Warung 1

438 5 2
                                    


Bel berbunyi. Serempak seluruh murid SDN Suka Jaya membubarkan diri dari kelas. Mereka bersorak menyambut jam istirahat yang menyenangkan. Namun, di antara banyaknya murid yang bergembira, ada satu yang tampak biasa. Bahkan bibirnya tak memperlihatkan senyuman sama sekali.

Gadis yang tampak tidak mencolok itu berjalan di antara anak-anak yang berseragam putih cemerlang, sementara seragamnya sendiri amat kusam dan cenderung menguning.

Langkahnya berhenti sejenak. Ia memandangi teman-temannya yang mudah saja ditebak olehnya akan ke mana mereka pergi. Yah, hanya satu saat ini. Kantin. Sesuai tebakannya, anak-anak itu memang ke sana.

"DIYO!" panggil seorang bocah kepada temannya yang bernama Diyo. Membuat gadis yang hanya memperhatikan puluhan temannya secara asal tadi kini cuma memandang seorang anak laki-laki yang tersenyum sebelum akhirnya berlalu.

Seperti biasa ia harus mencari tempatnya sendiri. Tempat yang selalu ia tuju setiap hari ketika jam istirahat.

Di samping gedung sekolah terdapat bangku panjang yang menghadap langsung pada taman kecil, di sanalah ia akan menikmati waktu senggangnya sebelum masuk kelas untuk pelajaran kedua.

Ketika gadis itu sampai, ia lalu duduk perlahan. Menghembuskan napas panjang sambil menatap bunga-bunga yang sedang bermekaran. Ia takjub pada bunga mawar merah yang minggu lalu bahkan belum memunculkan pucuknya.

Pasti sudah dipupuk. Batinnya.

Ia meraba saku rok merahnya yang berisikan sepotong roti.
Benar-benar hanya sepotong roti.

Kemarin ia membeli sebungkus di kantin dan menyisahkannya sebagian. Apa lagi kalau bukan sebagai pengganjal perutnya saat berada di sekolah. Ia cuma punya sedikit uang. Kalau pun ada uang lebih, lebih baik uangnya ditabung untuk membeli seragam baru.

Kini ia mengunyah rotinya, sambil memerhatikan bunga-bunga yang seolah menari-nari di hadapannya karena tiupan angin.

Ia menikmati suasana hening ini. Perasaannya begitu damai. Namun, hampir saja ia terlonjak dan jatuh dari bangku saat mendadak sebuah kotak makan muncul di depan matanya. Gadis itu buru-buru melirik ke samping, kemudian ditatapnya orang itu. Rupanya  seorang gadis. Gadis yang sering ia jumpai di dalam kelas. Mula-mula ia gugup, lalu rasa itu segera luntur.

"Ira?"  Pemilik nama yang disebutkannya tersebut hanya tersenyum dan sekali lagi menyodorkan kotak makanan miliknya.

"Kamu kenapa ...."

"Kenapa aku bisa di sini?" Ira menatap gadis di hadapannya itu sejenak, "Ya gampanglah. Aku cuma perlu ngikutin kamu." Bibir Ira tersenyum puas, "jadi, kamu mau nggak nerima ini?"

Walau ragu, tak urung gadis itu mengangguk juga. Dan akhirnya ia mengiyakan dengan sebentuk senyuman. Ia sudah menimbang-nimbang dalam pikirannya tadi sebelum menerima makanan itu. Selain karna kelihatannya lebih enak dari roti yang sedang dimakannya, roti yang ia miliki pun sudah pasti tak akan cukup untuk mengganjal perutnya.

"Nih, Len. Habisin aja semuanya."

"Kamu nggak makan?"

Ira menggelengkan kepala. "Aku udah kok tadi." Jawaban itu tiba-tiba saja membuat kedua bola mata Lena mulai berkaca-kaca.

"Gimana, enak nggak?"

Lena menggut-manggut.

"Itu sandwich buatan Mamaku. Kalau kamu nggak keberatan, aku bakal bawain ini buat kamu setiap hari. Mau?"

Kali ini mata Lena benar-benar tak dapat membendung air matanya, tapi buru-buru ia menghapusnya dengan punggung tangan.

"Terima kasih."

Pertemuan di dalam kelas saja tidak cukup untuk mereka saling akrab, tetapi sejak pertemuan hari itu di samping sekolah, kedua gadis tersebut menjadi dekat dan bersahabat.

Hari-hari yang mereka lalui sangat menyenangkan. Dan kini, bangku di samping sekolah sudah menjadi 'markas' tetap mereka.

Ketika bel berbunyi, mereka berdua selalu ke sana membicarakan banyak hal.

"Len, kamu punya cita-cita nggak?" tanya Ira ketika mereka duduk di bangku panjang di samping sekolah sambil memakan sandwich yang ia bawa dari rumah. Lena yang asik makan melirik Ira yang juga memandangnya. Bibirnya membentuk sebuah senyuman.

"Punya dong!"

"Oya! Apa?" tanya Ira antusias.

"Aku pingin kayak Mamaku. Jadi TKW," ucap Lena bangga.

"TKW?" gumam Ira lalu menggaruk kepala. Wajahnya tampak bingung.

"Iya. Mamaku sudah dua tahun kerja di Arab Saudi. Selain dapat uang, Mamaku juga bisa jalan-jalan keluar negri."

"Wah,seru banget. Aku jadi pengen jadi TKW juga deh kayak Mamamu."

"Aku sudah nggak sabar jadi orang dewasa biar cepat-cepat jadi TKW yang sukses agar bisa membanggakan Mama sama Bapak," kata Lena bersemangat.

Begitulah sebuah ungkapan polos dari mulut seorang gadis kelas tiga SD.
Cita-cita yang dianggapnya begitu mulia dan sangat ingin diwujudkannya suatu saat nanti, tepatnya ketika ia telah dewasa.

Ira yang sama sekali belum mengerti cuma dapat meniru saja, selagi itu membuatnya senang. Yah, keduanya masih mempunyai pikiran yang sama polosnya. Bagi gadis sederhana seperti Lena, bekerja keras mungkin sudah takdirnya untuk tetap bisa bertahan hidup. Namun, bagaimana dengan Ira?

Hmm, semua teman satu sekolahnya pun tahu bahwa keluarga Ira bukanlah berasal dari golongan orang tak mampu, melainkan berasal dari keluarga kaya raya yang tentu saja sejak lahir telah dikelilingi limpahan harta.

Setiap hari ia selalu diantar jemput menggunakan mobil BMW hitam yang sentiasa mengilap. Itu saja sudah cukup membuat orang mengerti kalau kehidupan Ira sangat bergelimang materi. Ayahnya sendiri adalah seorang pengusaha tambang batu bara. Selain itu, ibunya membuka sebuah restoran dan beberapa cabang kafe yang berciri khas anak muda. Jadi tak heran bila banyak kalangan anak muda yang menyukainya.

Tahun demi tahun berlalu. Persahabatan mereka semakin solid saja. Namun, lagi-lagi nasib mereka yang berbeda jauh tak lagi memungkinkan mereka untuk pergi dan berangakat sekolah seperti jaman mereka saat masih duduk di bangku SMA. Ira melanjutkan sekolah ke Universitas tanpa takut soal biaya. Berbeda dengan Lena yang selalu terhambat masalah uang. Hingga akhirnya, orang tua Lena terpaksa mengubur harapannya memasukan anak semata wayang mereka ke salah satu Universitas di Jakarta. Lena sendiri dapat mengerti. Lagi pula ia juga tak ingin ambil pusing persoalan tersebut. Lebih baik adalah meringankan beban orang tua, bukankah begitu?

Sekarang Lena punya kesibukan. Rutinitasnya sekarang adalah menjaga warung. Semenjak Mamanya berhenti menjadi TKW, sebagian penghasilan yang didapatkannya selama bekerja di Arab Saudi Mama gunakan untuk membuka warung kecil-kecilan yang tak lupa disertainya dengan doa. Katanya biar barokah.

Berkat usaha baru tersebut, saat ini setidaknya usaha itu sudah lumayan berkembang, dan kehidupan Lena berangsur membaik. Ia berharap suatu saat nanti, warungnya akan bertambah maju.

Oya! Sejak kepulangan Mamanya dari Arab Saudi, Lena jadi tak lagi memiliki angan-angan untuk menjadi TKW. Kali ini ia bercita-cita menjadi juragan warung. Maksudnya mengembangkan warungnya hingga berubah menjadi toko tersebar di mana-mana.






Bersambung

Hanya Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang