Ciuman Pertama

299 26 4
                                    

Sudah tiga bulan Fania menjadi mahasiswa magister di Turki. Dia menjalani hari-hari selayaknya mahasiswa biasa. Hubungannya dengan Hilman juga tidak ada perkembangan yang berarti. Di antara mereka masih ada tembok tinggi yang susah diruntuhkan. Pasti kalian bertanya-tanya kenapa pria dan wanita yang sudah halal, tinggal seatap, sanggup untuk bersikap biasa aja? Jawabannya ya karena mereka berdua jarang berjumpa.

Setelah agenda beli mobil beberapa bulan lalu, Hilman tiba-tiba berubah menjadi lelaki gila kerja. Jika sedang di rumah dia hanya keluar ruang kerja untuk kebutuhan primer, bahkan kadang Fania harus makan sendirian. Untuk menepis rasa sepi, akhirnya Fania juga jadi jarang pulang lebih awal. Entah mendekam di apartemen Wihda, main ke rumah Ning -teman baru di kampusnya atau ikut pengajian di masjid kampus.

Tentu setiap kegiatannya Hilman tau karena suaminyalah yang bertugas menjadi supir pribadi. Hilman bersikeras menolak Fania berduaan dengan Bayu, kecuali teman-temannya juga ikut.

Fania
Kak, hari ini aku pulang agak sore krn ada kajian di masjid kampus. Nanti pulang aku kabari.

Suami ❤️
Oke.

Fania
Km lagi ngapain?
Nanti plg jam berapa?

Suami ❤️
Lg ngerjain tesis.

Singkat, sangat singkat. Memang hubungan mereka tiga bulan terakhir tidak selalu dingin. Ada saatnya Hilman bersikap manis, masak untuknya atau sekedar menemani belanja. Tapi itu sangat jarang bahkan bisa dihitung dengan jari.

Fania juga beberapa kali berusaha meruntuhkan malu dan 'merayunya' seperti menggandeng lengan Hilman saat mereka sedang jalan, menemani Hilman masak di dapur dan bertingkah amat manja seperti minta disuap, pokoknya dia mencoba terus menempeli Hilman. Tapi tetap tidak ada perkembangan dalam hubungan mereka.

Ah, pernah satu malam Fania ketakutan karena listrik yang padam dan suara petir yang saling bersahutan. Melihat Fania gelisah tak bisa tidur, Hilman menawarkan diri untuk memeluknya hingga terlelap. Kiranya hubungan mereka selangkah lebih maju, ternyata besok paginya Hilman kembali bersikap dingin.

"Kamu kok bengong? Ayo masuk." Wihda membuyarkan lamunan Fania.

Ketiga gadis itu masuk ke pelataran masjid. Hari ini diadakan kajian yang mendatangkan langsung ustadz dari Indonesia. Dan ustadz tersebut salah satu favoritnya Fania.

"Aku belum belum pernah ikut acara seperti ini," ujar Ning, sahabat barunya yang berasal dari China.

Mereka menoleh ke arah gadis itu, "Memang di China nggak ada kajian begini di masjidnya?" tanya Wihda.

"Kayaknya ada, tapi jaraaang banget. Kami kalau ke masjid ya untuk shalat. Perempuan juga jarang ke masjid kalau nggak ikut komunitas muslim. Dan ya, i'm an introvert. Aku ke masjid kalau diajak mama aja."

Keduanya meraih lengan Ning, "Insya Allah mulai sekarang kita bakal sering ikut ginian, karenaa....itu!" Fania menunjuk selebaran yang tertempel di salah satu tembok.

OPEN MEMBER KOMUNITAS MUSLIM ISTANBUL UNIVERSITY

"Yuk kita ikutan daftar. Hitung-hitung nambah ukhuwah dan kegiatan," ajak Fania antusias.

"Kamu nggak izin Kak Hilman dulu? Masa sembarangan ambil banyak kegiatan, nanti suami kamu kesepian loh." Wihda mengubah panggilannya pada Hilman karena Fania tak suka wanita lain memanggil suaminya 'Mas' disaat dia sendiri belum siap menggunakannya.

"Amaan, Kak Hilman akan approve semua kegiatanku yang bermanfaat."

Mereka bertiga setuju lalu menuju sekretariat komunitas yang ternyata berada di area masjid. "Assalamu'alaikum." Seorang wanita muda menjawab salam mereka. Setelah berbincang singkat mengenai kegiatan komunitas, mereka mengisi formulir pendaftaran lalu menyerahkannya pada wanita itu.

Reasons Why We Should Get MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang