Bab 4

51 8 7
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi. Tidak ada satupun kejadian di cerita ini yang teradaptasi dari pengalaman pribadi penulis.

Selamat membaca!

***

Setiap saat, bumi berotasi pada porosnya. Mengelilingi matahari sebagai pusat tata surya. Meski yang terlihat, matahari seakan mengelilingi bumi. Terbit di belahan bumi yang lain dan tenggelam di bagian sebaliknya.

Tak terasa, sudah dua belas jam matahari menghilang dari wilayah Indonesia. Kini, bumi memulai rotasi yang baru. Cahaya matahari yang sedikit condong dari arah utara. Akibat gerak semu matahari. Yang kali ini dikarenakan gerak revolusi bumi atau bisa disebut gerak peredaran bumi mengelilingi matahari.

Setidaknya, itulah materi kelas geografi kali ini. Disampaikan oleh Bu Astuti, guru paling digemari bagi anak IPS tentunya.

"Laboratorium buat geografi itu seluruh bumi. Makanya sekolah nggak bisa bangun gedung baru untuk kita. Nggak bakal muat. Kalau anak IPA diam di satu tempat dengan jas labnya, kita justru jalan-jalan ke luar negeri," jelas wanita berjilbab itu dengan ramah.

"Asik. Kita bakal jalan-jalan keluar negeri, Bu?" celetuk salah seorang siswa.

Bu Astuti terkekeh. "Boleh, uangnya mandiri ya. Sekalian bayarin Ibu."

Pemuda di pojok belakang mengangkat tangan. "Bu, tabungan saya BNI, bukan mandiri. Gimana dong?"

Bukannya marah pada siswa paling nakal seantero sekolah itu, Bu Astuti menanggapinya dengan santai. "Nggak apa. Asal bukan uang korupsi apalagi uang hasil nyuri perihasan ibumu ya."

Aby menggaruk kepalanya sambil menyengir. Beberapa siswa tertawa dan sisanya menggelengkan kepala. Suasana selalu bisa dibuat cair oleh Aby. Sayangnya kau tak bisa membekukannya dan menjadikannya es teh.

Guru berjilbab putih senada dengan batik PGRI itu menghentikan langkah. Aby mulai waswas. Merasa sedikit bersalah karena sering bercanda. Apalagi ia belum pernah melihat sang guru marah. Sepertinya itu akan sedikit menakutkan.

"Nak Estu. Kamu nggak boleh menyamar jadi perempuan."

Tunggu, Aby mulai bingung. Mata sang guru ternyata bukan ke arahnya, tapi ke arah sampingnya. Namun, siswa yang duduk di sampingnya bukanlah Estu.

"Gimana, Bu?" tanya siswa yang dipanggil namanya itu menoleh ke belakang. Mata sipitnya menyelidik kesal. Dia lelaki tulen, tapi kenapa orang-orang di sekitarnya suka sekali berkata yang sebaliknya?

Bu Astuti justru terkejut melihatnya. "Lho? Terus dia siapa?" tunjuknya pada gadis yang sama sipitnya dengan Estu.

Gadis itu menarik senyum. "Saya Nafa, Bu. Baru kemarin pindah ke sini."

"Oalah. Astaga, maaf-maaf. Kalian mirip sih," kata sang ibu guru sambil tertawa kecil. Nafa tersenyum maklum.  Dalam diam, si lelaki berkulit sawo matang itu memikirkan hal yang sama. Merasa kedua orang itu begitu mirip.

Berselang satu jam, usai sang guru memberikan pekerjaan rumah, bel istirahat berbunyi.

Sambil mendengarkan lagu melalui earphone, Nafa bersenandung sendirian. Berada di pojok kelas dan menutup matanya. Menikmati melodi yang merangsak langsung dari telinganya.
Kelas tak begitu ramai. Karena banyak penghuninya yang memilih untuk keluar di jam istirahat pertama ini. Padahal mereka tahu, waktu istirahat kali ini hanya berlangsung lima belas menit saja.

Menuju bait reff, kedua mata sang gadis sedikit membuka. Pemandangan di dalam kelas itu kini membuatnya heran. Sekumpulan orang berkumpul di meja depan. Penasaran, Nafa memilih untuk mendekat dan menepuk pundak seseorang paling belakang di kerumunan itu.

Pacar Kedua [END MASIH KOMPLIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang