BURU BURU NIKAH (2)-(OnGoing)

Bab 147. Ikat Aku (1)

Terlepas dari kehati-hatiannya, Leah tertarik oleh mata yang tersenyum itu. Dia tahu Ishakan adalah pria yang luar biasa dan cantik, bahkan jika dia terkadang membuatnya merasa ngeri dengan ketidaktahuannya.

Tapi ketika dia menatapnya, matanya yang tajam melembut. Tidak mungkin dia bisa menolak pria ini. Leah menggelengkan kepalanya dan bersandar di dadanya, dan Ishakan memeluknya seolah-olah dia telah menunggu hal itu. Tangan yang membelai punggungnya terasa hangat dan kuat.

"Saya pikir saya telah meninggalkan segalanya di belakang ..."

Dia bisa mendengar gemeretak rantai di telinganya, dan meskipun dia tahu itu halusinasi pendengaran, dia harus melawan keinginan untuk melihat pergelangan kakinya. Dia tidak ingin melihat. Sebagian dari dirinya takut pergelangan kakinya benar-benar dibelenggu. Dia menyelipkan kakinya di bawah selimut.

“Aku masih memikirkan Estia,” akunya, mencoba melarikan diri dari bayang-bayang yang menyiksanya. "Ini ... menjengkelkan ..."

Ishakan meletakkan tangannya di atas kepalanya, pipinya menempel di dadanya yang kokoh.

“Jangan pikirkan apapun. Tidur saja. Anda akan baik-baik saja setelah tidur nyenyak. ”

Lea memejamkan matanya. Dia bahkan belum bangun setengah hari, tetapi dia tertidur kembali dalam pelukannya, berharap dia bisa tetap terjaga lebih lama besok.

***

Tubuhnya bergerak sendiri. Lea tidak suka ini. Dia ingin berteriak, tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Meraih belati, dia mendekati pria itu, tidur nyenyak.

Meskipun dia telah tidur, matanya perlahan terbuka saat dia mendekat, dan saat dia bertemu dengan tatapan mata emas itu, dia menusukkan belati ke dalam hatinya. Sensasi mengerikan memotong daging manusia ditransmisikan langsung ke tangannya.

Baru kemudian dia dibebaskan dari pengekangannya. Tapi sekarang setelah dia bisa berbicara, Leah tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya bisa melihat ke bawah pada apa yang telah dia lakukan, dan Ishakan-lah yang melakukan langkah pertama saat dia tetap membeku dan tidak berjiwa.

"Tidak apa-apa," katanya, memeluknya. "Tidak apa-apa, Lea."

"Kenapa, kenapa.." kata Leah, saat darah panasnya mulai tumpah. Meskipun dia bisa menghentikannya dari menikamnya, dia baru saja menyaksikan saat dia menancapkan belati ke dalam dirinya. Ishakan menyelipkan seikat rambutnya ke belakang telinga, berbisik.

"Aku tidak ingin kamu terluka karena kecelakaan jika aku menghindarinya."

Lea terbangun, kaget. Garis antara mimpi dan kenyataan menjadi kabur dan dia panik, berguling dan jatuh dari tempat tidur. Dia menahan jeritan kesakitan dan bergegas memeriksa tangannya. Dia merosot ketika dia melihat mereka bersih dari darah, diliputi rasa lega dan cemas.

Itu adalah mimpi. Tapi itu juga bisa menjadi kenyataan setiap saat. Sebuah pikiran muncul di benaknya.

Aku harus kembali ke Estia.

Dia tidak pantas berada di sini. Dia harus kembali ke Estia. Dia terhuyung-huyung berdiri dan berlari ke pintu keluar terdekat, sebuah jendela tertutup tirai tipis. Angin malam yang sejuk menyentuh wajahnya segera setelah dia menarik tirai ke samping, dan Leah sadar seolah-olah dia telah ditampar.

“……”

Lea menatap kosong. Cahaya bulan yang redup menyinari bangunan batu putih, dan daun palem bergoyang tertiup angin. Dia menghembuskan napas yang telah dia tahan dan jatuh ke tanah, menutupi wajahnya dengan tangannya.

Seluruh tubuhnya bergetar. Baru sekarang dia benar-benar mengerti. Tidak hanya dia menjadi boneka Cerdina, tetapi dia juga kehilangan akal sehatnya. Dia tidak tertekuk. Dia pikir dia telah menemukan dasarnya, tetapi tidak ada akhir dari keputusasaan ini. Selalu ada neraka yang lebih buruk.

Sendirian dalam kegelapan, Leah berbalik, terkejut. Sepasang mata mengawasinya di bawah sinar bulan yang mengalir melalui jendela. Dia berdiri diam dan menatapnya dengan mata tenang, seolah-olah dia telah menonton dari awal. Menatapnya, bibirnya bergerak perlahan.

“…Kunci aku.”

Ketakutannya tak tertahankan. Terutama dengan penglihatan pria ini, tak tertahankan saat dia menikamnya, melayang di depan matanya.

“Anda bisa memasukkan saya ke penjara, mengisolasi saya di suatu tempat, atau mengikat saya. Jika ini terus berlanjut, aku benar-benar bisa membunuhmu…” Bisiknya, wajahnya pucat. "Bantu aku dengan ini, Ishakan."

Ishakan tidak menanggapi permohonan putus asanya. Dia tahu lebih baik daripada siapa pun bahwa dia belum dibebaskan dari mantra Ratu. Dia mungkin mengerti persis apa yang ada dalam pikirannya. Tapi dia tidak menunjukkan rasa takut, tersenyum sedikit saat dia menatapnya.

"Kamu sangat naif ..." katanya. Mengangkatnya, dia menyampirkannya di bahunya dan membawanya ke tempat tidur, melemparkannya ke atasnya. Sesaat kemudian, sesuatu jatuh di tempat tidur di depannya.

Itu adalah sepasang manset kulit dengan rantai. Berbeda dengan borgol di kereta yang hanya mengikat satu pergelangan tangan, ini mengikat keduanya, dan Ishakan memasangnya dengan cekatan, mengamankan rantai di kanopi di kepala tempat tidur.

Itu belum semuanya. Dia juga membelenggu pergelangan kakinya. Tidak ada rantai panjang dari kanopi, tetapi rantai pendek di antara pergelangan kakinya. Rantai itu hanya selebar tangan, jadi tidak mungkin baginya untuk berjalan. Memiliki anggota tubuhnya terikat membuatnya merasa lebih baik. Terlepas dari ketidaknyamanannya, itu melegakan bahwa dia tidak akan bisa menyakiti Ishakan seperti yang dia alami dalam mimpinya.

"Aku telah mengikatmu seperti yang kamu inginkan." Kata Ishakan sambil naik ke atas Leah. "Aku berjanji akan menyembuhkanmu, jadi aku tidak mengerti mengapa kamu begitu khawatir."

*****

TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN DAN VOTE NYA, VOTE KAMU BIKIN KITA MAKIN SEMANGAT TL NYA 🥰