Warung 15

84 4 0
                                    


"Maksud lo Diyo?" Rendra mengangguk.

"Mungkin. Lagian Lena juga nggak bilang apa-apa soal hubungannya sama Diyo. Entah mereka berdua udah jadian atau belum, gue juga nggak tau." Sejenak mereka diam dan membiarkan salah seorang pegawai warung meletakkan dua porsi makanan di meja mereka.

"Silakan, Mas, Mbak."

"Iya, makasih," sahut Rendra. Pegawai warung itu pun berlalu.

"Kalau gitu, lo mau kan ngasih gue kesempatan?" kata Ira sambil memegang tangan Rendra penuh harap. Lelaki itu tersenyum.

"Gue nggak tau bisa mencintai lo atau nggak dan gue juga nggak bisa ngasih harapan. Maafin gue, Ra." Rendra tertunduk semakin dalam. Rendra tau bahwa ia telah melukai perasaan Ira untuk kesekian kalinya. Perasaan bersalah ini tampak membuatnya kacau.

Ira menganggukkan kepala dengan lesu. Walau begitu, Ira masih menampakkan senyum indah di wajahnya.

"Lo nggak usah khawatir, Ren, apalagi merasa bersalah kayak gini.  Gue tau  bahwa cinta memang unik dan spesial,  nggak semua orang bisa mendapatkannya, tapi gue juga yakin bahwa selalu ada jalan untuk bisa menggapai cinta itu."

***

Lena mulai kembali membiasakan berjalan tanpa bantuan sebuah tongkat. Rasanya ia seperti balita saja yang baru pintar melangkahkan kakinya kemarin sore. Kira-kira begitulah sensasinya. Jadi, Lena senang bukan main bisa menggunakan kakinya berjalan ke sana ke mari tanpa kesulitan. Tak ayal lagi hari ini ia akan menjaga warung seperti biasa. Aktivitas yang menurutnya paling menyenangkan di muka bumi, di mana ia bisa menertawai tingkah laku dan melihat berbagai macam karakter para pelanggannya yang unik, lucu sampai yang aneh.

"Kaki lo udah sembuh?" tanya Ira yang baru datang.

"Udah. Hari ini gue bisa jaga warung lagi kayak biasanya," jawab Lena lalu menekan tombol remote dengan wajah ceria.

"Syukur deh kalau gitu."

"Lo habis dari kampus?"

"Ho'oh."

Dua perempuan itu kemudian diam memerhatikan layar TV. Namun tak lama, Lena merasakan ada hal janggal yang tertangkap di sudut matanya. Lena menoleh dan melihat Ira tampak senyum-senyum kearah TV yang menayangkan gosip selebritis yang tertangkap akibat kasus narkoba. Otomatis Lena jadi merasa bingung. Mana yang bisa bikin dia senyum-senyum coba? Pikir Lena. Tapi ia tak terburu-buru menegur kelakuan aneh sobatnya itu, melainkan memerhatikannya secara saksama, barangkali sobatnya itu cuma kekurangan oksigen di dalam otaknya atau memang sudah gila.

"Ohya, besok gue sama temen-temen anggota pecinta alam bakal ngadain ekspedisi di hutan lindung pulau sumatra. Mungkin lima atau tujuh hari nanti baru bisa balik. Jadi selama itu, gue nggak bisa datang ke kafe, nggak pa-pa, kan?" tanya Rendra di warung semalam.

"Nggak pa-pa kok. Oo, jadi lo suka berpetualang juga ya?" Lelaki yang sedang ia ajak ngobrol mengangguk mengiyakan. "Dulu waktu SMA, gue juga pernah gabung ekskul pecinta alam, emang seru sih. Gue juga udah beberapa kali naik gunung. Menyenangkan banget deh pokoknya."

"Terus kenapa lo nggak lanjutin sampai sekarang?" tanya Rendra.

Ira nyengir malu-malu.
"Hehehe,  takut item," kata Ira jujur.

Rendra geleng-geleng kepala.
"Gue tuh entah kenapa suka banget liat perempuan tangguh yang hobi berpetualang. Mungkin karna gue juga menyukai kegiatan yang sama semacam itu. Gue juga berharap bisa dipertemukan jodoh lewat kegiatan yang gue sukai ini."jelas Rendra dengan muka menerawang ke atas.

"Woi!" tegur Lena akhirnya sambil menepuk bahu Ira. "Penyakit kejiwaan lo kambuh? Senyam-senyum aja lo dari tadi."

Ira mengelus dada terlihat kaget. "Apaan sih lo, bikin orang jantungan aja."

Hanya Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang