Sendiri

382 9 16
                                    


Sely. Perempuan yang duduk termenung itu, lagi-lagi menitikan air mata. Sejak kematian kekasihnya, ia menjadi sosok yang begitu rapuh. Rasa sedih tak berkesudahan membuat ia semakin kehilangan hidupnya yang dulu. Tawa, canda dan juga kebahagiaan itu kini sirna. Tak ada lagi yang tersisa untuknya.

Jiwanya telah kosong. Sely menutup diri. Bahkan dari sahabatnya.

Sejak pagi tadi Arina sudah berdiri di depan rumah Sely, mengetuk berulang kali. Namun, tak kunjung dibukakan pintu. Arina khawatir dengan kondisi Sely yang semakin memburuk.

Terakhir kali ia mendengar sahabatnya itu sedang berteriak hizteris lalu menangis tanpa henti. Sayang sekali, Arina masih tak bisa berbuat apa-apa. Dan untuk kesekian kalinya gadis itu harus pulang tanpa hasil. Tapi Arina tak akan diam begitu saja. Ia bisa mencobanya lagi besok. Ia tidak akan menyerah.

***

Butiran air berjatuhan ke lantai. Seorang perempuan dengan kebingungan, berjalan di antara tembok-tembok usang yang berdebu. Entah ia berada di mana sekarang. Ia berusaha mencari jalan keluar. Namun tak kunjung menemukannya.

Setelah sekian lama, ia baru menyadari bahwa sesungguhnya ia hanya berputar-putar di tempat yang sama. Ia seperti berada di sebuah labirin tak berujung. Seakan belum cukup juga kecemasan yang ia alami saat ini, lampu yang menjadi penerangnya pun seketika padam. Mendadak perempuan itu menjadi sesak. Ia kini hanya bisa terduduk lemah dengan ritme napas yang tak beraturan.

Kegelapan itu seperti sedang mencekiknya melalui rasa takut. Ia merangkak, sampai sebuah suara menghentikannya. Perlahan namun pasti, suara tersebut semakin mendekat. Terdengar bunyi sepasang kaki yang menginjak dedaunan kering, lalu kemudian berganti dengan sebuah benda yang diseret.

"Siapa di sana?" ucap perempuan itu nyaring. Akan tetapi tak ada jawaban. Hampa. Seakan tadi ia hanya salah dengar.

"Siapa di sana!" ulangnya sekali lagi. Tak lama setelahnya, bunyi pijakan tersebut kembali.

"Ini aku. Sosok yang hidup berdampingan denganmu dan kini lebih dekat dari urat nadimu."

Perempuan itu menggeleng. "Aku nggak mengenal kamu." sangkalnya.

"Benar, tapi aku selalu datang ke setiap jiwa yang bersedih. Kau tidak akan sendirian lagi. Maka izinkan aku terus bersamamu."

Cahaya merah muncul, lalu bergerak ke depan, seperti sedang menunjukkan jalan bagi perempuan itu. Tanpa ragu ia mengikuti titik-titik sinar yang membawanya semakin jauh berjalan, membuka portal dunia baru dan menghilang bersama kabut tebal.

***

Arina kembali mendatangi rumah Sely, memastikan firasatnya yang buruk itu tidaklah benar.

Semalam ia bermimpi melihat sahabatnya telah pergi, melambaikan tangan ke arahnya sebagai tanda perpisahan. Namun yang aneh, Sely tak sendiri. Ia melihat siluet yang tidak begitu jelas berdiri di sampingnya.

Arina terus mengetuk-ngetuk pintu tak sabaran sambil meneriakkan nama Sely dengan suara kencang. Bahkan ia sudah siap mendobrak pintu kalau perlu.

"Sely! Sely buka pintunya, Sel!" panggilnya berulang-ulang. Ia tak perduli jika jari tangannya harus lecet dan suaranya semakin parau. Yang ia inginkan sekarang hanyalah bertemu Sely hari ini juga.

Kemudian gagang pintu bergerak dan perlahan pintu terbuka.

"Sely?"

Dengan wajah pucat, Sely muncul disertai senyum kaku. Bahkan terkesan mengerikan.

"Sel ...." Arina menatap lekat, "kamu baik-baik aja 'kan?"

Sely mengangguk. "Aku baik-baik aja kok," jawabnya datar, "ayo sini."

Hanya Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang