Bab 2

116 11 6
                                    


Cerita ini hanyalah fiksi. Tidak ada satupun kejadian di cerita ini yang teradaptasi dari pengalaman pribadi penulis.

Selamat membaca!

***

Seorang lelaki muda berdiri sambil terus mengecek ponsel berwarna putihnya. Membalas beberapa pesan yang masuk dan mengecek dokumen digital miliknya. Perlahan, pemuda itu menghela napas. Matahari baru saja muncul, tapi semangatnya sudah pupus ketika mendengar panggilan kepala sekolah untuk ke ruangannya.

Bahas dies natalis kalik ya? batinnya menengadah. Tapi, proposal aja belum jadi.

Lagi-lagi ia mengeluh. Alisnya lalu bertautan kesal. Karena ada seseorang yang menatapnya terang-terangan selama sepuluh menit ia berdiri di dekat gerbang. "Apa sih?!"

Ah, sial. Candra harus mengangkat wajahnya. Orang di sampingnya itu ternyata cukup tinggi. Dirinya bahkan hanya sebahu sang gadis. Harga dirinya sebagai lelaki sedikit tergores, lagi-lagi ia harus dikalahkan karena fisiknya.

Gadis yang asing itu mengedipkan matanya yang sipit. Lalu ia menekuk tubuhnya agar menyamakan tinggi dengan Candra. Senyuman tiba-tiba muncul di wajahnya. "Adek, nyasar ya?"

Meski urat emosi muncul, Candra tetap berusaha tenang. Ini bukan pertama kalinya ia dikira anak kecil karena tinggi badannya. Tapi, ayolah. Apakah gadis itu tak menyadari jika ia memakai celana berwarna abu-abu?

"Lho? Nafa?" Belum sempat menjawab, sebuah suara nyaring mengalihkan perhatian. Seorang gadis yang sama mungilnya dengan Candra berlari kecil. Hingga membuat rambut sepundaknya menari-nari.

"Pagi, Isty," sapa gadis asing itu melambaikan tangan.

Beralih ke Candra, Isty mengernyitkan dahi. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya kembali menoleh ke arah Nafa.

"Daripada itu." Gadis itu menunjuk ke arah Candra. "Kasihan tauk, adeknya nyasar."

Baru saja lelaki itu berbunga-bunga, perkataan Nafa membuat emosinya kembali naik. Isty menahan tawa karena tinggah polos Nafa. "Aku nggak nyasar!"

"Lho? Emangnya adeknya mau ngapain di sini?" tanyanya ramah bagaikan seorang kakak. Nafa bahkan kembali merendahkan badannya.

"Bukan urusanmu!" ketus Candra kesal.

"Fa, dia anak sekolah sini." Isty memegang pundak Nafa dengan terus menahan diri agar tidak tertawa. "Bisa-bisanya kau mengira dia adik."

"Beneran? Wajahnya unyu-unyu gitu. Gemes banget!"

"Ya maaf kalau aku unyu!" Candra memekik kesal sambil berjinjit. Menantang wajah gadis tinggi itu hingga membuatnya mundur satu langkah.

Bukannya takut, Nafa justru tersenyum. "Dek, mau iphone?"

Candra melongo. Apa maksud gadis gila ini?
"Serah!" Candra menyerah. Lebih baik ia segera memenuhi panggilan kepsek daripada berdebat dengan gadis yang tak ia ketahui namanya itu. Oh, kalau tidak salah Isty tadi sudah menyebut namanya, ya?

"Astaga. Imut banget. Mau kubawa pulang," ujar Nafa menutup mulutnya. Langkah Candra yang mencak-mencak justru terlihat indah di matanya.

Isty menggelengkan kepalanya. Gadis mungil itu lalu teringat. "Oh iya, Fa. Kamu ngapain ke sekolahku?"

Nafa menoleh lalu tersenyum penuh arti. "Mulai hari ini aku pindah ke sini."

***

"Katanya ada murid pindahan, Bang." Joko melapor kepada Aby yang sibuk menggeser layar ponselnya. Begitu banyak pesan yang masuk. Rata-rata dari pada gadis yang biasa ia goda. Tapi sayang, orang yang ia harapkan tidak mengirimkan pesan padanya.

Pacar Kedua [END MASIH KOMPLIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang