"Vanilla lattenya, Kakak!"
Donatella yang semula tengah memperhatikan pemandangan gedung pencakar langit yang tersaji di depannya lantas terkejut. "Saddam! Aku pikir orang lain, ish."
"Ahaha, habisan serius banget lihatinnya. Kayak baru pertama kali datang ke sini aja," ujar Saddam terkekeh seraya mengusap puncak kepala Donatella.
"Kamu beli apa?" tanya Donatella.
Saddam mengeluarkan segelas kopi dingin dari paperbag sebelum memberikannya pada Donatella. Tak lupa juga menyertakan pipet. "Kamu selalu butuh ini kalau stress. Vanilla latte ditambah caramel sauce."
"Tapi, ini udah malam. Kalau ketahuan mama, nanti ak—"
"Tante Rea enggak bakalan tahu. Aku rasa udah lama juga kamu enggak minum, kan? Minum sekali enggak bakalan langsung buat suara kamu kenapa-napa, Sayang."
Meski masih tidak yakin, Donatella menerimanya.
Melihat Donatella yang tak kunjung menusukkan pipet, Saddam menghela napas dan membantu Donatella. "Its okay, Donat. Kamu enggak selalu harus nurutin aturan mama kamu yang nyatanya terlalu ngekang kebebasan kamu."
Donatella tersenyum tipis sebelum perlahan menyedot kopi tersebut.
"Feeling better?"
"Thank you, Dam."
"Anything for you, Heart."
Pandangan Donatella kembali berpusat pada gedung pencakar yang berada di depannya. Setiap kali ia ataupun Saddam membutuhkan tempat untuk melepas penat mereka, mereka pasti mengunjungi tempat ini—jembatan yang menghubungkan dua mall besar di kota mereka. Sebab di tempat ini mereka dapat menghirup udara bebas.
Bukan hanya itu saja, lampu-lampu yang mengelilingi jembatan juga sangat indah.
"Saddam," panggil Donatella setelah keduanya cukup lama bungkam.
"Iya?"
"Tahun depan kita lulus, ya?"
Saddam mengangguk. "Cepet banget enggak, sih? Rasanya kita baru kenal kemarin, tiba-tiba udah mau lulus aja."
"Iya, bener. Ternyata waktu jalannya cepet banget."
"Kamu udah ada rencana mau ke mana, tah? Aku masih belum mikirin, nih. Agak bingung, tapi kayaknya enggak jauh-jauh dari bisnis. Entah itu manajemen, akuntansi, atau apalah."
"Ada, tapi enggak dibolehin."
Saddam mengernyit dan menatap lekat manik mata kekasihnya. "Loh, kenapa gitu?"
"Karena mereka udah punya rencana sendiri buat aku," jawab Donatella membuat Saddam menghela napas iba.
"Selalu kayak gitu, ya."
Donatella tersenyum pedih membenarkan ucapan Saddam. Ia sendiri sudah lelah dengan sikap kedua orang tuanya. Yang selalu memaksanya ini-itu, tanpa terlebih dahulu bertanya kepadanya. Yang selalu memaksanya untuk sempurna dalam segala hal. Dan banyak lagi. Mungkin ... orang tuanya memang ingin yang terbaik untuk dirinya. Namun, semua itu hanya berujung menyiksanya.
"Rencana kamu emang apa, Yang?"
"Mau dengerin?"
Saddam terkekeh. "Kalau enggak mau, mana mungkin aku tanya, Ayangku."
"Aku pengin sekolah pastry, sih, Dam. Kayaknya seru aja belajar baking. Seharian di dapur buat adonan. Terus aku juga mau ikut kursus kopi. Pengin perdalam dunia itu, terus nanti pas udah ada modal, langsung bangun cafe, deh."
"Asik banget. Jadi, nanti kalau aku pengin makan kue, sisa cari kamu. Terus kita enggak perlu lagi beli vanilla latte orang, karena kamu udah bisa buat sendiri. Ih, aku antusias banget nunggu kamu wujudin itu, Yang."
"Kan aku enggak dibolehin, Dam."
Saddam mencebikkan bibir sebal. "Harus boleh, pokoknya. Rencana itu bagus, tahu! Mungkin emang sekarang udah banyak banget yang buka cafe, jadi nanti persaingannya bakal ketat. Tapi kalau cita rasa makanan-minuman di cafe kamu enak, terus harga yang kamu pasang terjangkau, suasana cafenya oke dan fotoable, pasti oke kok."
"Kalau mama papa bilang enggak, enggak bakalan bisa, Dam."
Saddam membelai pelan puncak kepala Donatella sebelum berucap, "Jangan sedih, Ayang. Gimana kalau kamu coba ngomongin baik-baik lagi ke mereka? Aku bakalan bantu juga. Oke?"
"Enggak bakalan berhasil. Tahu sendiri mereka batunya kayak gimana."
"Kita coba dulu. Kita masih punya waktu satu tahun buat bujuk mereka. Sekarang, kamu turutin dulu apa maunya mereka. Kamu iyain, tapi kamu jangan lepasin mimpi kamu. Kamu tetap luangin waktu buat cari info sekolah pastry impian kamu."
Sebenarnya, Saddam tahu apa yang mereka lakukan hanyalah berujung sia-sia. Karena Saddam sangat mengenal orang tua kekasihnya. Mereka begitu batu dan egois. Segala hal yang diinginkan keduanya, harus mampu dipenuhi oleh Donatella. Namun, melihat wajah murung Donatella membuat dia tidak tega dan ingin menyemangati kekasihnya.
"Kita enggak bakalan tahu hasilnya kalau belum dicoba, Sayang. Hasil enggak pernah mengkhianati usaha, bukan? Jadi, kita coba dulu, ya? Kamu enggak bakal sendirian, kamu selalu punya aku."
Donatella tersenyum lebar. Ia sedikit berjinjit agar tingginya sejajar dengan wajah kekasihnya sebelum mendaratkan kecupan singkat di pipi Saddam. "Makasih banyak, Saddam."
"Nah gitu dong, senyum. Cantiknya jadi dua kali lipat, deh."
"Ih gombal banget."
"Kenyataan, ah. Pacar aku kan emang cantik banget. Cantik sejagat raya."
Untuk kesekian kalinya, Donatella sungguh bersyukur memiliki Saddam. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya jika Saddam memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Sepertinya, ia tidak akan sanggup bertahan di dunia.
"Dam."
"Iya, Sayang? Kenapa?"
"Cewek sekolah kita banyak yang cantik?"
Saddam mengernyit. "Terus? Hubungannya sama aku?"
"Bahkan lebih cantik dari aku, tapi kenapa kamu lebih milih aku daripada mereka?"
Saddam tersenyum tipis. "Pacarku lagi insecure, ya?"
"Hmm."
"Buat aku, kamu udah lebih dari cukup, Sayang. Jangan ngerasa rendah diri atau kurang, ya? Kamu selalu yang terbaik, kok. Jangan terus-terusan mikir kamu nyusahin aku, karena itu udah tugas aku sebagai pacar kamu. Aku justru seneng direpotin kamu. Kalau kamu bilang, kamu enggak pantas buat aku karena duniamu berantakan. Duniaku juga. Jadi, kita lalui ini bareng, ya? Kita pasti bisa, kok."
"Mau secantik, sebaik, sehebat apa cewek lain. Selama dia bukan Donatella, aku enggak akan mau. Paham, Sayangku?"
Saddam merengkuh Donatella ke dalam pelukannya, menempelkan dagu pada puncak kepala kekasihnya. Sebelum memejamkan mata, menikmati semilir angin malam yang berembus. Kenyataannya, bukan hanya Donatella yang sangat membutuhkannya. Tapi dia juga. Dia pun tidak bisa hidup tanpa Donatella.
Dunia kelamnya membutuhkan Donatella.
***
Sejauh ini, kalian udah dapet bayangan ceritanya bakalan gimana?🤭
Bakalan ada bawang, enggak, ya?🤗
JANGAN LUPA DROP KATA SEMANGATNYA SAYANG-SAYANGKU❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Donatella
Novela JuvenilDonatella Yum, biasa dipanggil Donat Ini tentang Donat yang tumbuh di keluarga toxic. Sedari kecil, Donat selalu dipaksa menjadi nomor satu dalam segala hal, terutama bidang menyanyi. Donat harus mengesampingkan keinginannya semata-mata untuk membah...