Terlambat

446 11 22
                                    


Malam semakin larut, aku terbangun karena sesuatu. Suara yang tidak ingin kudengar, suara yang kian mengganggu di tiap malamku, aku tak ingin terbangun lagi karena suara itu. Hentikan, kumohon hentikan.

"Kamu jangan mencoba mengelak, kamu dan wanita itu sudah jelas-jelas berselingkuh!" teriak ibu hampir putus asa.

Bagaimana tidak? setia dan sabarnya dibalas dengan sebuah pengkhianatan. Ibu terlihat begitu terluka.

"Apa? Kenapa, sih, yang ada dalam otakmu hanya memikirkan itu? Kenapa kamu tidak ikut saja ke tempat kerjaku kalau kamu tidak percaya?"

"Oh, jadi semua ini salahku? Kamu berselingkuh karena salahku? Iya?!"

"Tutup mulutmu!" Telunjuk ayah mengacung kuat di depan wajah ibu yang segera ditepis oleh tangan ibu sendiri.

Lengkingan pertengkaran itu kini menghilang terganti oleh suara tamparan amat keras. Ibu menangis, menyentuh pipinya yang kemerahan, di sana tercetak jejak tangan ayah.

Tubuhku menegang menyaksikannya, ini sangat sering terjadi. Namun, aku tidak mampu membiasakan diri. Air mataku luruh begitu saja, tak sepatah kata pun keluar dari bibirku, hanya isak yang terdengar. Huh, selalu saja begini.

Ayah melotot ke arahku dengan mata merahnya. Aku takut sekali. Mungkinkah aku yang menjadi sasaran berikutnya?

"Delia, masuk kamar!" bentak ayah. Aku masih bergeming di tempatku berdiri, aku enggan meninggalkan ibu sendiri. Tanpa kusadari ayah mulai mendekat, ekspresi wajahnya tak mampu kugambarkan.

"Jangan sentuh putriku!" Geram ibu, wajahnya yang bersimbah air mata tampak memucat. Aku berjengit ketika ayah meremas pergelangan tanganku, menariknya hingga aku tersungkur ke lantai.

Lelaki paruh baya itu menjambak rambutku, kurasakan satu per satu helaiannya terlepas, gigiku bergemeretak tak ingin rintihku terdengar olehnya.

Benarkah ini yang disebut cinta? Mereka melahirkanku bukankah atas dasar cinta? Lalu mengapa pada akhirnya begini? Aku melirik ibu, pekikannya terdengar pilu. Namun, aku tahu untuk sekarang, ia tak mampu melakukan apa pun. Lelehan air matanya membuatku tak berdaya, aku mengedipkan mata dengan sedikit menganggukan kepala, memberi isyarat padanya bahwa aku sungguh tidak apa-apa.

Pandanganku beralih pada ayah, kusoroti ia dengan tatapan menantang, aku tak ingin terlihat lemah di depannya. Detik berikutnya, tubuhku terdorong keras, kepalaku membentur lantai.

Anehnya aku tak merasakan sakit, yang kurasakan hanya sesak di titik terdalam jiwaku. Dia ayahku, seseorang yang harusnya menjadi pahlawan di mata putrinya. Sifatnya tak lagi kukenali, dia bukanlah ayahku yang dulu.

***

Tepat pukul lima pagi, dingin menusuk membangunkanku. Aku masih di sini, di lantai tempatku terjatuh semalam. Benturan yang terjadi di kepalaku membuatku tak sadarkan diri, lalu di mana ibu? Mataku mencari sosoknya. Namun, ia tidak ada di mana pun. Bahkan di kamar berukuran kecil itu pun tak ada. Aku tergopoh menuju lemari usang milik ibu. Kosong.

"Ibu ke mana?" ratapku perih.

"Kamu mencari ibumu?"

Aku memutar tubuh mencari asal suara, suara milik ayah. Dia berdiri dengan sebelah tangan bersandar di bingkai pintu, wajahnya sayu sepertinya dia baru saja pulang. Aku menatap tajam padanya, aku yakin kepergian ibu karena dirinya.

"Di mana ibu!" teriakku nyaring. Aku benar-benar tidak bisa menahan diri lagi, nyeri di kepalaku pun semakin menyiksa.

"Dia sudah pergi," tuturnya, pandangan ayah lurus ke mataku. "Biarkan dia pergi, dia sudah bosan bersama kita, ibumu tidak menyayangi kita lagi." Pria itu terlihat memaksakan senyum, selang beberapa saat wajah cekungnya berubah sendu.

Hanya Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang