI SEKARANG AKU SUAMIMU!"
Fania kaget, ini kali pertama Hilman yang biasanya lembut membentaknya. Gadis itu tak dapat membendung air mata. Dia mulai menangis sesenggukan.
Di lain sisi Hilman sadar sikapnya sudah kelewatan. Dia beristighfar lalu menarik Fania ke dalam pelukannya.
"Maafin aku Dek, aku nggak bermaksud kasar. Aku kelepasan saking kalutnya nggak dapat kabar dari kamu. Aku minta maaf ya." Hilman mengecup puncak kepala istrinya berkali-kali. Rasa bersalahnya sangat besar. Dia sudah diamanahi untuk menjaga wanita ini, tapi dia malah membuat wanitanya menangis.
"Mulai besok kita belajar naik angkutan umum ya. Aku udah bilang kan, setelah menikah denganku kamu harus siap untuk tidak hidup bermewah seperti kehidupanmu dulu. Dan seingatku kamu setuju untuk itu. Bukan aku tidak mau berusaha, aku sedang berusaha memantapkan finansial, tapi aku masih perlu waktu. Jadi aku harap kamu nggak mengeluh karena mulai sekarang harus naik bus."
Masih dalam dekapan suaminya, Fania mengangguk pelan. Melihat itu Hilman semakin mengeratkan pelukan dan mengusap punggung istrinya. Amarahnya belum reda, tentu saja. Tapi dia tidak ingin melanjutkan perdebatan ini karena sebentar lagi dia harus mengurus hal lain yang lebih penting.
Hilman sudah berlalu ke ruang kerja usai mengantar Fania ke dalam kamar. Fania menangis sesenggukan sambil mengomel. Dia kesal karena Hilman menyalahkannya walaupun dia tahu dirinya salah. Tak seharusnya dia pergi saat Hilman belum memberikan izin, tak seharusnya juga dia pulang selarut ini bersama Bayu. Tapi dia punya alasan. Alasan yang terlalu lelah untuk dia jelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reasons Why We Should Get Married
RomanceHilman Abdullah, mahasiswa magister biasa yang baru saja patah hati karena ditolak oleh wanita yang dia cintai. Di tengah tekad untuk fokus kepada karir, orang tuanya menjodohkan Hilman dengan anak sahabat mereka. Apakah gadis ini hadir sebagai pena...