Bab 18

24 3 0
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi. Tidak ada satupun kejadian di cerita ini yang teradaptasi dari pengalaman pribadi penulis.

Selamat membaca!

***

Hari Kamis, sehari setelah kejadian di UKS. Di pagi hari, Pak Bon sudah rajin mengepel seluruh lantai di lorong. Beruntungnya, ia tak perlu menyapu lapangan karena tanah masih basah sebab hujan kemarin. Ibu Kantin pun sudah disibukan dengan menghangatkan banyak air. Para siswa yang datang di awal hari memesan makanan serta minuman panas.

Hari diawali dengan hujan di sepertiga malam. Mendorong embun pagi jatuh dan tergantikan dengan tangisan langit. Tak salah jika suasana pagi masih saja terasa dingin. Beberapa siswa datang ke sekolah dengan membawa jaket. Para orang tua pun tak bosan mengomel perihal jas hujan atau payung yang harus mereka bawa.

"Kenapa?"

Pemuda itu bertanya pada pacarnya yang tiba-tiba menghela napas usai melihat ke arah ponselnya. Isty langsung saja menyimpan ponselnya dan memasang wajah cemberut. "Tari nggak masuk hari ini. Sakit karena kemarin nekat hujan-hujanan," ketusnya. Hari tanpa sahabatnya pasti akan membosankan.

"Kok bisa nekat?" Isty mau tak mau menjelaskan kronologi kejadian kemarin. Aby hanya memanggut-manggut paham.

Hening, percakapan mereka terhenti di sana. Aneh, padahal biasanya Aby selalu berceloteh tak jelas. Namun, kali ini ia dingin. Bahkan pada anak cewek yang terang-terangan menggodanya. Aby tetap saja abai, tak seperti biasanya.

"Hei, Aby!" Hanya satu yang dipanggil, tapi keduanya menoleh ke belakang. Sesosok siswi yang usai berlari langsung memegangi pundak Aby dengan keras. "Nafa masuk rumah sakit? Kenapa nggak bilang? Sepupunya itu juga! Kenapa telponku ditolak?!" cerocosnya meluapkan emosinya padanya.

Aby mengangkat telapak tangannya dan memintanya untuk tenang. Dia saja juga tak diberi tahu apa pun oleh Estu. Apa lagi orang lain. Pemuda itu hanya menggeleng tak tahu dengan semua pertanyaan Farhana yang semakin menggila. Gadis itu juga memaksakan pertanyaannya untuk dijawab. Membuat Aby kewalahan.

"Agh! Terserah!" Farhana mulai menyerah. "Jika mendapat kabar apa-apa soal Nafa, langsung beritahu aku! Awas saja kalau tak kau beri tahu!" ancamnya lalu berpamitan pergi.

"Nafa masuk rumah sakit?" tanya Isty yang sedari tadi terdiam membiarkan pacarnya diterkam.

Bibir Aby terbuka dan mulai menjelaskan. Sayangnya, semua penjelasannya tak penting bagi Isty. Fokus matanya justru pada raut wajah Aby. Sedangkan suaranya mental dari telinganya, tak didengarkan.

"Mungkin abis sekolah nanti jenguk dia. Kamu mau ikut?" tanya Aby menolehkan mata kepada Isty. Gadis itu tersadar dan langsung mengangguk. Padahal otaknya masih memproses apa yang Aby katakan.

Mereka berpisah karena bel pertama berbunyi. Ah, di saat seperti ini, Isty berharap bisa satu kelas dengan Aby. Ditambah ekspresi Aby yang sangat khawatir tadi, membuat perasaannya berkecamuk.

"Apaan, sih? Biasanya dia berduaan sama cewek aku biasa aja. Kenapa sekarang rasanya geram?" lirih gadis mungil itu lalu duduk di tempat duduknya. "Eh, Tar. Masa tadi--"

Isty lupa. Dia duduk sendiri hari ini. Pikiran Isty melayang. Kebiasaan buruknya saat ia sendiri, memikirkan banyak hal di kepala mungilnya itu. Terlalu banyak, bahkan hal yang tak penting. Seperti rasa sakit di hatinya.

"Isty!"

Gadis itu tersentak. Saat kepalanya menoleh, sebuah telunjuk menusuk pipi tembamnya. "Bengong terus. Udah istirahat nih, nggak mau makan?" tanya sang pelaku penusukan. Namun, Isty menolak. Ia tak lapar untuk saat ini.

Pacar Kedua [END MASIH KOMPLIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang