"Gina ...," panggil Dhio dengan pelan. Tangannya terulur mengelus rambut Gina. Gadis itu masih terlelap. Jam dinding baru menunjukkan pukul lima pagi.
Dhio benar-benar masih menunggu Gina terbangun. Rasanya, mendengar kabar bahwa Gina sudah siuman seperti mendapatkan lotre dengan hadiah milyaran rupiah. Dhio ingin menghabiskan waktu seharian bersama Gina. Ia sangat merindukan gadis-nya.
Maka dari itu, pemuda ini masih setia menunggu Gina terbangun. Setelah shalat subuh di rumah, Dhio langsung bergegas menuju rumah sakit mengenakan celana panjang berwarna gelap dan juga kaos biasa berwarna putih, Dhio juga mengenakan jaket denim miliknya.
"Kamu udah dateng aja rupanya," kata Nita yang baru saja kembali dari mushola, ia baru saja menunaikan shalat subuh.
Dhio bangkit dari duduknya, lalu meraih tangan Nita untuk salim padanya. Dhio menyengir. "Iya dong, Bu."
Nita geleng-geleng kepala. Ia mengelus rambut Gina sesaat. Mata Nita menatap pakaian yang Dhio kenakan, lantas ia pun mengernyit heran. "Kok kamu pakai baju biasa, Yo? Ini kan hari kamis. Jangan bilang kamu bakal izin ga sekolah lagi, iya, 'kan?"
Dhio menyengir. "Iya, Bu. Dhio mau izin lagi, mau jagain Gina."
"Gue udah gede kok, gausah dijagain," kata Gina dengan suara serak. Rupanya gadis itu sudah bangun.
Senyum Dhio merekah. Dengan sigap, ia segera meraih segelas air putih di atas nakas, lalu memberikannya pada Gina. "Bagi gue sih, lo itu tetap anak kecil." Dhio meraih gelas tadi, karena Gina sudah selesai minum.
Gina tersenyum tipis. Nita yang sedari tadi memandangi mereka berdua tersenyum senang saat Gina tak lagi memberontak untuk menghikangkan ingatan tentang insiden itu. Syukurlah, bila ada Dhio, Gina mampu melupakan kejadian itu barang sejenak. Sepertinya, Nita harus berkonsultasi dengan psikiater.
"Lo gak sekolah?" Gina sama halnya dengan Nita, menanyakan hal itu saat melihat Dhio yang tak mengenakan seragam.
Dhio menggeleng. "Mau nungguin lo sampai bener-bener pulih."
Wajah Gina nampak pucat pasi, tatapannya pun terlihat sayu. "Gue gak usah ditungguin sama lo. Ada Ibu, yang bakal jagain gue."
"Tapi, kan, Gin. Ibu udah jagain lo semalaman, sekarang gantian gue." Dhio tetap teguh pada pendiriannya.
Gina menghela nafas berat. Tubuhnya masih lemas, ia tak bisa mengamuk pada Dhio. "Hari ini, kan lo ada jadwal pertandingan. Jangan sampai latihan lo selama ini sia-sia, Dhio."
Nita paham, mereka berdua butuh privasi sebentar untuk berbincang. Tanpa berpamitan, Nita langsung berbalik dan keluar dari kamar inap Gina untuk membeli sarapan. Gina dan Dhio terfokus satu sama lain, tak sadar kalau Nita sudah keluar.
Dhio menghela nafasnya. Ia mengingat pesan dari Dendy kemarin, ia diharuskan datang sebagai kapten tim. Tapi, Dhio benar-benar tak tega meninggalkan Gina sebelum gadis itu pulih, meskipun ada Nita yang akan menjaganya.
"Tapi, Gina ... kalau gak ada lo yang semangatin gua, gak bakal semangat nantinya," keluh Dhio.
Gina tersenyum manis, ia menggenggam tangan Dhio yang berada di atas brankar. "Gue bakal semangatin lo dari sekarang. Nanti di sana, ada banyak murid perempuan yang bakal dukung lo, Yo. Tenang aja, lo pasti bisa menang tanpa gue harus datang ke sana."
"Tapi Gin ... gua mau lo liat pertandingan gua kali ini ...."
"Tenang aja, nanti gue minta Debby buat vidcall. Gue janji, gue bakal liat lo dari sini lewat vidcall."
"Janji?" Dhio menyodorkan jari kelingkingnya.
Gina mengangguk, menautkan jari kelingkingnya dengan milik Dhio. "Janji!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Your Self
Teen FictionCerita ini dipindahkan dari akun @RafasyahRakaAditya. Apa yang sudah diberikan, tidak bisa dikembalikan. Jika suatu hari nanti cerita ini laku di pasaran, penulis pertama tidak berhak meminta cerita ini kembali karena pada saat ini sudah pindah hak...