Warung 3

169 4 8
                                    


"Rendra jago main gitar? Suaranya bagus nggak?"

Belum sempat menjawab pertanyaan Ira, seseorang berjalan mendekat ke warung. Bukan Rendra tapi Wawan tetangganya. Mau nggak mau Lena segera beranjak dari kursinya untuk melayani sebagaimana pembeli lainnya.

"Ambilin sabun sama sampo dong," perintah Wawan dari balik etalase yang berisi berbagai macam makanan ringan.

Lena mengangkat sebelah alisnya, "Lo ini, beli snack kek sekali-kali. Doyan amat beli sabun sama sampo. Hampir tiap hari lagi." Sewot Lena pelan. Tak urung tangannya pun mengambilkan benda sesuai yang Wawan perintahkan.

"Nih." Lena meletakkan di atas etalase yang menutupi separuh badannya. Tanpa basa-basi Wawan menyerahkan sejumlah uang pas dan langsung berbalik pergi membawa keresek belanjaannya.

"Aneh," desis Lena. Ia berniat kembali ke tempat duduknya dan lanjut nonton film  kalau saja Mu'in tidak keburu datang.

Bokongnya yang nyaris menyentuh permukaan kursi pun harus tegak lagi. Ira yang separuh membuka mulut bersiap ngoceh terpaksa membungkam dan menatap TV tanpa minat.

"Roti goreng gue udah laku berapa?" tanya Mu'in separuh berharap.

"Baru tiga biji," jawab Lena sekenanya.

Lelaki tinggi berkulit coklat itu terlihat agak kecewa. Tadinya dia sudah begitu optimis dengan idenya menaruh kupon untuk menarik pembeli lebih banyak.
Sayangnya para pelanggan-pelanggannya tak menyambut baik inovasi terbaru itu.

Masih mending kalau dibandingkan jajanan yang lebih dulu ia ciptakan walau namanya terbilang aneh. Seperti kue dadar isi selai kacang, pisang goreng panggang, onde-onde rasa dodol, telur mata keranjang dan yang terakhir, roti goreng isi kupon ini. Lagipula, aneka kue buatannya memang hampir selalu tak pernah habis. Namun selalu terjual lebih dari separuh. Jadi lumayanlah, plus sudah dapat untung juga, kecuali jajanan yang kini membuatnya kecewa setengah mati ini.

"Gimana kalau roti goreng isi kupon lo diganti menjadi roti goreng isi nomor telepon selebritis?" cetus Lena. Mu'in yang berwajah sedih semakin meratapi nasib roti gorengnya yang malang. Lebih tepatnya, dia sendirilah yang bernasib malang.

"Lo itu  ngasih solusi atau cuman niat nambahin beban gue?"

"He he he, gue nggak maksud kok, In. Peace." Lena mengangkat tangan membentuk huruf V pada jari telunjuk dan jari tengahnya. Mu'in mengibaskan tangannya yang besar.

"Gue balik dulu ya."

"Lo nggak mau ngambil duit hasil penjualan onde-onde lo?"

"Entar aja deh." Mu'in terus berjalan tanpa nengok-nengok lagi. Lena yang melihat Mu'in lesu begitu menjadi prihatin juga.

"Kasian," ucapnya lirih. Ketika ia berbalik badan, senyumnya kembali muncul.

"Waktunya nonton." Perempuan itu berjalan cepat dan mendaratkan bokongnya ke kursi. "Ah, nyamannya" Lena bergumam.

"LENAA!" Baru sebentar mengikuti acara TV-nya. Suara panggilan dari dalam rumah memupuskan harapan Lena untuk bersantai. Ira yang duduk di sampingnya tak kalah mendumel.

"IYA, MA, BENTAR!" Lena berlari secepat kilat.

***

"Permisi. Yang punya warung ada?"
Ira terperanjat memandangi sosok itu. Wajahnya yang merengut mendadak cerah.

"Rend-ra." mulutnya berbisik pelan. Ira beranjak dari kursi mengampiri seorang cowok yang hanya berjarak  tiga meter saja dari posisinya. "Mm, dia lagi ada urusan sebentar."

"Oo."

Sunyi.

"Oya, gue Ira temennya Lena." Ira mengulurkan tangan yang dijabat langsung oleh lawan bicaranya.

Hanya Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang