22

5 0 0
                                    

Dhio POV

Aku kembali menyesap rokok yang ada di tanganku. Aku bukanlah tipe orang yang gila rokok, ataupun mabuk-mabukkan. Tapi kali ini, aku tengah melampiaskan semua kekecewaan ku di sini. Di balkon kamarku, menyesap rokok yang juga meminum kopi hitam, aku biasa meminum kopi mix, tapi kali ini, pikiranku benar-benar kacau.

Aku tak habis pikir, apa yang ada dipikiran Gina, gadis yang sangat aku cintai sejak aku kecil, gadis itu cinta pertamaku, hanya dia yang aku cintai selain mamah dan juga ibu--Nita.

Tadi sore, gadis itu menolak ku, dengan alasan ia tak memiliki perasaan apapun padaku, apa maksudnya?! Selama ini sikap dia selalu terbuka padaku, selalu nyaman kepadaku, begitupun sebaliknya. Tetapi, Gina menolak ku, aku yakin pasti kalau Gina memiliki rasa yang sama denganku, kamu mengecewakan aku, Gina.

Aku terisak. Kalian boleh mengataiku lemah. Tetapi, aku tak pernah selemah ini kecuali untuk saat ini, aku terpuruk karena Gina.

Gina, apa kamu tidak mengerti perasaanku? Aku begitu mencemaskan mu, mengkhawatirkan dirimu, kamu segalanya bagiku, hanya kamu dan kamu. Aku benci dengan sikap egois dan keras kepala Gina, hanya itu yang aku tak suka dari Gina, meskipun ia kadang menurut padaku, ia sangat keras kepala ketika aku menyuruh nya makan, tidak bergadang, dan tidak malas-malasan, tetapi itu sudah adatnya, susah untuk ku rubah.

"Dhioooo! Cici jahat sama Gina. Dia tarik rambut Gina, katanya Gina ganjen sama Dhio, Gina gak ganjen sama Dhio!" Gina menghampiri ku sambil menangis dengan tangannya memegangi rambut.

"Cici nakal! Nanti Dhio bakal laporin ke mamahnya! Rambut Gina sakit? Sini Dhio usap. Cup ... cup, Gina jangan nangis yaa. Dhio gak suka lihat Gina nangis, nanti manisnya ilang."

Aku baru berusia tujuh tahun saat itu, aku dan Gina ada di sekolah dasar yang sama, tetapi berbeda kelas. Itu sebabnya, saat aku tidak ada bersama Gina, banyak anak-anak yang mengejeknya.

"Uuuuuu Gina gendut, kayak sapi wuuuu." anak laki-laki dan perempuan di kelasnya sama saja, sama-sama nakal untuk mengejek Gina.

"Gina enggak gendut! Gina itu tubuhnya bagus, makanya berisi, kalian jangan ejek Gina terus, aku bakal laporin kalian ke Bu guru." Aku berteriak pada mereka saat tahu Gina tengah dirundung. Aku memeluk Gina kecil yang menangis dipojokkan sembari menekuk lututnya.

"Gina jangan nangis, ya. Dhio ada di sini jagain Gina." Gina mendongak padaku, lalu kembali menangis. Ternyata kami masih dirundung dengan mereka tertawa mengejek Gina.

"Dhio, kamu jangan deket-deket sama Gina, nanti ketularan jeleknya! Kamu itu ganteng, mending temenan sama aku aja," kata Cici, si bocah dengan kulit putih blasteran orang luar negeri, pantas saja ia menghina Gina.

Aku tak memperdulikan ucapan Cici, aku membisikkan sesuatu pada Gina. "Suttt. Biarin aja, mereka itu iri sama Gina, harusnya mereka puji Gina, bukannya mengejek, Gina jangan nangis, Dhio bakal tutup kuping Gina sampai mereka pergi, biar Gina gak denger mereka ketawain Gina."

Aku menutup kedua telinga Gina menggunakan kedua tanganku, mata Gina terpejam. "Dhio akan selalu jaga Gina, karena Gina adalah kesayangannya Dhio."

Aku menangis, ingatan masa kecilku dengan Gina terlintas dalam pikiranku. "Lo jahat sama gua, Gina. Lo tega, gua tau, lo juga sayang sama gua, kenapa lo gak jujur!"

Aku menarik rambutku dengan frustasi, aku tak henti-hentinya menangis, walaupun sudah tengah malam begini. Aku tak perduli ada yang mendengar ataupun tidak, yang aku perduli kan saat ini hanyalah melampiaskan kekecewaan ku.

Terlintas, sekelebat ingatan beberapa waktu lalu teringat. Dimana saat itu aku pernah membaca percakapan Gina dan Debby di ponsel. Di dalam pesan itu, Debby meminta agar Gina membantunya untuk dekat denganku.

Aku paham, aku tahu yang sebenarnya, pasti Gina merasa tak enak hati untuk menyakiti perasaan Debby, tapi tanpa sadar, kamu sudah menyakiti hatiku, Gina, apa kamu tidak pernah memikirkan diriku? Aku benar-benar kecewa padamu.

Aku menaruh rokok yang tadi aku isap ke asbak, aku menghapus air mataku dengan kasar. Pasti saat ini, mata dan hidungku memerah karena kebanyakan menangis.

"Lo mau gua deket sama Debby, kan? Baik Gina, gua bakal turutin kemauan lo itu. Jangan salahkan gua nantinya, itu keputusan yang udah lo buat."

Aku memandang ke atas, bintang-bintang di langit malam yang cerah, tak secerah hatiku saat ini. Baiklah, aku akan mengikuti permainanmu, Gina, kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan.

*****

Author Pov

Gina berjalan dengan langkah gontai menuju meja makan. Matanya tampak membengkak dan juga terlihat warna hitam di dekat matanya, tubuhnya pun sepertinya sangat lemas.

"Kamu sakit, Mbul?" tanya Nita dengan khawatir.

Gina tersenyum tipis, menggeleng pelan. "Enggak, Bu. Gina gapapa, kok." Gina meraih nasi goreng yang sudah disiapkan oleh Nita, lalu menyayapnya.

Gina berbohong. Gadis itu menangis semalaman karena kejadian kemarin sore, ntahlah, Gina bersyukur atau menyesal telah menolak Dhio, itu keputusan dirinya sendiri, dan itulah yang ia dapatkan.

Sakit rasanya, Dhio tak percaya akan jawaban Gina. Pemuda itu menggeleng cepat. "Gua yakin lo lagi becanda. Gua serius, Gina, gua sayang sama lo. Gua yakin lo juga sayang sama gua, Gina, lo coba pertimbangkan lagi keputusan lo ini."

Gina bangkit dari duduknya, berusaha tegar dan tak terlihat lemah. "Pliss, Dhio. Perasaan gak bisa dipaksakan. Gue gak ada perasaan apapun sama lo, tolong mengerti, Dhio."

Dhio ikut bangkit dari duduknya. "Lo yakin itu keputusan lo? Tanpa ada campur tangan orang lain?" Dhio menatap Gina dengan serius dan wajah datarnya, tanpa senyuman.

Suasana romantis kini berubah menegangkan. Dhio kecewa pada Gina. Dan Gina kecewa pada takdir yang benar-benar mempermainkan dirinya.

"Ini benar-benar keputusan gue, Dhio! Lo jangan maksa gue, dong! Masih banyak cewek lain di luaran sana yang suka sama lo, kejar mereka, jangan gue, gue sama sekali gak ada perasaan apapun sama lo, gua cuma anggap lo sahabat, enggak lebih!" Gina tampaknya memiliki keberanian hingga berani membentak Dhio.

Dhio tersenyum tipis. "Makasih jawabannya." Dhio mengambil beberapa uang seratus ribuan dari kantungnya, lalu menaruhnya ke atas bangku taman tadi.

"Lo pulang naik taksi aja, maaf, gua buru-buru, ada urusan. Gua gak tau, masih bisa bersahabat sama lo atau enggak. Jaga diri lo baik-baik, gua pamit." Dhio langsung berlalu begitu saja meninggalkan Gina di tepi danau.

Setelah Dhio benar-benar tak terlihat, Gina menangis keras-keras, gadis itu berteriak kencang meluapkan semua emosinya.

"Kenapa?! Kenapa harus kayak gini?! Kenapa disaat hidup gue mulai membaik, Tuhan malah buat gue semakin tersiksa. Kenapa hidup gue selalu menderita?!" Gina berteriak dalam kesunyian, tak ada seorang pun di sana.

Gina berlutut di tanah. "Dhiooo ... Gina cinta sama Dhio, maafin Gina."

Gina tersadar dari lamunan nya saat Nita menepuk pundanya pelan. "Lagi ada masalah sama Dhio?"

Insting ibu tak pernah salah, Nita tampaknya paham dari sikap Gina yang sangat muram dan sedih, ditambah lagi dengan mata Gina yang bengkak, Nita tampak mengerti apa yang tengaj terjadi. Pasti berantem lagi sama Dhio, pikir Nita.

Gina menggeleng, lalu meraih segelas air mineral yang ada di meja, kemudian meminumnya. "Gina berangkat sekarang yah, Bu. Buru-buru, upacara hari ini."

Gina bangkit dari duduknya, gadis itu tak menghabiskan sarapannya, hanya sedikit, tidak ada setengah nya. "Assalamualaikum." Gina mencium punggung tangan Nita untuk salim.

"Waalaikumsalam."

Gina segera keluar dari rumah nya sembari memakai tas sekolahnya dan bergegas menuju sekolah. Yah, Gina harus menaiki angkutan umum di depan gang rumahnya, karena ia sudah yakin, kalau Dhio tak akan menjemputnya.

****

Cerita ini dipublikasikan pada tanggal ;

Love Your SelfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang