"Tapi gue harap lo bisa ngerti, gue belum bisa mencintai seseorang selain Lena. Belum ada yang bisa ngebuat gue berpaling dari dia," jelas Rendra."Kita nggak akan pernah tau ke mana takdir akan membawa cinta seseorang, selama mereka belum menjalin sebuah ikatan, itu berarti gue masih punya harapan 'kan, Ren?" Walau ragu, Rendra tetap mengangguk mengiyakan, membuat Ira kembali tersenyum.
"Baiklah. Ra, sekarang gue harus pergi."
"Ke rumah Lena?"
"Iya."
"Kalau gitu lo harus siap-siap ngadepin Diyo untuk kedua kalinya."
"Nggak masalah. Udah yah, gue cabut dulu." Rendra berlari menuju vespanya yang terparkir di pinggir jalan. Ira yang hanya dapat memandanginya dari jauh itu cuma bisa merelakan keputusan lelaki itu dengan segala harapan yang ia simpan dalam hati.
***
Lena jadi bosan mendekam di rumah seharian. Katanya kayak lagi dipingit saja. Maka akhirnya ia menyusul Mamanya di warung setelah memikirkannya sejak tadi. Lena mulai berjalan dengan sebelah tubuhnya yang ditopang sebuah kruk.
Di warung, Mama baru saja melayani dua anak perempuan yang girang mendapatkan dua es krim yang mereka pesan.
"Mama jualan es krim?" tanya Lena heran.
"Iya, udah dua hari ini Mu'in ngantar es krim ke warung kita. Namanya es kriminal."
"Maksudnya es yang bisa bikin orang bertindak kriminal?"
"Mama juga nggak tau, yang penting warung kita untung."
"Iya juga sih." Anak dan ibu itu cekikikan bersama.
Tak lama kemudian, sebuah mobil memasuki pekarangan rumah Lena dan berhenti di depan warungnya. Karena sudah beberapa kali melihat sedan merah itu, maka Lena mudah saja menebak bahwa yang datang itu adalah Diyo.
Mama yang iseng lalu menggoda anaknya sambil nyenggol lengan Lena.
"Mama apa-apaan sih." Wajah Lena langsung merona merah kuning kelabu.
"Kalau gitu Mama ke dalam dulu, ya. Nggak mau ganggu kalian."
"Awas ya, jangan ngintip." canda Lena.
"Mama nggak bisa janji, hehehe."
"Huuu, Mama."
Ketika Diyo semakin mendekat, tatapan Lena berubah bingung meski cowok yang ditaksirnya sejak dulu sudah tersenyum sedemikian rupa.
"Diyo, muka lo kenapa?" Seketika ekspresi Diyo terlihat kaget. Lena menyentuh lebam di wajah Diyo pelan.
"Ng-gue nggak pa-pa kok."
"Terus ini kenapa?"
"Habis jatoh." Dustanya.
"Nggak mungkin. Pasti lo habis kena pukul, benerkan?" tebak Lena. Diyo cuma diam, bingung mau bilang apa.
"Udah nggak usah bohong sama gue. Preman pasar mana yang habis nonjok elo?"
"Bukan preman pasar kok."
"Nah terus siapa?" cecar Lena.
"Mmm, tapi lo jangan marah ya kalau gue kasih tau," kata Diyo dengan wajah ragu.
"Tergantung. Kalau emang bukan lo yang salah gue nggak akan marah atau yang lakuin ini bukan orang yang gue kenal baik." Diyo meneguk ludah.
"Udah deh, pokoknya nggak penting." Cowok itu kemudian duduk di sofa mencoba mengalihkan pembicaraan, "Nih, gue bawain novel keluaran terbaru loh." Sayangnya Lena tidak terpengaruh sama sekali. Melainkan hanya menatap Diyo menunggu jawaban.
"Iya-iya gue ngaku. Sebenarnya gue sama temen cowok lo itu, Rendra ya namanya? Gue habis berantem." Tak ayal Lena jadi shok.
"Siapa yang mulai duluan?" Diyo bungkam lagi.
"Siapa?" desak Lena tak sabar.
"Rendra."
Bersamaan dengan pengakuan Diyo, Rendra muncul bersama vespa bututnya lalu diparkirkan di tempat biasa. Ia berjalan sewajar mungkin walau firasatnya mengatakan ada hal buruk yang akan terjadi. Dan seperti dugaannya, Lena sudah terang-terangan menunjukkan wajah tak bersahabat saat menatap lurus ke matanya.
"Len, gue ...."
"Jelasin ke gue apa maksud lo nyari gara-gara sama Diyo?" ucap Lena yang langsung memotong perkataan Rendra. Lelaki itu membisu. Namun pandangannya masih tertuju pada Lena.
"Jawab, Ren! Diyo salah apa sama lo!" desaknya. Akan tetapi Rendra masih memilih bungkam.
"Gue bener-bener nggak habis pikir. Gue nggak ngerti sama isi otak lo. Apa sih yang lo pikirin? Oo, apa sekarang lo pengen jadi sok jagoan, iya?" Cerocos Lena penuh emosi. Kali ini Rendra tak mampu membendung gejolak di dadanya lagi dan siap memuntahkan isi hatinya tanpa ragu.
"Jawab Ren!" Desak Lena sekali lagi.
"Lo mau tau?" Tatap Rendra intens, "Itu karna gue CINTA SAMA LO! Gue nggak mau ada orang lain yang deket sama lo kecuali gue. Gue nggak mau kehilangan lo, Len."
Sontak rentetan kata yang keluar dari mulut Rendra membuat Lena terasa terlempar ke dalam dunia asing yang membuatnya beku.
"Gue udah lama suka sama lo, tapi lo nggak pernah ngerti apa yang gue rasain."
"Rendra, cukup!"
"Gue udah berusaha melakukan yang terbaik meski lo selalu nganggap itu sesuatu yang biasa, tapi itu nggak bikin gue nyerah."
"Gue bilang cukup!" teriak Lena kemudian berbalik pergi.
"Lena tunggu!" Panggil Rendra hendak mengejar Lena, tapi tangan Diyo segera mencegahnya.
"Udah Ren, biarin dia pergi. Kasih dia waktu untuk sendiri," kata Diyo masih menjegal langkah Rendra. Mau tak mau Rendra menuruti juga ucapan Diyo meski tak urung ia ingin mengejar dan memeluk perempuan itu.
***
Tidak biasanya Ira menunggu Rendra di luar kafe. Penampilannya pun agak berbeda dan terbilang sederhana malam ini. Hanya kaos biru bergambar pokemon dan jins belel. Begitu melihat sosok yang dinanti, ia segera melambai di tempatnya berdiri.
"Syukur deh lo datang."Ira tampak lega.
"Emangnya kenapa?" Kening Rendra berkerut heran.
"Ada deh, pokoknya malam ini lo nggak perlu nyanyi."
"Jadi gue pulang aja?"
"Nggak. Sebagai gantinya lo harus nemenin gue."
Rendra menganga.
"Maksud lo?"
"Ayo ikut gue." Sebelum Rendra menolak, Ira sudah menarik tangannya pergi. Ira menuntun lelaki tersebut kembali ke motor vespanya.
"Kita pake vespa lo aja, oke."
"Tapi ...."
"Udah buruan naik."
"Emang kita mau ke mana?"
"Jangan bawel, entar gue bakal tunjukin arahnya."
Rendra tidak bicara lagi. Ia bergegas menunggangi kendaraan mungilnya dengan tiga kali menstater. Ira kemudian duduk di belakang Rendra setelah mesin vespa sudah menyala.
"Les't go!" serunya riang. Vespa itu pun berjalan dengan kecepatan sedang, "sayang ya malam ini nggak ada bintang." Ira mendongakkan kepala di tengah perjalanan.
"Mau ujan kali," jawab Rendra cuek yang otomatis bikin Ira sedikit cemberut, tapi tak berlangsung lama Ira dengan sengaja memeluk lebih erat tubuh Rendra yang terkesan membeku itu.
"Nggak pa-pa deh kehujanan, asal sama lo." Bibir perempuan itu membentuk senyum bahagia. Namun sikap Rendra masih sama bekunya, tak berubah.
Di dalam kepalanya masih dan hanya akan dipenuhi bayang-bayang Lena. Tentang hari-hari menyenangkan yang pernah mereka lalui bersama. Dan Rendra berharap segalanya dapat kembali seperti dulu.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Kumpulan Cerpen
Short StoryHanya kumpulan cerpen. Follow sebelum baca. *** peringatan....!! Di dalamnya ada pertumpahan darah juga, bagi yang di bawah umur, tolong bijaklah dalam memilih bacaan. Bacaan ini hanya diperuntukkan bagi pembaca 17+ Terima kasih atas pengertiannya.