Bab 19

33 4 0
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi. Tidak ada satupun kejadian di cerita ini yang teradaptasi dari pengalaman pribadi penulis.

Selamat membaca!

***

Langit-langit kamar yang berwarna putih menjadi pemandangan yang membosankan bagi Tari. Pasalnya, seharian suntuk ia terkurung karena demam yang ia derita. Tari kesal, tak menyangka metabolisme tubuhnya selemah ini. Omelan ibunya tentang gaya hidup sehat memang benar. Kini, tubuhnya yang cukup gempal menggiringnya ke jalan kemalasan.

Pandangannya mengarah ke luar jendela. Warna jingga yang menyapa menandakan matahari hampir meninggalkan bumi. Tangannya menyentuh dahi, panasnya sudah turun. Baru saja ia bangkit dari posisi tidurnya, pintu rumahnya diketuk seseorang.

Tari beranjak mengambil jilbab. Rumahnya sedang sepi, lebih tepatnya hanya dia di rumah bercat biru itu. "Isty? Tumben ke sini," kejutnya setelah membuka pintu. Dahinya mengernyit melihat matanya yang sembab. Tari bahkan bisa melihat air mata yang masih berjatuhan.

Tanpa bertanya lebih, ia mempersilakannya masuk ke dalam. Sebelum beranjak mengambil minum, tangannya dicekal oleh Isty. "Tidak usah. Aku hanya sebentar," cakapnya.

"Kau kenapa? Ada yang membullymu?" tanya Tari penasaran. Ia hanya tak pergi sekolah selama sehari.

Isty menggeleng. "Aku putus sama Aby," tuturnya. Gadis muslimah itu tak kaget, matanya justru menyelidik, tak percaya. "Beneran ihh! Aku sama Aby udah nggak ada apa-apa!" tegasnya menepis sisa air matanya.

"Yes!" teriak Tari tiba-tiba. "Akhirnya kalian putus juga."

Isty terkesiap. Itu reaksi yang cukup aneh bagi seorang sahabat. Walau pun dia juga tak berharap untuk ditenangkan oleh Tari. "Kenapa sih? Kamu juga mau putus kan? Harusnya seneng dong! Ayo kita rayakan!" lanjut Tari tersenyum lebar, senyuman paling lebar yang pernah ia tampilkan.

Melihat Tari yang bersenandung sambil menari-nari, membuat Isty tertawa geli. "Berlebihan, iih. Reaksimu kayak orang yang gembira pas tahu orang yang disuka putus sama pacarnya."

Gerak tubuh Tari membeku. Tangannya yang mengangkat ke atas ia turunkan seketika. Mulutnya pun membungkam. Kediaman Tari membuat Isty curiga. "Tunggu, jangan bilang kau suka sama Aby?" tebaknya.

Tari tak menjawab, insting Isty semakin menjadi. Ia ayunkan kaki dan menatap langsung ke arah sahabatnya. Netra mata itu memaling, tak berani menatap ke arahnya. Hati Isty kembali melengos, kali ini dengan rasa sakit yang bertambah. "Kenapa nggak bilang, Tar?" tanyanya mengguncang tubuh Tari yang masih saja tak bergeming.

Desakkan Isty serta air matanya membuat Tari sungkan. "Me-memangnya kalau aku memberi tahumu, apa yang akan terjadi?" tanyanya bergetar. Leluconnya di kantin waktu itu tak main-main. Namun, Isty baru menyadarinya sekarang. Andai dia tak putus dengan Aby, apakah rahasia itu akan takkan terbongkar?

"Toh, Aby yang memilihmu. Aku bisa apa? Aku bukan siapa-siapa, Isty. Aku saja tak yakin dia mengenalku," ringisnya melepas genggaman tangan Isty. Matanya masih tak bisa menatap ke arah sahabatnya itu.

Kedua mata Isty kian melebar. Lidahnya kelu, tak mampu berkata apa pun lagi. Akhirnya, dia berlari pergi meninggalkan tempat itu. Lupakan tentang tasnya yang masih di sana, lupakan pula tentang air mata yang masih tak bisa dibendung oleh kantung matanya. Jangan ingatkan Isty apa pun, karena pikirannya kini sedang meruntuki dirinya sendiri.

Jika sudah seperti ini, apakah hubungannya dengan Tari masih bisa disebut sahabat?

"Bodoh!" umpat Isty pada dirinya sendiri. Rambut sepundaknya menutupi hampir seluruh wajahnya. Isty tak tahu sedang ada di mana, ia hanya duduk jongkok sambil menenggelamkan kepalanya. Menutupi rasa malunya kini. Malu karena tak mengenal satu pun tentang Tari. Malu karena berpacaran dengan gebetan sahabatnya itu. Isty tak bisa membayangkan betapa menderitanya Tari saat bersamanya.

Pacar Kedua [END MASIH KOMPLIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang