BURU BURU NIKAH (2)-(OnGoing)

Bab 216. Terkunci (1)

Lea bermimpi.

Seseorang mengejarnya. Dia berlari secepat yang dia bisa, tetapi dia sampai di pintu besi besar, terbungkus rantai dan dikunci dengan gembok yang tidak memiliki kunci.

Dengan putus asa, dia menggedornya. Dia mencoba membukanya, tetapi besi padat itu tidak mau bergerak. Tangannya merah dan bengkak saat dia dengan panik menarik rantai itu. Kemudian, dari sisi lain pintu, dia mendengar suara.

—Anda tidak memiliki kuncinya.

Lea terkesiap. Suara itu terdengar seperti miliknya.

—Kamu harus menemukan kuncinya, Leah.

Perintah Lea yang lain. Dia membeku sesaat.

"Dimana itu?" tanya Lea kaget.

-Buru-buru! Tidak ada waktu. Cepat, sebelum Cerdina tahu!

"Maksud kamu apa? Apa yang tidak bisa dia ketahui?”

Tapi tidak ada jawaban. Tidak peduli berapa kali dia bertanya, Leah yang lain melanjutkan,

—Jika dia tahu…

Suara itu mengucapkan peringatan yang tidak menyenangkan.

—Dia akan membunuhnya.

Sambil menangis, Leah membuka matanya.

"…Ah!"

Dia terbangun dari mimpi buruk, tapi itu tidak melegakan. Perutnya sakit, dan dia mencengkeramnya di tangannya.

“Ah, ah…”

Meringkuk menjadi bola, dia menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Ketika rasa sakit yang menusuk akhirnya mereda, seluruh tubuhnya basah oleh keringat dingin.

Melihat sekeliling dengan pusing, dia menyadari bahwa dia berada di tempat yang dikenalnya. Kamar tidurnya di istananya, dengan cahaya pagi yang redup menembus jendela. Berbaring di tempat tidur, dia menggigil sejenak, dan kemudian meletakkan tangannya dengan tegas di perutnya lagi. Wajahnya kaku.

“……”

Di dalam dirinya, sesuatu berputar. Itu adalah gerakan yang samar, tapi itu nyata. Kemudian menghilang seolah-olah tidak pernah terjadi.

Apa itu tadi?

Sebuah getaran menjalari dirinya. Untuk sementara, dia lumpuh, tetapi dia menenangkan diri dan bangkit dari tempat tidur. Terlalu banyak yang terjadi terlalu cepat.

Awalnya, dia berpikir untuk memanggil dokter, tetapi sesuatu di benaknya langsung memprotes. Dia seharusnya tidak melakukan itu. Dan dia tidak bisa tidak memikirkan pria lain, pria pertama yang muncul di benaknya ketika dia bertanya-tanya dengan siapa dia bisa berbicara tentang apa yang terjadi pada tubuhnya.

Kejadian malam sebelumnya berputar-putar di benaknya. Baroness Cinael. Tagihan penjualan untuk sebuah peternakan kecil. Banyak momen yang sama sekali tidak menyenangkan. Tempat-tempat di mana pria itu menggigit dan mengisap masih panas, kesemutan dengan sensasi yang tidak bisa dia hapus. Semua itu mengingatkannya pada kejadian tadi malam.

Dia mengangkat tangannya ke pipinya. Dia telah melakukan sesuatu yang tak terbayangkan, tapi anehnya, dia tidak merasa bersalah atau menyesal. Melihat ke bawah ke tangan kirinya, dia melihat cincin pertunangan itu kembali di jarinya, dan menutup matanya pada keinginan untuk merobeknya dan membuangnya.

Dia harus memikirkan pernikahannya. Tapi dia tidak bisa mengendalikan jantungnya yang berdebar-debar.

Ada apa dengan dia? Mengapa dia merasakan ketertarikan yang begitu kuat padanya? Itu membuatnya khawatir, tetapi mengingat betapa manisnya tidur dalam pelukannya membuatnya tersandung. Menatap dirinya di atas meja, dia menuang segelas air untuk dirinya sendiri dan menyesapnya, mencoba menguraikan konflik dalam pikirannya satu per satu.

Pertama, dia harus mencari tahu apa yang terjadi pada tubuhnya. Akan lebih baik untuk menemukan Ishakan terlebih dahulu, dan memintanya untuk mendapatkan dokter yang dapat mereka percayai. Dia juga memiliki pertanyaan tentang beberapa hal yang terjadi beberapa hari yang lalu.

Dia yakin ada sesuatu yang sangat salah, tetapi dia tidak memiliki cukup informasi untuk sampai pada kesimpulan apa pun.

Lea menggigit bibirnya. Dia telah berusaha menenangkan kekacauan di pikirannya, tetapi tiba-tiba ruangan itu terasa menyesakkan. Dia tidak tahan, dia ingin lari, sangat parah sehingga dia meraih kenop pintu untuk terbang ke taman.

“……!”

Itu tidak terbuka.

Dengan putus asa, dia menarik pintu, panik.

"Putri!"

Suara Countess Melissa datang dari sisi lain pintu, dan Leah tidak pernah begitu senang mendengarnya.

“Nyonya! Tolong bukakan pintunya!"

Tapi jawabannya sangat mengganggu.

"Maafkan saya. Saya tidak bisa.”

"…Apa?"

"Yang Mulia telah memerintahkan agar Anda tetap terkunci di kamar Anda, mulai hari ini," kata Countess dengan serius. "Kamu tidak akan diizinkan pergi."

******

❤️❤️❤️