24

3 0 0
                                    

Kamu masih baca cerita ini?

"Lo itu jelek, dekil, gendut, miskin! Gak tahu malunya lo deketin Dhio!"

"Hahaha, mending lo mati aja, Gina. Hidup pun gak ada gunanya buat lo, yang ada lo nambah beban hidup!"

"Kenapa lo gak coba pakai obat diet aja? Kali aja lo bisa kurus, hahaha!"

"Lo harus mati, Gina! Lo harus mati!"

"Tidaaak!" Gina menjerit.

Sekelebat ingatan beberapa bulan lalu kembali terlintas di otaknya. Gina menutup telinganya yang terasa berdengung.

Gina bingung, padahal trauma nya itu sudah menghilang beberapa minggu yang lalu, tapi kenapa ini terjadi lagi?

Gina memukul-mukul kepalanya dengan kuat, rambutnya terlihat acak-acakan. Air mata mulai turun membasahi pipinya yang tembem.

Nita yang tertidur di kamar sebelah pun langsung berlari mendengar teriakan Gina. Dengan panik, Nita membuka pintu kamar Gina, lalu menghampiri anaknya, kemudian memeluknya.

"Ibu ... mimpi itu datang lagi, Bu ...," lirih Gina dalam pelukan Nita.

Nita mengusap punggung dan rambut Gina bergantian dengan lembut. "Sutttss ... Gina jangan sedih, ada Ibu di sini. Tenangin diri kamu, Nak."

"Ucapan Putri benar, Bu. Gina memang gak pantas hidup, Gina lebih baik mati!" racau Gina, ia memberontak untuk melepaskan pelukannya.

Nita tak tinggal diam, ia mendekap tubuh Gina lebih erat, membenamkan wajahnya di antara rambut Gina. Nita ikut terisak, trauma anak semata wayangnya kembali lagi. Nita tak henti-hentinya merapalkan doa agar Gina berhenti memberontak.

Gina menangis dan menangis, hingga dua puluh menit berlalu, kesunyian melanda ruangan ini. Gina lebih tenang saat ini, Nita menunduk sedikit untuk melihat wajah Gina, rupanya Gina kini sudah terlelap. Mungkin saja karena terlalu lelah menangis.

Nita merebahkan tubuh Gina secara perlahan, agar gadis itu tak terbangun. Nita turun dari kasur Gina, lalu memakaikan Gina selimut. Nita berdiri, dengan tatapan yang tak berpindah untuk menatap Gina.

"Kamu pasti lagi ada masalah ya, Nak." Nita menunduk sedikit, hendak mengusap rambut Gina.

"Ibu sayang sama kamu, Nak. Kamu tidak sendirian, ada Ibu yang selalu di samping mu. Jangan pernah tinggalkan Ibu, hanya kamu yang Ibu punya di dunia ini."

****

"

Gina kenapa melamun?" tanya Nita saat mendapati Gina tengah duduk di bangku panjang yang terbuat dari anyaman bambu.

Gina menoleh, lantas gadis itu tersenyum pada ibunya. "Eh, Ibu. Gak melamun, kok, Bu. Gina cuma lagi menikmati angin pagi."

Hari minggu, sudah satu minggu berlalu semenjak Gina menolak Dhio. Sudah seminggu pula Gina tak pernah berbincang dengan Dhio. Debby jarang bertemu dengannya di sekolah, hanya Gina yang sering mendapati Dhio selalu pulang pergi ke sekolah bersama Debby.

Gina benar-benar kesepian. Hatinya terasa kosong. Gina tak semangat melakukan apapun, dan traumanya kerap sekali terjadi di tengah malam, saat gadis itu tengah tertidur.

Ntahlah, Gina seperti orang mati. Sama sekali tidak ada semangat hidup, tidak ada senyuman terukir di wajahnya, kecuali saat bersama Nita. Gina selalu berusaha menutupi kesedihannya, walaupun sebenarnya itu sia-sia. Karena Nita jelas paham apa yang terjadi. Gina dan Dhio tengah bertengkar, hanya saja Nita tak tahu apa permasalahannya.

Nita duduk di sebelah Gina. Tadinya, ia hendak pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan makanan, namun ia akan menghibur putrinya lebih dulu.

"Mbul, lagi ada masalah sama Dhio, ya? Sini cerita sama Ibu." Nita mengelus rambut Gina dari samping.

Gina menatap lurus dengan tatapan kosong. Beberapa detik kemudian, gadis itu kembali menatap ibunya. "Gina boleh tanya gak, Bu?" Nita mengangguk.

Gina menarik nafasnya dalam-dalam. "Jadi gini, Bu. Gina punya teman, sebut aja namanya si ayam. Nah, si ayam ini punya sahabat, namanya si bebek. Mereka berdua ini udah sahabatan lama dari kecil, tapi pas udah dewasa, si Ayam punya teman baru, sebut aja si Cicak. Nah, singkat cerita, si Cicak ini cerita ke si Ayam, kalau si Cicak suka sama si Bebek, yaudah si Ayam bantuin si Cicak buat deket sama si Bebek."

Nita mengangguk, tersenyum tipis. Gina tak tahu saja, kalau Nita sebenarnya paham, siapa yang tengah di ceritakannya.

Gina menarik nafasnya kembali setelah menjedanya beberapa detik. "Nah, saat si Ayam bantu deketin si Cicak sama si Bebek. Ternyata si Ayam sadar, dia suka sama si Bebek. Awalnya si Ayam bimbang, ia harus pilih perasaannya, atau temannya." Nita kembali mengangguk lagi.

"Terus, si Bebek ini kan sudah lumayan deket sama si Cicak. Dan kebetulan, si Bebek cerita ke si Cicak kalau si Bebek sebenarnya suka sama si Ayam, si Cicak sakit hati dong, Bu. Tapi si Cicak pura-pura menutupi rasa sedihnya itu, kemudian si Cicak cerita ke si Ayam kalau si Bebek mau menyatakan perasaannya ke si Ayam."

"Si Ayam makin bimbang dong, Bu. Satu sisi dia seneng, orang yang dia suka ternyata juga suka sama dia, tapi dia juga mikirin perasaan teman nya itu, Bu. Jadi, pas si Bebek menyatakan perasaannya ke si Ayam, dan si Ayam nolak si Bebek. Jelas, si Bebek kecewa banget sama si Ayam, maka dari itu, si Bebek mulai menjauh dari si Ayam."

"Lama kelamaan, si Bebek semakin dekat sama si Cicak, dan si Cicak kayak lupa sama si Ayam itu, Bu. Si Ayam sedih, dia kehilangan sahabat sekaligus perasaannya demi si Cicak, tapi si Cicak nya malah kayak lupa diri. Si Ayam harus apa, Bu?  Soalnya, temen Gina yang sebutannya si Ayam itu nanya ke Gina." Gina selesai menceritakannya, kemudian gadis itu menatap Nita.

"Si ayam itu adalah Gina, kan?" tebak Nita dengan senyum lebar.

Gina kelihatan seperti tengah ketahuan menjadi maling, ia mencoba mengatur ekspresi nya. "Bukan, Bu, ini beneran cerita temen Gina."

"Berarti Debby, dong?" tebak Nita dengan wajah berpikir dibuat-buat.

"Ya bukan dong, Bu ...."

"Temen Gina yang perempuan 'kan cuma Debby. Jujur aja sama Ibu, dari gelagat kamu pun, Ibu udah paham." Nita mencubit kedua pipi Gina dengan gemas.

Gina cemberut, memegang kedua tangan Nita agar melepaskan cubitannya. "Ibu, ih! Sakit, jangan dicubit." Nita pun tertawa, kemudian mengacak-acak rambut Gina.

"Jadi ini sebabnya, anak Ibu jadi murung cuma karena si Dhio, toh," goda Nita membuat Gina semakin kesal, gadis itu mendengus.

"Yaudah deh iya, Ibu bener. Itu emang kisahnya Gina. Gina harus apa, Bu? Gina kangen sama Dhiooooo." Kekesalan di wajah gadis itu berubah menjadi murung.

"Gina temui Dhio, minta maaf sama anak itu. Gina, kejujuran lebih baik daripada kebohongan. Kamu harus jujur ke Dhio tentang semuanya. Mau respon Dhio bagaimana nantinya itu, biar urusan belakangan---"

"--- setidaknya, kamu sudah menjelaskan semuanya, Mbul. Kalaupun kalian memang saling suka, Debby juga pasti akan ngertiin kalian berdua, kalian bertiga 'kan sekarang sahabatan. Seorang sahabat harus selalu jujur dan terbuka sama sahabatnya. Kamu ngerti, Mbul?"

Gina mengangguk mantap, ia tersenyum yakin. "Gina paham, Bu. Gina bakal temuin Dhio dan jelaskan semuanya. Nanti Gina izin keluar rumah ya, Bu? Mau ketemu Dhio dan Debby."

Nita mengangguk, lalu mencubit pipi kiri Gina. "Tapi gak sekarang, Ibu mau ke pasar, udah kesiangan, nih. Kamu bantuin Ibu beresin rumah ya, Mbul."

"Siap, komandan!"

*****

Cerita ini dipublikasikan pada tanggal ;

Love Your SelfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang