Chapter : 26

776 59 1
                                    

Xavier is Calling…      Beverly langsung mematikan sambungan telepon, dan juga mematikan ponselnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Xavier is Calling…
    
Beverly langsung mematikan sambungan telepon, dan juga mematikan ponselnya. Dia tidak ingin berbicara dengan Xavier untuk saat ini. Pasti nanti Xavier akan menginterogasinya karena Beverly yang tiba-tiba saja pergi. Itu akan membuatnya pusing karena harus memikirkan alasan yang tepat. Sudah pusing, ditambah pusing. Dengan begitu juga, dosa Beverly tidak bertambah karena lagi-lagi membohongi Xavier, bukan?
    
Beverly menghela napas pelan, dan melanjutkan kegiatannya membuat hot chocolate. Mungkin dengan meminum hot chocolate pikirannya bisa sedikit tenang. Beverly tidak berhenti merutuki dirinya sendiri sejak tadi. Kenapa dia sampai lupa untuk menyelesaikan hubungannya dengan Xavier sih? Seharusnya hubungannya dan Xavier sudah berakhir sejak tadi, dan Beverly tidak harus membawa Daniel masuk ke dalam kebohongannya. Aishhh, kenapa Beverly jadi pelupa begini? 
    
“Xavier juga ikut datang?”
    
“AWW!” Beverly yang sedang memotong coklat, tanpa sengaja mengiris tangannya sendiri karena terkejut. Beverly terkejut bukan karena kehadiran Dimas yang tiba-tiba seperti hantu, tapi karena pertanyaan yang dilontarkan Dimas.
    
“Astaga, sayang!” Dimas yang ingin mengambil minum di kulkas, langsung membatalkan niatnya ketika melihat jari Beverly tersayat pisau. Laki-laki itu langsung menghampiri Beverly.
    
“Kenapa sampai kena pisau?!” Dimas mendadak panik sendiri melihat darah yang mengalir di jari telunjuk Beverly. Laki-laki itu langsung menarik Beverly ke wastafel, mencuci jari Beverly yang terkena sayatan. Luka sayatannya lumayan dalam, sehingga darah segar terus mengalir.
    
“Kayaknya kita perlu ke rumah sakit,” ucap Dimas di sela-sela kegiatannya.
    
“Rumah sakit?” Beverly menggeleng. “Tidak perlu ke rumah sakit, ini hanya luka kecil.”
    
Dimas menggeleng. “Enggak, walaupun luka kecil kalau infeksi bagaimana? Aku takut kamu kenapa-kenapa.”
    
Beverly tersenyum tipis melihat Dimas yang sangat khawatir padanya. Laki-laki itu sampai sebegitu khawatir padanya, padahal Beverly tidak apa-apa, luka itu hanya luka kecil, tidak terlalu sakit untuknya. Dia sangat baik, Beverly jadi merasa bersalah telah membohonginya.
    
“Ayo kita ke rumah sakit,” ucap Dimas setelah selesai mencuci luka Beverly.
    
Beverly tersentak saat mendengar perkataan Dimas. Laki-laki itu langsung menariknya keluar, untuk membawanya ke rumah sakit. Beverly berdecak dan langsung menahan tangan Dimas yang ingin membawanya ke rumah sakit.
    
“Dimas, tidak perlu ke rumah sakit,” tolak Beverly.
    
“Perlu sayang, nanti jari kamu infeksi!” kekeh Dimas.
    
Beverly memutar bola mata malas. Astaga! Kenapa Dimas selebay ini, ini hanya luka sayatan kecil.
    
“Aku tidak apa-apa Dimas, kita tidak perlu ke rumah sakit,” ucap Beverly meyakinkannya, seraya mengusap wajah Dimas menggunakan salah satu tangannya yang tidak terluka.
    
Dimas memijit pelipisnya berpikir. Dengan berat hati laki-laki itu mengangguk, menuruti. Walaupun sebenarnya dia sangat ingin membawa Beverly ke rumah sakit untuk memeriksakan ke dokter, kalau Beverly baik-baik saja. Dengan begitu dia tidak perlu khawatir.
    
Dimas membawa Beverly untuk duduk di kursi meja makan, meminta wanita itu duduk. Sementara dia kalang kabut mencari kotak obat, Dimas tidak tahu di mana kotak obat itu berada.
    
Beverly geleng-geleng kepala melihat Dimas yang mondar-mandir mencari kotak obat. Ck, Dimas kenapa tidak tahu? Beverly yang baru tinggal dua minggu di sini saja sudah tahu. “Dimas?” panggil Beverly, berniat memberi tahu di mana kotak obat berada.
    
“Bentar, sayang,” kata Dimas berlari melewati Beverly.
    
Dimas merutuki dirinya sendiri yang tidak tahu di mana kotak obat berada. Ini rumahnya atau bukan sih, kenapa Dimas sampai tidak tahu? Dimas ingin bertanya pada pelayan, tapi ini waktunya mereka beristirahat, jadi mereka tidak ada di tempat.
    
“PELAYAN!” teriak Dimas memanggil mereka, karena tak kunjung menemukan yang dicarinya.
    
Beverly menghela napas pelan melihat Dimas yang mulai frustrasi. “DI LACI PERTAMA MEJA BAWAH TANGGA, DIMAS!” teriak Beverly saat Dimas berlari melewatinya lagi.
    
Dimas tersenyum. “Makasih, sayang.” Dimas langsung berlari menuju bawah tangga mengambil kotak obat.
    
Laki-laki itu kembali ke meja makan, dan mulai mengobati luka di jari Beverly.
    
Beverly memperhatikan Dimas yang sedang mengobati lukanya, wajah tampan laki-laki itu tidak boleh disia-siakan, bukan? Dimas sungguh tampan, ditambah dengan balutan seragam pilotnya yang masih menempel itu membuatnya semakin tampan.
    
“Kamu hobinya sekarang suka lihatin aku?” tanya Dimas yang menyadari Beverly dari tadi menatapinya.
    
Beverly langsung mengalihkan pandangannya, wajahnya mendadak panas ini karena ketahuan Dimas.
    
“Tingkat kepedean kamu semakin tinggi ya, gara-gara kelamaan di atas awan,” ketus Beverly.
    
Dimas tertawa. “Aku gak kepedean sayang, kamu kan memang hobinya sekarang lihatin aku.” Dimas mencubit hidung mancung milik Beverly pelan. Saking gemasnya.
    
Beverly berdecak kesal, dan diam sampai Dimas selesai mengobati lukanya. Sesekali mata nakal Beverly memperhatikan Dimas. Matanya sangat tahu untuk tidak melewatkan kesempatan gratis ini.
 
Cup!

I Promise Captain [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang