Warung 21

58 2 1
                                    


Tak lama kemudian, Lena dan Rendra saling melepas pelukan dan akhirnya menyadari kehadiran perempuan itu.

"Ra, sejak kapan lo di sini?" tanya Lena tampak tenang meski tahu perubahan ekspresi Ira tak lagi bersahabat.

"Cukup buat ngeliat kemesraan kalian," katanya dengan nada dingin.

"Kemesraan apa sih yang lo maksud?" Lena mencoba meraih tangan Ira walau dengan cepat pula tangannya ditepis. "Ra, lo harus percaya sama gue, yang lo liat ini nggak seperti yang lo duga."

"Oh ya?" ucap Ira sengit, "jadi pelukan tadi itu nggak bener, cuma khayalan gue, gitu!"

"Ra, plis. Jangan salah sangka gitu dong."

Ira menggeleng. "Lo tega, ya, Len. Gue nggak nyangka lo bisa ngelakuin hal ini ke gue." Selepas berkata begitu, Ira segera membalikkan badannya dan pergi.

"Ra, lo mau ke mana? Biar gue jelasin dulu ke elo, Ra!"

"Len, udah. Lo di sini aja. Biar gue yang jelasin ke dia." Rendra menepuk bahu Lena pelan.

"Iya, Ren, gue minta tolong, ya." Rendra hanya mengangguk, sebelum akhirnya  pergi meninggalkan Lena.

***

"Ra, Ira tunggu!" panggilan Rendra kali ini membuat Ira menyerah juga dan berbalik memandang sosok lelaki tinggi di belakangnya.

Mereka berdua sekarang berada di depan kafe milik Mama Ira.
Sejak tadi mereka saling kejar-kejaran menggunakan kendaraan masing-masing, sehingga tahu-tahu mereka sudah berada di tempat itu.

"Ra, lo kenapa sih?" Suara Rendra terdengar lembut, sementara perempuan yang diajaknya ngomong malah menyentakkan kaki.

"Apa perlu gue jelasin lagi sama lo, Ren? Apa masih nggak cukup juga gue ngulang kata-kata itu?"

Rendra mengangguk. "Gue tau, tapi tujuan gue ke sini bukan karna itu. Gue ke sini pengen ngelurusin kejadian tadi. Dan asal lo tau, Lena yang minta gue ngejar lo sampai sini."

Ira melipat tangan di dada sambil memalingkan wajah. "Soal pelukan yang gue liat tadi itu?" tebak Ira acuh.

"Bukan, tapi ini soal obrolan gue sama dia, sebelum akhirnya lo liat kami berpelukan ...," Rendra jeda sejenak, "Ra, gue harus bilang bahwa lo seharusnya bangga memiliki sahabat kayak Lena. Kenapa gue bilang begitu? Karna dia terus-terusan ngebujuk gue agar gue mau nerima lo. tau kan maksud gue apa? Dan tadi juga dia sempet kesal sama gue, karna dia ngira selama ini gue nggak peka sama sikap lo. Gue sebenarnya paham. Gue jujur ke dia kalau gue belum bisa lupain cinta gue yang dulu, tapi dia tetep aja ngotot supaya gue mau memberi lo harapan. Jadi intinya, kalau lo nuduh yang enggak-enggak ke Lena gara-gara kejadian tadi. Lo udah salah besar."

Ira membisu. Selanjutnya, tak ada lagi ucapan Rendra yang dapat ia simak melainkan kini di dalam kepalanya hanya terngiang penjelasan Rendra yang sebelumnya.

***

Semalaman Lena merasa suntuk memikirkan masalah yang terjadi kemarin. Bahkan hingga pagi ini ia masih saja terlihat murung. Sepertinya apa yang ia rasakan sekarang lebih buruk dari patah hati. Buktinya tayangan tv yang sedang menayangkan acara kesayangannya pun tak mampu merubah suasana hatinya. Biasanya juga kalau sudah menemukan tayangan bagus, suasana hatinya akan perlahan membaik, sebaliknya ini tidak berpengaruh.

Perempuan itu kini sedang menopang wajahnya dengan kedua tangan tampak frustasi. Miriplah sama ekspresi seorang istri beranak tiga yang ditinggal pergi suaminya selama bertahun-tahun bersama kekasih gelapnya.

Di tengah galau yang seperti tak akan berujung itu, Lena seketika menegakkan tubuh saat sebuah mobil memasuki halaman rumahnya dan ia cukup mengenali siapa pemilik kendaraan roda empat tersebut.

Hanya Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang