Warung 23

67 4 2
                                    


Lena membuka pintu kamar dan dengan perlahan merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Ia memandang ke luar jendela yang masih dibiarkan terbuka di kedua sisinya. Lena hanya dapat termenung menatap lesu ke langit yang memancarkan cahaya bulan itu. Namun seketika setitik air matanya jatuh.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa Lena sedang terluka, ia memang patah hati mengetahui lelaki yang selama ini ia harap, tak akan bisa lagi menjadi miliknya. Selamanya tak akan pernah.

Di tempat yang berbeda, Diyo dan Alina sedang duduk santai di gazebo setelah acara makan malam keluarga itu selesai, sementara para orang tua mereka masih berbincang di dalam rumah.

Diyo memandangi langit malam di atas sana. Melihat bintang-bintang sambil membayangkan wajah seorang perempuan yang tak mau pergi dari pikirannya. Ia teringat tentang sebuah kepercayaan orang orang dulu.

Konon, bila sedang menatap langit dan mengingat wajah seseorang yang disayangi maka sesuai keyakinan mereka, orang yang tengah dipikirkan akan dapat merasakan hal yang sama. Dan mungkin akan melakukan seperti apa yang Diyo lakukan sekarang.

"Udah lama banget, ya, kita nggak kayak gini?" Alina memulai obrolan.

Diyo mengalihkan perhatiannya pada gadis itu setelah tadi hanya sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Kamu ingat nggak, dulu setiap kita berdua duduk di sini, kamu pasti nyanyi buat aku sambil main gitar. Yah, meskipun -"

"Suara aku biasa-biasa aja, itu 'kan yang mau kamu bilang." Diyo nyengir.

Alina tertawa kecil, menutup bibir dengan tangan mungilnya. "Tapi menurutku itu romantis. Semua cewek pasti bakal meleleh."

"Ohya?" Diyo tampak mulai tertarik. Lelaki itu tersenyum karena tiba-tiba teringat kejadian saat karokean dengan Lena pada makan malam yang pernah mereka lalui.

"Iya dong. Cewek itu yang penting liat usaha cowoknya dulu, mau hasilnya bagus atau tidak yang penting dia emang sungguh-sungguh pengen nyenengin pasangannya," jelas Alina.

"Kalau gitu aku boleh nggak nyanyi lagi buat kamu?" tanya Diyo, kemudian mengambil gitar yang memang selalu berada di gazebo tempat mereka sedang duduk saat ini.

Mata gadis itu berbinar mendengar tawaran Diyo. "Yah, tentu. Boleh banget," ucapnya bersemangat.

Diyo menundukkan kepala, menaruh jemarinya di atas senar gitar lalu perlahan memetik alat musik itu diiringi lagu.

Aku rindu setngah mati kepadamu

Sungguh ku ingin kau tau, aku rindu

Setengah mati ....

Alina tampak terpukau mendengar Diyo menyanyikan lagu Rindu Setengah Mati yang dipopulerkan oleh Band D'masiv. Arina merasa suara lelaki itu kini terdengar lebih bagus.

Alina sendiri heran bercampur kagum. Mungkin inilah yang dinamakan suara merdu alami seseorang yang ia dapat karena bernyanyi dari hati yang tulus.

Benar atau tidaknya anggapan itu, Alina tak mau pusing memikirkannya. Ia cuma ingin menikmati lagu yang Diyo nyanyikan hingga selesai. Seperti isi lirik tersebut, Alina memang merindukan sosok lelaki itu. Dulu ia pernah dekat, pernah jauh dan akhirnya kembali dekat bersamanya.

Diyo yang masih bernyanyi tak pernah lepas oleh bayangan Lena. Lagu ini memang sengaja ia pilih untuk mengungkapkan perasaannya. Ia rindu. Benar-benar merindukan perempuan itu.
Andai saja persahabatan dan bisnis antara kedua orang tua mereka tidak pernah ada, mungkin perjodohan ini pun tak akan terjadi. Apakah semua ini adil untuk dirinya? Dulu ia memang pernah sangat menyayangi Alina. Namun, gadis itu diam-diam mengkhianati ketulusan cintanya dengan menjalin hubungan terlarang dengan seorang lelaki selain dirinya.

Sejak saat itu Alina sulit ditemui. Diyo sempat beberapa kali menghubunginya. Hanya saja, gadis itu seolah sengaja menghilang untuk menghindarinya. Sampai akhirnya mereka benar-benar tidak pernah lagi bertemu, tak pernah ada lagi hubungan telekomunikasi sama sekali.

Keduanya sama-sama lost contact, dan sekarang hubungan 'baik' itu kembali secara mengejutkan. Di mana selama hubungan Diyo dan Alina merenggang, masalah perjodohan keduanya tak pernah disinggung sedikit pun oleh kedua keluarga tersebut, meski demikian para orang tua mereka tetap menjaga hubungan baik dalam urusan pertemanan terutama soal bisnis.

Ini karena tidak terlepas dari kedudukan Ayah Alina yang memiliki pengaruh yang sangat besar pada perusahaan Papa Diyo. Dan Diyo menduga saat itu baik Ayah Alina dan Papanya memang sepakat untuk tidak membahasnya lagi. Namun ketika Diyo mulai menemukan kebahagiaannya sendiri, dia malah kembali dihadapkan pada masa lalu yang ingin ia lupakan selamanya.
Sekali lagi, pertanyaan ini muncul dalam benaknya. Apakah semua ini adil untuk dirinya?

Tidak.

Ini memang tidaklah adil untuknya. Seharusnya ia bisa menentukkan sendiri kepada siapa ia akan memberikan hatinya. Namun apa yang dapat ia lakukan selain pasrah, meski ia pun tak yakin bisa bertahan lebih lama untuk berpura-pura dengan perasaannya.
Jika ingin berbuat nekat, bagaimana dengan nasib Papanya?

Bisa dikatakan perusahaan Papa bergantung pada keputusannya. Karena kekuasaan yang dimiliki Ayah Alina akan sanggup melakukan apa pun, tapi harus sampai kapan ia bersembunyi dalam kebohongan ini?

Diyo melirik jam dinding di kamarnya yang telah menunjukkan pukul 02:15.

Malam sudah selarut ini rupanya. Diyo membatin.

Ia ingat besok pagi ada janji dengan Alina untuk menemaninya jalan. Seperti yang dulu pernah mereka lakukan ketika masih berpacaran, atau tempat-tempat tongkrongan keren yang bergaya anak muda dan tentunya banyak pengunjung, di mana hari-hari pada saat itu mereka jalani dengan bahagia.

Sayang, semua rasa itu kini berubah hampa dan hambar.

Keesokan harinya, Diyo datang menjemput Alina. Alina tampak sangat bersemangat dengan kencannya hari ini, terlihat dari penampilannya yang super kece begitu mengilaukan mata pria.
Alina memang sengaja berdandan sedemikian rupa untuk menarik perhatian orang-orang, terutama perhatian Diyo, agar dapat membuat lelaki itu bangga berada di sampingnya.

Diyo dan Alina kini tiba di pusat perbelanjaan, mereka pun segera langsung mengunjungi tempat penjualan baju. Alina lalu sibuk mencocokkan beberapa pakaian yang menurutnya pas di badannya, sementara Diyo hanya berdiri di belakang memerhatikan Alina sambil menahan rasa bosan. Namun ia akan tiba-tiba tersenyum mana kala gadis itu menoleh dan meminta saran seputar baju yang nanti akan ia beli.
Begitulah Diyo dihari-hari kencan berikutnya.

Tidak ada gairah sama sekali. Ia merasa tidak memiliki pilihan selain menjalaninya, tapi bukan tidak mungkin semuanya akan berakhir dengan pengakuan jujur dari mulutnya, tergantung seberapa lama lagi ia mampu bertahan dalam kebohongannya sendiri.

Satu minggu penuh setelah rutin keluar bersama, Diyo semakin resah dengan apa yang ia jalani sekarang, dan sepertinya ia tak sanggup lagi bersandiwara di depan Alina. Meski begitu, ia pun masih ragu antara benar-benar mau mengatakannya atau tidak.

Di sisi lain, hatinya sudah berkali-kali memaksa untuk mengungkapkan kejujuran. Namun jika Diyo sampai mengatakan itu, apa yang akan terjadi pada perusahaan Papanya?


Bersambung...

Makin panjang aja ya yang katanya cerpen ini. Muehehehe. Biarin ajalah. Klo boleh jujur, aku terjebak sama kisah Lena dan Diyo. Jadi cerpennya ngalor ngidul ky gini. Klo pendek berasa ada yang kurang. Hehe

Btw, aku ada rencan nerbitin cerita ini. Jadi, yang mau baca silakan sampai batas yang ditentukan. 😂😂😂

Hanya Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang