Warung 9

125 2 0
                                    


Taman bermain yang mereka kunjungi tak kalah ramai dengan lapak para pedagang kaki lima tadi. Mungkin dua kali lipatnya.

Semua pengunjung yang datang segera mengantri di depan loket. Untung saja proses pembelian tiket lebih cepat. Jika tidak, bisa jadi Rendra dan Lena akan mati kepanasan.

"Gue mau main lempar bola itu," tunjuk Lena. Rendra mengiyakan dengan senyum. Lena berlari menuju area permainan yang ia pilih.

Ketika sampai, kebetulan sepasang cowok cewek sudah selesai dengan permainan tersebut. Di sana Lena disambut ramah oleh si penjaga permainan. Lena diberi tiga buah bola untuk dilemparkan ke tumpukan kaleng yang tersusun. Jika berhasil, maka hadiah yang disediakan, biasanya berupa sebuah boneka siap dibawa pulang.

Lena hampir putus asa ketika Lemparan pertama dan keduanya gagal. Ia mengira permainan semacam ini sangat mudah, tahunya susah. Bidikannya selalu meleset, mungkin karena kurang fokus. Lena kembali mengambil ancang-ancang sebelum melemparkan bola terakhirnya.

Kali ini gue pasti bisa. Yah, gue pasti bisa.

Kata Lena berkali-kali dalam hati.

Ia pun melemparkan bola ke arah sasaran. Benda bulat itu melesat ke depan dan menyentuh susunan kaleng berwarna silver tersebut. Susunan teratas kaleng mulai berjatuhan hingga menjalar ke susunan terbawah.

YEY! BERHASIL!!

Lena memeluk boneka panda hasil kemenangannya. Dengan perasaan riang ia kemudian berpindah pada permainan berikutnya sambil berjingkrak. Rendra setia mengikuti dari belakang. Langkah perempuan itu kemudian terhenti.

"Ren!" Lena melompat-lompat kecil menunjuk bom bom car. Rendra mengangguk saja.

"Yes!" serunya. Begitu mendapat lampu hijau dari Rendra, Lena segera berlari ke area permainan mobil-mobilan itu.
Sejumlah wahana telah mereka datangi. Lumayan melelahkan juga, bahkan sampai keluar keringat pula, tapi tak dapat dipungkiri perasaan mereka berdua terutama Lena begitu gembira.
Sekarang mereka mengunjungi tempat yang menyediakan berbagi macam makanan di taman hiburan itu. Ada sate lilit, tahu gejrot, rujak, gorengan, kacang rebus, jagung bakar, mi goreng dan masih banyak lagi.

"Lo seneng'kan?" tanya Rendra. Lena tersenyum, mau ngomong tapi mulutnya masih penuh sama tahu gejrot yang pedasnya level dua.

"Sukur deh, gue jadi ikutan seneng." Rendra sendiri sedang makan kacang rebus ditemani segelas capucino.

"Ren, balik yuk, udah sore nih. Kasian nyokab gue seharian jaga warung." Lena berdiri hendak membayar.

"Mbak, ini uangnya, sekalian sama makanan mas itu saya yang bayar." Yang Lena maksud 'mas itu' tidak lain adalah Rendra.

"Kok lo yang bayar sih?"

"Nggak pa-pa, gue nggak enak makan gratisan mulu. Lagian kapan mau majunya bangsa ini kalau rakyatnya aja sering dikasih gratisan."

Rendra mengernyit. "Emang ada hubungannya?" Lelaki tampan itu seolah bertanya pada dirinya sendiri.

"Yuk cabut!" Rendra mengekor Lena berjalan ke parkiran.

"BTW, gimana kuliah lo?"

"Lancar."

"Lo harus banyak berterimakasih sama Ira, berkat dia lo bisa dapat pekerjaan."

"Iya, lo benar, sampai kapan pun gue nggak akan pernah lupa kebaikan dia."

"Dan yang paling penting, lo kasih perhatian lebih juga ke dia biar dia makin baik sama lo."

"Perhatian lebih?" Rendra merasa janggal dengan kata-kata itu. Ekspresi Lena memperlihatkan seakan Rendra adalah lelaki paling tidak peka sedunia.

"To the point aja, ya, Ira itu sebenarnya ada feeling sama lo. Kalau suatu saat nanti dia nyatain cinta ke elo, gue harap lo bisa kasih dia kesempatan. Minimal kalau lo belum terlalu srek sama dia, paling tidak lo jalanin aja dulu alias PDKT, oke?"

Rendra menggeleng. "Gue nggak yakin bakal bisa."

"Kenapa?"

"Ya karna cinta nggak bakal bisa dipaksain," tandas Rendra. Lena diam separuh bepikir, lalu akhirnya ia mengedikan bahu.

"Ya udah, gue nggak akan maksa." Lena memakai helm. Namun sambil mengintip wajah Rendra yang merengut. Ia menyadari apa yang mereka bicarakan barusan membuat sisi sensitif Rendra sedikit terusik.

"Ren, senyum dong." Rendra yang agak cemberut langsung nyengir dipaksakan.
"Ikhlas nggak tuh?"

"Iya, ikhlas." Rendra menstater vespa bututnya tanpa kesulitan. Sepertinya dewi Fortuna sedang memihaknya.

Di atas vespa yang ditungganginya, Lena tak lagi nyanyi-nyanyi. Tetapi bukan berarti ia lebih kalem sekarang, malah kayaknya semakin parah. Dia teriak-teriak seperti orang depresi yang kehabisan obat penenang.

"DIYO LO KENAPA NGGAK DATANG? DIYO LO NGGAK PUNYA ONGKOS KE ACARA REUNIAN KITA, YA? DIYO APA LO LUPA ALAMAT SEKOLAH KITA? DIYO APA LO NGGAK INGET LO MASIH PUNYA UTANG SAMA GUE! DIYOOO!"

"Len, lo kenapa sih? Nggak malu apa diliatin orang?"

Kini Lena membisu. Dia juga bingung kenapa tiba-tiba ia jadi emosioal begini. Kenapa begitu mudah ia memuntahkan sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia? Bukankah ia sudah merasa baik-baik saja saat dapat menikmati permainan di taman hiburan tadi.

Apakah Lena cuma berusaha membohongi diri sendiri, bahwa tawa dan bahagia yang ia perlihatkan cuma pura-pura. Semuanya palsu.

"Sori." Hanya satu kata itu yang bisa Lena ucapkan usai terdiam lama. Rendra tak menanggapi. Bahkan mungkin terkesan tak peduli. Namun,  Rendra tidak menyangkal bahwa ia merasakan luka di bagian hatinya.

"Ren, makasih ya untuk hari ini. Gue seneng banget," kata Lena saat turun dari Vespa.

"Iya, sama-sama." Rendra ikut tersenyum melihat Lena yang lebih dulu membentuk lengkungan senyum di bibirnya. Namun tampak hampa. Rendra menyadari itu. Ia tahu penyebabnya adalah Diyo.

"Gue pamit, ya." Motor Rendra kemudian berlalu. Lena masih berdiri di sana memandangi Rendra hingga menghilang di ujung jalan. Tak lama hujan turun.

Perempuan itu berjalan pelan seolah kakinya yang  melangkah tersebut bukan untuk menghindari hujan.
Mama yang melihat kelakuan anaknya dari dalam warung jadi heran sekaligus gereget,

Jalannya apa nggak bisa lebih cepat lagi?

Tapi sebagai orang tua ia mengerti, pasti ada sesuatu yang terjadi dan anaknya butuh waktu untuk menenangkan diri.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumusalam. Udah, kamu balik aja ke rumah ganti baju terus istirahat, biar mama yang jaga warung." Mama tersenyum teduh,  ketika Lena baru akan masuk.

"Emang, Mama, nggak capek?"

"Nggak. Mama nggak capek. Udah sana. Tuh baju kamu basah, kalau nggak cepat-cepat di ganti entar kamu masuk angin loh, ayo sana!"

"Ya udah deh, Ma, aku balik dulu."

"Iya."





Bersambung ...

Hanya Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang