Bab 15

32 4 0
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi. Tidak ada satupun kejadian di cerita ini yang teradaptasi dari pengalaman pribadi penulis.

Selamat membaca!

***

Hari senin, hari yang cukup menyebalkan untuk para pelajar. Apalagi hanya berselang dua hari setelah acara dies natalis itu. Bahkan, beberapa dekorasi masih menempel di sisi lapangan. Namun, para guru tak mengenal lelah. Tanpa istirahat, kegiatan belajar mengajar tetap dilaksanakan.

"Ini yang lain pada ke mana?"

Sisa siswa yang tak lebih dari tujuh belas orang terdiam. Pandangan mereka memandang ke arah yang lain. Mana pun, kecuali mata pembunuh sang wali kelas. Suara Pak Gatot semakin meninggi. "Para bebanku udah jadi berhala, ya? Nggak bisa ngomong?"

Semuanya menelan ludah kasar. Berharap dalam hati ada seseorang yang mau menjadi tumbal dan menjawab pertanyaan sang guru botak itu. Sayangnya, tidak ada yang mau masuk ke dalam kandang harimau.
Pak Gatot menutup mata. Kemarahannya akan sia-sia jika mereka tetap menutup mulutnya. "Baiklah. Kalau begitu Bapak cabut saja ya gelar Kelas Berbakatnya? Toh nggak ada penghuninya. Mubazir," lanjutnya dengan nada setenang mungkin.

"Eh, jangan, Pak!"

Tentu saja semua murid melotot tak terima. Hasil kerja keras mereka hangus hanya karena teman-teman yang lain pada membolos? Ooh, itu akan sangat mengesalkan.

"Pas gini aja berani ngomong?!"

Kicep. Semua murid yang berdiri memprotes tadi langsung kembali ke tempat duduk dalam hitungan detik. Kembali menjahit mulut yang kurang ajar itu.

Suara ketukan pintu membuat Pak Gatot menoleh. Hanya Pak Gatot, siswa yang lain tetap tertunduk patuh. "Permisi, Pak!"

"Bagus!" Pak Gatot bertepuk tangan sambil tersenyum lebar. Siswi yang baru membuka pintu itu mulai berkeringat dingin. "Jam segini baru datang. Kenapa nggak pulang aja sekalian?"

Lho? Boleh pulang nih? Batin seluruh siswa di kelas itu kompak.

"Ma-maaf, Pak! Tapi, saya barusan ke ruang OSIS. Buat membicarakan perihal hadiah Kelas Berbakat," jelas gadis itu mencoba tenang. Wajah seram Pak Gatot tetap tak menghilang. "Ah! Tadi ada juga lho hadiah untuk Bapak."

Alis Pak Gatot menukik. "Apa? Mau nyuap?"

"Ahaha. Mana mungkin saya berani melakukannya," katanya tertawa canggung. Tangannya mengeluarkan kertas yang ia simpan di tasnya. Mulai membacakan tulisan yang berada di atas kertas tersebut. "Setiap wali kelas yang mengampu kelas bergelar Kelas Berbakat mendapatkan hadiah spesial karena berhasil membimbing anak didiknya. Hadiah akan diserahkan langsung oleh OSIS. Wali kelas bisa memilih antara cuti seminggu, makan gratis di kantin selama sepuluh hari atau bisa juga memilih keduanya. Begitu katanya, Pak," jelas sang siswi.

Sang guru berkedip tak percaya. Baik pula sekolah memberikan hadiah seperti ini. "Ehem. Oke. Makasih informasinya," deham Pak Gatot melemaskan otot kemarahannya.

"Sama-sama, Pak. Oh, iya. Bapak langsung saja ke ruang OSIS untuk mengambil hadiahnya." Siswi itu membukakan jalan untuk sang guru. Pak Gatot memasang wajah datarnya lalu tanpa basa basi langsung keluar kelas.

Seisi kelas langsung saja bernapas lega.

"Nafa! Kau menyelamatkan kami! Huhu." Riri berlari dan memeluk siswi yang masih berada di daun pintu itu.

"Maaf. Apa kau yang bernama Nafa?"

Mereka berdua menoleh ke belakang Nafa. Sosok gadis tinggi dengan rambut hitam legam yang ia urai hingga nyaris menyentuh belakang betisnya. Keduanya tertegun, gadis di depan mereka begitu anggun. Nafa membaca sekilas name tag-nya, Rani.

Pacar Kedua [END MASIH KOMPLIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang