Bab 8

30 4 0
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi. Tidak ada satupun kejadian di cerita ini yang teradaptasi dari pengalaman pribadi penulis.

Selamat membaca!

***

Jarum jam menunjuk angka sembilan tanpa dosa. Dengan dua jarum sekaligus, membuat sang angka bergetar gugup. Oh, bukan. Ternyata ia tak sendiri, semua angka ikut bergetar. Bahkan sang jarum. Ternyata di sekitarnya sedang terjadi gempa kecil.

"Berlindung! Berlindung!" Seorang pemuda berlari masuk ke dalam kelas dengan melindungi kepalanya. Dengan cepat, siswa itu bersembunyi dibalik kolong meja.

Teman lelakinya memukul kepalanya. "Lindu doang woe! Lebay banget."

Pemuda itu menyengir dan mengangkat kepalanya. Riko sengaja membuat kepanikan. Lihat saja, beberapa gadis di kelasnya sempat berteriak kaget sebelum mereka mengelus dada untuk tak melemparnya dari lantai dua.

"Daripada hidup nggak guna gitu, mending sholat dhuha sana! Biar dapet jatah warisan nenek moyang," perintah gadis muslimah yang tak lain adalah Tari.

"Kamu aneh deh, Tar. Ngajak orang sholat mulu tapi kamu sendiri nggak sholat. Gimana sih?" heran Riko keluar dari kolongan dan berdiri menghadap gadis yang sedang duduk sambil memangku buku biologi.

"Aku lagi nggak sholat."

Riko seketika mengelus dada, bertingkah seolah alim. "Astagfirullah, Uhkti. Dosa besar lho kalau nggak mau sholat." Kakinya dengan cepat mengambil ancang-ancang sebelum sebuah bom meledak di dalam kelasnya.

"Kalau aku sholat malah dosa, Bambang!" serang Tari melempar buku paket yang ia pinjam dari perpustakaan.

Tawa Riko yang menggelegar di sepanjang lorong membuat Tari semakin geram. Buku paketnya berakhir mencium tembok dan terjatuh ke lantai. "Udah, Tar. Ke kantin aja yuk?" ajak Isty memegangi lengan sahabatnya itu.

Tari menghela napas dan mengangguk. Sesampainya di kantin, ia langsung memesan nasi goreng super pedas. Sepedas rasa amarah yang memenuhi ubun-ubunnya. Beruntung, kali ini ia tak lupa membawa uang. Isty memesan seperti biasa, nasi uduk kuning.

"Isty," panggil Tari dengan pandangannya lurus ke depan. Isty mengikuti arah pandangnya dan menemukan seorang siswi yang terduduk di pojokan dengan menundukkan kepala. Beberapa siswa yang melewati meja itu tertawa kecil bahkan tak jarang melemparinya sesuatu. Seperti makanan, kertas kecil, dan lainnya.

Kedua gadis itu berkomunikasi lewat pandangan sekilas lalu beranjak bersama menuju meja itu. Mengabaikan desas desus yang menggelitik telinga. "Kami boleh gabung?" tanya Isty tersenyum simpul.

Farhana tertegun. Melirik di sekitarnya, memastikan jika ia berbicara dengannya. Namun, saat Isty mengulang pertanyaannya, Farhana langsung mengangguk dan menggeser tubuhnya. Isty duduk di sampingnya, sedangkan Tari di sebrang sendiri.

"Kau tak makan?" Isty menatap heran gadis di sampingnya ini. Hanya ada sebungkus roti yang ditatapnya tanpa minat. Farhana terlihat terlonjak, tapi ia menggeleng dan seakan membangun tembok tak kasat mata di antara mereka.

Tari ikut melirik Farhana. Mulutnya sibuk mengunyah dan kepalanya berpikir jika Farhana sedang ketakutan. Bola matanya beralih ke arah meja di sekitarnya. Desas desus tak berhenti, sudut bibir itu juga tak lelah melengkung ke atas. Akhirnya, aktivitas makan mereka berlangsung tanpa percakapan.

Farhana bangkit kala bel masuk berbunyi. Sebelum ia mengeluarkan suara, Isty tersenyum simpul padanya. "Han, kamu mau nggak jadi temenku?"

Farhana terdiam. Ragu dengan apa yang ia dengar, ia menanyakan maksud gadis tersebut.

Pacar Kedua [END MASIH KOMPLIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang