Bab 11

27 4 0
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi. Tidak ada satupun kejadian di cerita ini yang teradaptasi dari pengalaman pribadi penulis.

Selamat membaca!

***

Author's POV

"Bang, kamu percaya bunga tidur nggak?"

Ketiga pemuda kelas IPS itu sedang bermain kartu di markas mereka, Lab Fisika. Lebih tepatnya, dua orang yang bermain kartu. Yang satu hanya menonton bagikan seorang wasit. Dengan mengunyah donat yang ia beli kemarin, Estu menggeplak tangan Joko yang hendak berbuat curang.

"Sejak kapan tidur bisa ngasilin bunga?" tanya balik Aby tanpa menatap ke arah Joko. "Tahu gitu aku tidur sepanjang hari. Terus buka toko bunga dan sukses. Amin."

"Amin." Joko mengusap wajahnya dengan kartu yang masih menempel. Sedetik kemudian ia melemparnya. "Nggak gitu maksudnya!" marahnya berdiri.

"Lah ngamuk." Aby cekikikan melihat Joko yang menggebu-gebu. Pemuda itu lalu melempar kartunya dan bersandar pada tembok. Mulai merasa bosan setelah bermain dua puluh putaran.

Pemuda berkulit sawo matang itu mendengus.

"Kalian abis tawuran, ya?" Pertanyaan yang sedari tadi diendap oleh Estu akhirnya keluar juga. Melihat luka yang mereka dapatkan, sebenarnya ia bisa menebaknya, hanya saja Estu ingin memastikan tebakannya.

"Ya, kenapa?" tanya Aby datar. Ia kembali mengaca melalui ponselnya. Menyedihkan, hampir seluruh wajahnya tertutup plester dan perban. Sepertinya ia agak berlebihan kali ini.

Estu membuang muka dan mengunyah potongan terakhir donatnya. "Kalian nggak bosen apa? Baku hantam muluk. Batu gunting kertas gitu mending."

"Hei, anak sultan--" panggil Joko kembali duduk dan memasang wajah serius.

"Bapakku namanya Slamet," tungkas Estu.

"Iya iya, anaknya Slamet!" geram Joko. "Kukasih tahu nih, ya. Anak laki-laki kodratnya emang harus bisa berkelahi. Kalau nggak, gimana caranya kamu melindungi orang yang tersayang?" nasehat seorang Joko bagaikan bapak kepada anaknya.

"Emangnya kamu mau melindungi siapa, Ko? 'Kan jomblo." Aby tersenyum dan sontak tertawa. Estu menyembunyikan wajahnya ikut tertawa.

"Abang iih!" rengek Joko kesal. Pandangannya lalu kembali ke arah Estu. "Tapi, kamu beneran nggak mau ikut tawuran?"

"Kalau tawurannya online aku ikut."

"Apa serunya tawuran online?"

"Ngabisin kuota," jawab Estu singkat.

"Siapa yang mau tawuran?"

Ketiga pemuda itu menoleh ke arah pintu. Sesosok gadis berambut hitam tergerai dengan sedikit bergelombang. Rambut yang panjangnya menyentuh pinggang itu menari mengikuti irama langkah kakinya. Wajah polosnya menatap mereka heran.

Joko menunjuk ke arah Estu. "Noh, bebebmu mau tawuran," tudingnya.

"Eh, jangan dong. Nanti kalau kamu terluka gimana?" tanya gadis itu khawatir.

Estu menatap binar kekhawatiran itu dengan tatapan jijik. Ia lalu membuang muka dengan segera. "Dicari pacarnya disamperin kek. Aku tikung baru tahu rasa kau."

"Hah? Siapa juga yang pacaran sama dia?"

"Heh! Mentang-mentang punya pacar, bercanda sembarangan. Kasihan Neng Laras! Kalau nggak mau buat aku aja dah!" protes Joko dalam satu tarikan napas.

Alis Estu menukik. "Laras? Dia Tyas weh," tunjuk Estu.

Joko dan Aby melongo. Gadis di depannya itu justru berdecih kesal. Wajah polosnya berubah garang. "Laras! Gagal nih!" teriaknya menoleh ke belakang. Seorang gadis yang tak lain kembarannya itu tersenyum masuk ke dalam lab.

Pacar Kedua [END MASIH KOMPLIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang