06

3 3 0
                                    

"Kadang, seseorang memerlukan sebuah pelukan untuk menenangkan diri dan menghilangkan sedikit beban."
• Love Your Self •

Gina menatap pantulan wajahnya di cermin. Baru saja Gina selesai mandi dan mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. Gina memegang pipi kanannya dengan tangan kanan sambil memperhatikan wajahnya sendiri.

Perbandingan antara Gina saat memakai riasan tadi dengan saat ini sangat berbeda drastis. Tadinya Gina tak ingin membersihkan riasannya, tapi jika ia tak mandi, dirinya akan sangat risih.

Gina menurunkan tangannya dari pipinya. Ia menatap alat make-up yang tadi diberikan oleh Lia. Gina mengambil sebuah Toner, memutar botol toner tersebut untuk melihat merek dan tanggal ekspedisinya.

Setelah selesai ia mengecek, Gina meraih tisu basah yang ada di dalam laci. Ia membuka tutup botolnya lalu menuangkan beberapa tetes kedalam tisu basah tadi. Gina menaruh botolnya ke atas meja kembali. Ia mulai menekan-nekan wajahnya secara perlahan menggunakan tisu basah agar toner tadi dapat meresap ke kulitnya.

Selesai berurusan dengan toner, ia mencoba untuk memakai cream malam sebelum tidur. Ia melakukan hal serupa seperti toner tadi. Gina tersenyum manis melihat wajahnya yang tampak bersih dan sedikit glowing.

Setelah selesai, ia merapihkan alat rias tadi, lalu beranjak dari tempat duduknya menuju kasur, lalu ia berbaring di kasur sambil bersandar di kepala ranjang.

Gina menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka. Gina terkejut, untung saja ia sedang tidak berganti baju.

"Mau ngapain ke sini?" tanya Gina tanpa ekspresi pada si pelaku.

Dhio mengenakan kaos oblong berwarna merah maroon dipadukan dengan celana training berwarna putih. Dhio melangkah mendekati Gina dengan ekspresi yang tak bisa Gina ketahui.

Secara tiba-tiba, Dhio langsung memeluk tubuh Gina dengan erat, membuat sang empu sempat oleng sesaat. Gina berusaha menopang berat tubuh Dhio agar tidak menindih dirinya.

"Lo kenapa?" tanya Gina kebingungan. Ia tak membalas pelukan Dhio, ia hanya bisa terdiam menahan detak jantungnya yang membuatnya gugup.

Dhio tak menjawab, ia mengeratkan pelukannya pada Gina layaknya Gina sebuah boneka tedy bear. Dhio menenggelamkan wajahnya diantara lekukan leher Gina. Membuat darah Gina terasa berdesir hebat, jantungnya semakin tak karuan berdebar.

"Dhio ...," panggil Gina dengan pelan, ia berusaha menutupi rasa gugupnya. Gina memberanikan diri mengelus rambut belakang Dhio dengan lembut.

"Maaf, Gina ...," lirih Dhio masih memeluk Gina.

"Iya gue maafin, sekarang lepas dulu pelukannya, sesek nih gue." ntar gue ketagihan meluk lo kan bahaya, Yo. Lanjut Gina didalam hatinya.

Dhio melepaskan pelukan secara perlahan, matanya terlihat berkaca-kaca akan menangis, Gina tersenyum hangat pada Dhio. Gina mengelap setetes air mata yang turun ke pipi Dhio.

Sepertinya, Dhio tak mampu berlama-lama marahan dengan Gina. Dhio dan Gina bagaikan sebuah surat. Sebuah surat tak bisa diantar ke kantor pos jika belum ada perangko, dan Gina adalah perangko tersebut. Dhio tak bisa apa-apa jika Gina tak ada disisinya.

"Udahan marah sama gue nya, nih?" Gina tersenyum lebar hingga menampakkan lesung pipinya.

Dhio mencubit kedua pipi Gina yang gembul dengan gemas. "Lo tau kan, kalau gua itu gabisa marah lama-lama sama lo, Gina."

"Iya gue tau, lagian siapa suruh marah sama gue?"

Dhio tampak cemberut, Gina semakin gemas dibuatnya. "Gua gak bakal marah kalau lu gak terlalu banyak diet, Gina. Gua ngatur-ngatur lo juga karena demi kebaikan lo sendiri, Gin."

"Iyah, gue tau kok, Yo. Tapi, gue mau diet karena badan gue terlalu gede. Lo bayangin, anak SMA dengan berat badan delapan puluh kilogram. Emang pantes? Enggak Dhio. Gue pendek, berat badan gue gede begitu, yang ada gue makin banyak diejek." Gina memasang wajah murungnya kembali.

"Diet itu porsi makannya dikurangi, bukannya gak makan, gembul ...." Dhio mencubit hidung Gina. Dan dihadiahi cubitan di perutnya.

"Sama aja sih."

"Besok 'kan weekend. Lo mau joging bareng gue? Sekalian kita olahraga bareng."

Gina tersenyum manis, lalu mengangguk antusias. "Mau banget!!"

Dhio mengacak-acak rambut Gina sesaat, lalu ia memandangi wajah Gina. "Pakai apa? Kok jadi bening begini?" tanya Dhio sambil menajuhkan tangannya dari rambut Gina.

"Ouh, tadi gue coba pakai toner dan cream malam. Gimana? Cocok, gak?"

Dhio mengangguk, tersenyum pada Gina. "Cocok, jadi makin cantik."

"Aaaaa makasih, Dhioooo." Gina menangkup kedua pipi Dhio, lalu menggoyangkan ke kanan dan kiri.

"Pusing gembul ...." Dhio meringis karena pusing. Lantas Gina pun tertawa, membuat senyum Dhio semakin lebar.

"Tadi Ibu sempet bilang sama gua. Lo marah sama Ibu?" tanya Dhio saat tawa Gina terhenti.

Gina menunduk, ia merasa bersalah mengingat kejadian tadi. "T--tadi beneran refleks kepancing emosi, gue gak bermaksud bentak Ibu."

"Gina ... gua yakin Ibu bilang seperti itu karena khawatir sama lo. Cuma lo yang Ibu punya, lo satu-satunya harta berharganya. Sikap Ibu kayak gua, Gin. Kita cuma pengen lo baik-baik aja dan selalu bersyukur atas apa yang lo punya."

"Dengan termasuk gue bersyukur saat gue di bully?" Gina menyela ucapan Dhio.

Dhio menghela nafasnya. "Kalau lo lapor ke Ibu, pasti Ibu bakal bantu lo, Gina."

"Lo gak tau gimana rasanya jadi gue, Dhio! Asal lo tahu, hati dan fisik gue sakit saat mereka jahatin gue. Gue gabisa lawan mereka, gue gak punya apa-apa, gue gak cantik. Apa lagi yang harus gue syukuri?!" Emosi Gina meluap-luap. Ia mengatakan semua yang selama ini ia pendam di dalam lubuk hatinya.

Dhio menatap Gina yang kini matanya berkaca-kaca, sepertinya efek datang bulan membuatnya menjadi lebih sensitif. Dhio kembali memeluk Gina untuk menenangkan gadis itu. Ia mengelus pundak Gina dengan lembut.

"Lo gak tahu gimana rasanya jadi orang jelek, gendut, miskin, Dhio," lirih Gina dan perlahan emosinya mereda.

"Gua tahu, Gina. Gua merasakan sakit yang lo rasain. Gua sahabat lo sejak kecil, gua yang selalu ada buat lo, gua tau gimana rasanya, Gina," ucap Dhio masih tetap memeluk Gina. Keduanya terdiam untuk beberapa saat.

"Gina ...," panggil Dhio pelan. Gina hanya menjawab dengan gumaman.

"Minta maaf sama Ibu, ya? Kasihan, tadi Ibu nangis pas cerita sama Dhio." ucapan Dhio melembut, Dhio biasanya akan mengganti kata 'lo-gue' dengan menyebut nama saat dalam mode kalem.

"Ibu nangis?" monolog Gina pada dirinya sendiri.

Gina langsung melepaskan pelukannya dengan Dhio, ia langsung turun dari kasurnya dan berjalan kearah pintu. Ia terhenti saat Nita tengah berdiri didepan pintu dengan mata berkaca-kaca.

Gina meneteskan air matanya kembali saat melihat ibunya menatap Gina dengan pandangan sendu. Gina tak menyadari kehadiran ibunya sejak tadi, ia terlalu fokus curhat pada Dhio.

Gina mendekati Nita perlahan. Dhio menatap interaksi keduanya di pinggir kasur sambil tersenyum tipis. Gina memeluk Nita dengan erat dan kembali menumpahkan tangisnya. Nita membalas pelukan putri semata wayangnya dengan lembut dan erat, ia pun ikut menangis.

"Ibu ... maafin Gina, Bu. Maaf Gina udah marah-marah sama Ibu. Maafin Gina, Bu ...." Gina semakin terisak di dalam pelukan sang ibu.

Nita mengangguk, ia mengelus rambut Gina dengan penuh kasih sayang. "Maafin Ibu, Nak. Maaf Ibu belum bisa memenuhi semua keinginan kamu. Maafkan Ibu yang selalu mengekang Gina. Ibu hanya tidak mau Gina salah pergaulan ...."

Gina mengangguk perlahan, dan kembali menangis, ia semakin memeluk Nita dengan erat, ia sedih karena membuat ibunya menangis karena dirinya sendiri. Dhio tersenyum hangat menatap Nita dan Gina berpelukan.

Nita yang melirik ke arah Dhio, mengisyaratkan agar Dhio mendekat dan ikut berpelukan bersama. Dhio menurut, mereka berpelukan bersama-sama.

*****

Cerita ini dipublikasikan pada tanggal ; 28 September 2021

Love Your SelfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang