Bagian Lima

1.5K 203 16
                                    

Selamat membaca
Monggo enjoy
~~~~~

NCT 127 – Paradise

~~~~~

“Manis jangan segera ditelan, pahit jangan segera dimuntahkan.”

~~~~~

SAH

Tiga huruf ini sangat membuat diriku syok, bingung, kaget, pasrah. Aku dan Johnny sudah resmi menjadi suami istri di mata agama dan negara. Aku berdiri bagaikan orang mati, menyalami setiap orang yang memberikan selamat kepadaku.

Jika kalian bertanya, kepada pernikahan ini begitu cepat seolah sudah direncanakan? Maka benar, seluruh keluarga besarku sudah tahu soal lamaran Johnny, lebih mengagetkan lagi saat Rosa, adikku yang aku percayai ternyata ikut membantu Johhny. Mulai dari mengambil kartu keluarga, KTP milikku, semuanya dia yang mengurus.

Reaksi keluarga besar? Jelas setuju, mereka sebenarnya sama denganku, si pengagum uang. Johnny terlebih dahulu sudah mendatangi keluarga dan meminta izin untuk menikahi ku 3 bulan yang lalu! Bayangkan, pertemuan kami baru seminggu yang lalu. Bagaimana bisa dia meminang ku 3 bulan sebelumnya? Ini patut dipertanyakan!

“Lho lho, baguse bojone. Wong luar yo mbok?”

Lho, lho, gantengnya suaminya. Orang luar ya mbok?

Bibiku tersenyum lebar menanggapi para tetangga yang terpesona akan ketampanan Johnny, mereka berkumpul membicarakan kami. Ingatanku kembali saat tadi malam sampai di sini. Rumah Jawa kuno yang biasa telah disulap seperti gedung pernikahan dalam semalam. Semua orang menyambutku dengan bahagia.

Tidak sampai disitu, aku belum mendudukkan pantat, tanganku sudah ditarik bibi dan kakak keponakanku untuk ke kamar mandi. Kalian bayangkan jam 11 malam, aku mandi air kembang yang luar biasa dingin, tidak tidak, lebih tepatnya di mandikan dengan tidak sabar.

“Akhirnya nikah juga.”

“Iya, nggak yangka ya mbok. Rosi udah nikah aja.”

Bibirku bergetar mendengarkan mereka yang membicarakan ku, kepalaku sangat pusing hingga rasanya ingin pecah. Siksaan apalagi yang harus kujalani setelah ini? Apa semua ini tidak bisa dilakukan besok saja?

Malam itu pun setelah mandi, aku diberikan wangi-wangian di sekujur tubuh. Dengan sisa kesadaran yang ada, aku hanya diam hingga rasa kantuk menyerang ku. Membiarkan orang-orang melakukan apapun pada tubuhku.

Aku menggeleng pelan mengingat kejadian semalam, kenapa semua orang begitu kejam?

“Selamat ya Rosi, jangan lupa harus kuat buat nanti malam.”

Aku sedikit tersentak kaget, menatap kakak kelas yang tersenyum lembut kepadaku. Mataku beralih ke samping, anak kecil yang masih berumur sekitar 2 tahun bergelantung manja di lengannya. Mataku berpindah ke arah bayi yang berada di gendongannya. “Wah mbak Siti anaknya luar biasa, ini jarak berapa tahun mbak?”

“Ah ini,  jarak dua tahun sebenarnya. Ini suami aku.” Aku menoleh melihat seorang pria yang tengah menggendong anak laki-laki, lho kembar? Anaknya 3?

Aku bergedik ngeri membayangkannya, bagaimana bisa? Apakah suaminya tidak kasihan terhadap sang istri? Lagipula jarak anaknya sangat dekat, bagaimana bisa mbak Siti mengurus 3 anak sekaligus? Ah, perutku mulas membayangkannya.

“Kamu lapar?”

Aku menatap Johnny, kemudian menggeleng. Sepertinya dia melihatku yang mengusap perut. “Nggak, cuma sedikit kram aja. mau datang bulan kayaknya.”

Stimulus Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang