25

2 0 0
                                    

Vakum boleh? Ga semangat:v

Hari minggu. Hari yang sangat pas untuk bermalas-malasan bagi Dhio. Pemuda itu kini tengah asik bermain game playstation di kamarnya sendirian. Ditemani secangkir kopi mix kesukaannya dan juga beberapa camilan yang memanjakan mulut.

Dhio sibuk meng utak-atik stik ps. yang ada di genggamannya. Matanya fokus pada layar televisi yang menampilkan permainan bertarung. Dhio terlalu fokus pada game nya, hingga tak sadar, kalau ....

Puk!

Suara bantal sofa yang dilempar tepat sekali mengenai wajah tampan Dhio. Pemuda itu sampai-sampai terjungkir ke belakang karena kencangnya lemparan dari arah pintu.

"Anjing!" umpatnya sambil menggeser bantal itu dari wajahnya.

"Aduh-duh. Sakit, Mah! Aduh! Kuping Yoyo yang ganteng ini ntar jadi panjang. Adah sakit woy!" Pemuda itu memegangi telinga kanannya yang dijewer dengan kencang oleh mamahnya.

"Itu mulut gak pernah Mamah ajarin, ya?! Sopan banget mulutnya sama emak!" omel Vina.

Vina mengenakan baju daster selutut, dengan motif bunga-bunga menghiasi daster itu. Rambutnya dicepol memperlihatkan leher jenjangnya yang putih.

Mamah muda, sangat cocok sebagai julukan untuk Vina. Wanita berusia tiga puluh lima tahunan itu sama sekali tidak seperti ibu-ibu yang sudah mempunyai anak remaja pada umumnya.

Tubuhnya yang tinggi dan berisi, kulit yang putih dan wajah cantik nan awet muda, tanpa ada keriput sedikitpun. Sepertinya, mamahnya Dhio memang sangat lihai dalam merawat tubuhnya.

"Aduh, Mah. Lepasin, dong. Ia maaf Dhio reflek itu tadi ... Mah, sakit buset dah malah dikencengin!"

Vina melepaskan jewerannya dari telinga putra semata wayangnya. Anaknya ini benar-benar membuat dirinya darah tinggi. Watak jail, menyebalkan dan suka membuat orang darah tinggi sepertinya memang menurun dari papahnya-- Arya.

"Mamah ngapain, sih. Dateng-dateng lempar bantal ke muka Dhio, sakit nih!" cetus Dhio sembari mengusap telinganya yang memerah.

"Rasain. Jadi anak kok, ya ngelawan mulu. Dari tadi tuh Mamah manggil kamu dari bawah, emang dasar kamunya conge'an Mamah panggil gak bangun-bangun." Vina berkacak pinggang. Nafasnya naik turun meredam emosi.

"Anak sendiri dinistain, kejam. Ini nih yang dinamakan ibu kandung rasa ibu tiri," gerutu Dhio dengan nada kecil.

Vina yang ada di sebelahnya jelas bisa mendengarnya, ia kembali menatap Dhio dengan garang, seperti singa yang akan menerkam mangsanya.

"Canda, Mah, Canda. Damai ya damai. Mamah ada perlu apa manggil Dhio?" Dhio berbicara selembut mungkin agar Vina tak kembali menjewernya.

"Tuh di depan, ada Gina nyariin kamu. Buruan gih samperin."

Wajah Dhio nampak berseri saat mendengar nama Gina, namun beberapa detik kemudian ia tersadar dan merubah ekspresi nya menjadi datar. "Suruh pulang aja, Mah. Dhio sibuk, banyak tugas."

Dhio kembali fokus pada game nya yang sempat tertunda. Emosi Vina kembali naik pitam. Namun, ia terlalu lelah untuk mengamuk kembali, ibu muda itu mengatur emosinya kembali.

"Samperin dulu Gina nya. Kalau gak turun dalam lima menit, motor, handphone, dan uang jajan bakalan Mamah sita." Vina segera berbalik, lalu keluar dari kamar Dhio.

Dhio menghela nafasnya saat Vina keluar dari kamarnya. Ia sebenarnya ingin bertemu dengan Gina, namun gengsinya terlalu besar.

Dhio menggeleng. Gengsi belakangan, ntar kalau semua disita sama Mamah bisa berabe. Pikir Dhio. Pemuda itu segera mematikan game playstation miliknya tanpa merapikan semuanya. Dhio segera keluar kamar, lalu menutupnya. Kemudian dia segera berjalan menuruni anak tangga menuju ruang tamu, untuk bertemu dengan Gina.

****

"Ada apa ke sini?" tanya Dhio to the point setelah mengajak Gina ke gazebo. Bukan apa-apa, Dhio hanya malas saja apabila Vina mendengarnya berbincang. Mamahnya itu kepo an orangnya.

Gina yang tepat berada dihadapan Dhio menunduk. Keberaniannya tadi pagi buyar seketika saat Dhio menatapnya dengan tatapan dingin dan wajah datar.

Gina menilin ujung baju oblong yang ia kenakan. Gina pergi ke rumah Dhio hanya mengenakan celana training berwarna coklat dipadukan kaos oblong berlengan panjang berwarna hitam. Rambutnya ia gerai, membuat beberapa helai poninya menutupi wajahnya.

"Ada apa, Gina? Lo mau ngomong apa? Buruan, gua sibuk," tegurnya dengan nada dingin.

"Maaf." Hanya itu yang mampu terucapkan dari bibir gadis itu.

Alis Dhio bertaut, "maaf? Buat apa?"

"Maaf, udah buat lo kecewa, Dhio. Gina minta maaf, maafin Gina yang udah nyakitin perasaan Dhio," lirihnya.

Dhio menghela nafasnya, pertahannannya tak boleh goyah hanya karena lirihan Gina. Tidak boleh. Sepertinya, gengsi benar-benar menguasai Dhio.

Dhio duduk di pinggir gazebo, dengan posisi tepat menghadap pada Gina yang menyampinginya. "Maaf? Setelah semua penyesalan mempengaruhi pikiran lo, lo baru minta maaf sama gua?"

Gina mengubah posisinya, ia menatap Dhio, kemudian gadis itu berjongkok, tepat dihadapan Dhio, dengan mata yang berkaca-kaca, dan juga hidung yang memerah karena menahan tangisannya.

Dhio dapat melihatnya dengan jelas, mata Gina benar-benar menyiratkan tatapan penuh kesedihan dan juga penyesalan. Hati Dhio terasa tersayat melihat air mata itu jatuh, rasanya, Dhio benar-benar ingin menghapus air matanya lalu memeluk Gina dengan erat.

Tangan Gina berada dikedua lutut Dhio. "Gina minta maaf sama Dhio. Gina udah bohong sama Dhio. Maafin Gina, Dhio mau marah sama Gina? Dhio boleh pukul Gina, Dhio boleh tampar Gina. Tapi Gina mohon ... jangan jauhi dan cuekin Gina, hati Gina sakit, Dhio ...."

Runtuh sudah pertahanan Dhio. Pemuda itu menarik tubuh Gina agar berdiri, begitupun dirinya. Tanpa meminta izin, Dhio langsung mendekap tubuh Gina, membawanya ke dalam pelukannya yang hangat dan nyaman. Gina kembali menumpahkan tangisan nya di dada Dhio, membuat baju Dhio basah karena air mata.

"Maafin, Dhio. Maaf, Dhio sudah bikin hati Gina sakit, Dhio memang jahat, Dhio brengsek." Gina menggeleng dalam pelukannya, tangannya terulur untuk membalas pelukan Dhio.

Gina mendongak, menatap manik coklat milik Dhio. Pemuda yang membuatnya sangat senang dan bahagia saat berada di dekatnya. Pemuda yang membuatnya merasa kehilangan setengah kehidupannya saat pemuda itu menjauhinya.

"Dhio gak salah, ini salah Gina. Gina yang salah, Gina yang udah nyakitin hati Dhio dan bikin Dhio kecewa sama Gina. Gina minta maaf." Gina kembali membemamkam wajahnya di dada Dhio.

Keduanya terdiam dalam beberapa saat. Pelukan tak kunjung mengendur. Rasanya sangat hangat dan nyaman. Menangis menumpahkan rasa sedih selama seminggu ini saling diam tak ada yang berani berbicara, akhirnya kembali.

Gina mendongak kembali saat isak tangisnya mulai mereda. "Dhio, Gina sayang sama Dhio. Bahkan, Gina cinta sama Dhio. Pertanyaan Dhio waktu itu, boleh Gina jawab ulang?"

Dhio mengangguk. Senyum terbit di wajahnya yang tampan. "Gina, mau jadi pacar Dhio? Dhio gak mau terima penolakan dari Gina lagi."

Gina mengangguk cepat. "Iya, Gina mau. Gina mau jadi pacarnya Dhio!"

*****
Cerita ini dipublikasikan pada tanggal ;

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love Your SelfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang